Oleh: Prof. Dr. Khusnul Yaqin, M.Sc
Diskursus ekologi modern selama lebih dari satu abad telah dibangun di atas fondasi empiris-material. Sejak Ernst Haeckel memperkenalkan istilah ekologi sebagai ilmu tentang relasi organisme dengan lingkungannya, arah keilmuan ini terus berkembang melalui pemikiran Frederic Clements tentang suksesi, Cowles dan Warming tentang dinamika vegetasi, hingga Eugene Odum dan Hutchinson yang memformulasikan ekosistem dan niche ekologis. Alam, dalam kerangka ini, dipahami sebagai sistem material yang dapat diukur, dimodelkan, diprediksi, dan dikelola secara teknis. Pendekatan ini menghasilkan kemajuan luar biasa dalam konservasi, pengelolaan sumber daya, dan kebijakan lingkungan. Namun, pada saat yang sama, ia menyisakan kekosongan ontologis yang jarang disentuh secara serius, sehingga ekosistem hanya dilihat dari relasi material yang tidak cukup.
Kekosongan itu terletak pada cara manusia memaknai alam. Alam direduksi menjadi objek netral, sementara manusia memosisikan diri sebagai subjek pengelola yang seolah berdiri di luar jaringan makna kosmik. Relasi manusia dan alam menjadi relasi fungsional, bukan relasi eksistensial. Akibatnya, krisis ekologis terus berulang dalam berbagai bentuk: perubahan iklim, degradasi biodiversitas, pencemaran, banjir bandang yang membawa timpukan kayu ilegal logging dan berbagai bentuk ketimpangan ekologis yang lain. Semua itu ditangani dengan pendekatan teknis yang semakin canggih, tetapi sering gagal menyentuh akar persoalan. Yang disentuh adalah gejala, bukan hakikat keberadaan.
Di sinilah Al-Qur’an, khususnya Surah al-Hajj ayat 5, menawarkan horizon pemahaman yang jauh lebih dalam. Allamah Thabathabai dalam Tafsir al-Mizan menegaskan bahwa ayat ini tidak dapat dipersempit menjadi sekadar deskripsi biologis tentang penciptaan manusia. Ia adalah argumentasi ontologis tentang wujud, perubahan, dan makna. Ayat ini berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ۖ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّىٰ وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَىٰ أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْ لَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا ۚ وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
Artinya: Wahai manusia, jika kamu ragu tentang kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu. Dan Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian agar kamu mencapai kedewasaan. Di antara kamu ada yang diwafatkan dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada usia yang paling lemah, sehingga dia tidak mengetahui lagi apa-apa setelah sebelumnya mengetahui. Dan engkau melihat bumi itu mati, lalu apabila Kami turunkan air kepadanya, ia bergerak, mengembang, dan menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang indah.
Menurut Thabathabai, struktur ayat ini mengajarkan satu prinsip mendasar: wujud bersifat bertahap, bergerak, dan tidak statis. Manusia tidak diciptakan sekaligus, melainkan melalui proses menjadi yang panjang. Identitas manusia tetap terjaga meskipun bentuk dan kondisinya berubah. Dari sini, Al-Qur’an membangun argumen bahwa kebangkitan bukanlah sesuatu yang asing atau mustahil, melainkan kelanjutan dari hukum wujud yang telah dialami manusia sejak awal.
Jika prinsip ini diperluas ke alam semesta, maka alam pun tidak dapat dipahami sebagai kumpulan benda mati yang beku. Dalam kerangka filsafat Islam, khususnya melalui konsep harakat al-jawhariyyah Mulla Sadra, seluruh alam berada dalam gerak substansial menuju kesempurnaan. Materi tidak statis; ia adalah tahap terendah dari wujud yang terus bergerak ke tingkat aktualisasi yang lebih tinggi. Dengan demikian, ekologi tidak lagi sekadar relasi antar unsur material, tetapi jaringan keberadaan yang hidup, dinamis, dan sarat makna.
Konsep tahkik al-wujud menjadi kunci di sini. Alam bukan ilusi, bukan pula sekadar fakta empiris yang netral. Ia adalah realitas bertingkat yang memancar melalui proses emanasi dari Wajib al-Wujud hingga ke alam materi. Setiap tingkat wujud memiliki hukum, makna, dan tanggung jawabnya sendiri. Ketika alam dipahami hanya sebagai objek material, maka relasi manusia dengannya menjadi relasi dominasi. Tetapi ketika alam dipahami sebagai wujud emanatif, maka relasi itu berubah menjadi relasi amanah.
Dari titik ini, persoalan pengelolaan ekosistem tidak lagi bisa dilepaskan dari pertanyaan tentang bimbingan. Siapakah yang paling layak menjadi rujukan dalam memahami struktur realitas kosmik. Dalam kosmologi Islam, insan kamil menempati posisi sentral sebagai poros kesadaran kosmik. Ia adalah wujud emanatif pertama yang sepenuhnya sadar akan kehendak Ilahi dan keteraturan alam. Insan kamil bukan hanya figur moral, tetapi realitas ontologis yang menyatukan pengetahuan, etika, dan tindakan.
Tanpa etika insan kamil, pengelolaan alam mudah tergelincir menjadi eksploitasi, meskipun dibungkus istilah keberlanjutan, konservasi, dan green economy. Banyak kebijakan lingkungan gagal bukan karena kurang data, tetapi karena miskin orientasi makna. Di sinilah dimensi spiritual menjadi fondasi, bukan sekadar pelengkap. Makna inilah yang menjadikan shalawat memiliki bobot ekologis yang sangat dalam.
Allah berfirman dalam Surah al-Ahzab ayat 56:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuknya dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan.
Shalawat sering dipahami sebatas ritual verbal. Padahal, dalam perspektif ontologis, shalawat adalah tindakan menyambungkan diri dengan poros wujud. Bershalawat berarti menautkan kesadaran manusia dengan insan kamil agar seluruh relasi, termasuk relasi ekologis, tetap berada dalam jalur emanasi yang benar. Ia adalah latihan kesadaran kosmik agar manusia tidak mengelola bumi dengan ego, tetapi dengan amanah.
Dalam konteks inilah perayaan Maulid Nabi menemukan maknanya yang paling dalam. Maulid bukan sekadar peringatan sejarah kelahiran seorang tokoh agung, melainkan pengingat intensif tentang hadirnya insan kamil ke dalam sejarah manusia. Ia adalah momen untuk menyelaraskan kembali cara pandang manusia terhadap alam, kehidupan, dan tanggung jawab kosmiknya. Maulid adalah jeda spiritual agar manusia tidak terjebak dalam rutinitas teknokratis yang kering makna.
Tradisi Nusantara menangkap dimensi ini dengan cara yang sangat khas. Perayaan Maulid tidak dilepaskan dari simbol-simbol keanekaragaman hayati: telur, sayuran, buah-buahan, hasil bumi, dan aneka pangan lokal. Semua itu bukan sekadar ornamen budaya, tetapi pengakuan simbolik bahwa alam ikut bersukacita atas hadirnya poros kesempurnaan wujud. Alam dan manusia dipertautkan dalam satu perayaan makna.
Di sinilah ekologi transenden menemukan bentuk praksisnya. Ia tidak menolak sains empiris, tetapi melampauinya dengan memberi orientasi makna. Alam tidak lagi dipandang sebagai benda yang siap dieksploitasi, melainkan sebagai amanah wujud yang harus dikelola di bawah bimbingan insan kamil. Dengan bershalawat dan merayakan Maulid secara sadar, manusia diingatkan bahwa menjaga ekosistem bukan hanya kewajiban teknis, tetapi ibadah kosmik. Dari kesadaran inilah harapan lahirnya peradaban ekologis yang adil, bermakna, dan berkelanjutan dapat benar-benar dimulai.
*Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
Your Comment