9 Juni 2025 - 22:07
Pernahkah Imam Khomeini Berhaji? Ini Kisahnya

Perjalanan haji Imam Khomeini berlangsung pada musim tahun baru Persia 1312 Hs, yang bertepatan dengan musim haji tahun 1402 H.  Dalam catatan Khadijeh Saqafi, yang dikenal dengan sebutan “Quds-e Iran”, dan dikumpulkan dalam buku biografinya berjudul Banou-ye Enghelab (Sang Wanita Revolusi), dituliskan mengenai bagaimana perjalanan haji tersebut terlaksana.

Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA-  Sekitar 90 tahun lalu tepatnya pada tahun 1933, Imam Khomeini menunaikan ibadah haji. Disebutkan bahwa itu adalah satu-satunya perjalanan haji yang dilakukan oleh pendiri Republik Islam Iran ini; sebuah perjalanan panjang yang satu-satunya dokumentasi yang tersedia berasal dari tulisan tangan istrinya, Khadijeh Saqafi, dan juga dari surat penuh cinta dan kasih sayang Imam Khomeini kepada istrinya yang ditulis dalam perjalanan ini.

Perjalanan haji Imam Khomeini berlangsung pada musim tahun baru Persia 1312 Hs, yang bertepatan dengan musim haji tahun 1402 H.  Dalam catatan Khadijeh Saqafi, yang dikenal dengan sebutan “Quds-e Iran”, dan dikumpulkan dalam buku biografinya berjudul Banou-ye Enghelab (Sang Wanita Revolusi), dituliskan mengenai bagaimana perjalanan haji tersebut terlaksana:

"Kami baru saja pindah ke rumah baru di kawasan Takyeh Molla Mahmoud, saat Agha (Imam) mulai berpikir untuk menunaikan haji, dan alasannya adalah bahwa saat ia belum baligh ia telah menjadi mampu secara finansial melalui warisan ayahnya. Pada tahun-tahun itu ia masih kecil dan hajinya tidak memenuhi kewajiban, dan karena pada masa itu perjalanan dilakukan dengan kuda dan keledai, orang tuanya mencegahnya melakukan perjalanan yang penuh risiko ini karena perjalanan akan memakan waktu enam bulan. Beberapa tahun kemudian, ketika ia pergi ke Qom untuk belajar, ia tidak mendapatkan kesempatan untuk berhaji.

Maka pada waktu itu memang tidak ada sarana untuk perjalanan, dan meskipun sekarang ia tidak mampu secara finansial, tapi kewajiban haji itu tetap menjadi tanggung jawabnya, dan jika sesuatu merupakan kewajiban dari Tuhan, maka tak ada lagi tempat untuk tawar-menawar. Ia menulis kepada kakak laki-lakinya yang mengurus warisan keluarga di Khomein: ‘Siapkan lima ratus toman untuk saya.’ Di sisi lain, ia sendiri mengurus pembuatan paspor. Persiapan lainnya juga tidak banyak. Saya sedang hamil anak kedua kami, Ali, dan sangat cemas karena suami saya pergi ke negeri asing, tapi tidak ada pilihan lain, saya harus bersabar.” (hal. 89, Biografi Khadijeh Saqafi)

Setelah kelahiran anak kedua mereka, Imam Khomeini  saat masih menjadi santri dan di masa Ayatullah Haj Sheikh Abdulkarim Haeri, memulai perjalanannya untuk menunaikan ibadah haji pada tanggal 25 Syawal 1351 H yang bertepatan dengan tahun 1933, berangkat dari Qom ke Teheran dengan mobil, lalu dari Teheran ke Ahvaz, dari Ahvaz ke Irak, dan dari Irak ke Lebanon, kemudian dari sana menaiki kapal menuju Jeddah.

Di atas kapal, Imam Khomeini berkenalan dengan beberapa pedagang dari Qom bernama Aghazadeh, keponakannya Mostafavi, dan Sadeqi. Tampaknya, di Makah ia menyewa rumah sendiri dan para sahabat yang disebutkan tadi datang menjenguk dan bersilaturahmi dengannya.

Saat pulang dari haji, hingga ke Lebanon ia masih bersama mereka, lalu dari Lebanon Imam Khomeini pergi ke Najaf dan setelah itu kembali ke Iran. Perjalanan dari kota ke kota itu diceritakan oleh istri Imam Khomeini dalam biografinya. 

"Dari kota ke kota hingga Irak, lalu Suriah dan Beirut, dan dari sana dengan kapal selama tujuh malam menuju Jeddah, yang seluruh perjalanannya memakan waktu tiga setengah bulan, dan selama waktu itu saya hanya menerima satu surat darinya.” (hal. 90, Biografi Khadijeh Saqafi)

Surat yang disebutkan oleh Khadijeh Saqafi dalam tulisannya itu adalah surat terkenal yang menarik perhatian banyak orang karena ungkapan cinta Imam Khomeini  kepada istrinya. Surat itu ditulis sebelum ia sampai di Arab Saudi dan Makah, serta menyebutkan mengalami keterlambatan dalam pemberangkatan. Dalam bagian dari surat itu, yang bertanggal Farvardin 1312 Hs (bulan Maret 1933) di Beirut, Lebanon, tertulis:

“Sayangku, aku menjadi tebusanmu; semoga aku dikorbankan demi dirimu. Dalam masa keterpisahan ini dari cahaya mataku yang tercinta dan penguat hatiku, aku terus mengingatmu, dan wajah indahmu terukir di cermin hatiku. Sayangku, aku berharap Allah menjagamu dengan selamat dan sejahtera dalam lindungan-Nya. Keadaanku, sekeras apa pun, tetap dapat kulewati, tetapi alhamdulillah sejauh ini semuanya berjalan baik...

Malam ini adalah malam kedua kami menunggu kapal. Tampaknya besok ada kapal yang akan berangkat, tetapi karena kami datang agak terlambat, kami harus menunggu kapal berikutnya. Saat ini belum jelas bagaimana keadaannya, semoga Allah, demi kehormatan para leluhur suciku, memberikan taufik kepada seluruh jemaah haji untuk menyelesaikan amal mereka. Dari sisi ini, kami agak khawatir, namun dari sisi kesehatan, alhamdulillah baik-baik saja, bahkan kondisiku sekarang lebih sehat dan stabil. Ini adalah perjalanan yang sangat menyenangkan, dan tempatmu sungguh sangat-sangat kosong (sangat kurindukan kehadiranmu)...” (hal. 2, Jilid 1, Shahifah-ye Imam Khomeini)

Kembalinya Imam Khomeini ke Iran dari perjalanan hajinya bertepatan dengan banjir besar di kota Qom pada tanggal 9 Khordad 1312 Hs (30 Mei 1933). Khadijeh Saqafi juga mencatat tentang hal tersebut. Ia menceritakan Imam Khomeini datang saat petang, sewaktu hari sudah mulai gelap. Saat itu banjir membuat gang-gang di Qom menjadi saluran air. Ia menceritakan,

"Sewaktu itu aku hanya termenung mengamati air yang belum juga surut. Tiba-tiba kulihat seorang pria berbaju putih masuk ke halaman dari lorong. Karena sudah gelap, wajahnya tak terlihat jelas. Aku mengambil ujung chador gadis tetangga dan segera menutupi kepalaku, lalu berseru keras: ‘Siapa kamu?’ Ia menjawab: ‘Aku.’ Aku bertanya lagi: ‘Siapa kamu?’ Ia berkata: ‘Aku, Ruhullah.’ Aku bertanya: ‘Kamu pulang dari Makah?’ Ia menjawab: ‘Ya, ini aku.’

Tradisi masyarakat Iran saat itu, setiap para jemaah haji yang pulang akan sangat dihormati dan digelar upacara penyambutan, hewan-hewan disembelih, makan siang dan malam disiapkan. Namun keadan Qom yang tergenang banjir membuat kedatangan Imam Khomeini tidak mendapat penyambutan apa-apa. Istri Imam Khomeini melanjutkan ceritanya:

Ia berkata: ‘Ya, ini aku.’ Ia mendekat, dan kulihat ia bertelanjang kaki, ujung jubahnya dimasukkan ke dalam saku, celananya digulung ke atas, dan sorban diikat di leher. Aku bertanya: ‘Dari mana kamu datang dengan kondisi seperti ini?’ Ia menjawab: ‘Satu farsakh sebelum Shah Jamal, karena jalan rusak, mobil tidak bisa melanjutkan. Aku dan empat orang lainnya yang bersamaku sejak Arak, mendengar bahwa Qom kebanjiran dan seluruh kota terendam. Kami khawatir, lalu menyewa mobil dan berangkat ke Qom. Namun satu farsakh sebelum Shah Jamal, mobil tidak bisa lanjut dan kami tidak bisa tinggal diam.’

Ia menuju kolam untuk mencuci tangan dan kakinya. Ia berkata: ‘Kalau ada pakaian, tolong bawakan.’ Demi Allah, pakaian yang ia kenakan adalah pakaian yang sama seperti saat ia pergi. Tapi aku telah menyiapkan sepasang baju dan celana sebagai hadiah. Selama ia pergi, ayah dan ibuku sempat datang ke Qom dan tinggal beberapa hari. Ayahku membeli sebuah jubah dan berkata: ‘Ini hadiahku untuk ruhullah yang telah haji.’ Aku menunjukkan itu padanya dan berkata: ‘Kamu tidak punya pakaian lain?’ Ia berkata: ‘Selama aku punya kamu, aku punya segalanya...’”

Your Comment

You are replying to: .
captcha