oleh: Ismail Amin Pasannai
Puasa merupakan salah satu ibadah yang telah dipraktikkan sejak zaman dahulu dan menjadi bagian fundamental dari berbagai tradisi keagamaan, terutama dalam Islam. Namun, di balik aspek ritualnya, puasa memiliki dimensi rasional yang mendalam. Ayatullah Abdullah Jawadi Amuli, seorang filsuf dan mufasir terkemuka dari Iran, memberikan pendekatan yang unik dalam memahami puasa dengan menekankan aspek rasionalitas dan filosofinya.
Berikut saya akan mencoba mengeksplorasi gagasan beliau mengenai puasa sebagai sarana penyucian jiwa, penguatan akal, serta manifestasi dari harmoni antara jasmani dan ruhani, meski tentu saja hanya sebagian kecil dari gagasan besar beliau.
Puasa sebagai Sarana Mencapai Kesempurnaan Akal
Dalam filsafat Islam, terutama dalam pemikiran Mulla Sadra yang banyak memengaruhi Ayatullah Jawadi Amuli, manusia dipandang sebagai entitas yang bergerak menuju kesempurnaan eksistensial. Akal memiliki posisi tertinggi dalam struktur keberadaan manusia, dan setiap aktivitas ibadah, termasuk puasa, bertujuan untuk mengokohkan akal dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin jiwa.
Ayatullah Jawadi Amuli menjelaskan bahwa puasa bukan sekadar menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi lebih dalam dari itu, yakni mengendalikan nafsu agar akal dapat berfungsi secara optimal. Dalam kondisi normal, manusia sering diperbudak oleh keinginan duniawi, sehingga akalnya tertutupi oleh berbagai hasrat instingtif. Dengan berpuasa, manusia tidak hanya menahan diri secara fisik tetapi juga secara spiritual, sehingga memberikan kesempatan bagi akal untuk lebih mendominasi jiwa.
Dalam bahasa filsafat, puasa berfungsi sebagai media tazkiyah (penyucian) jiwa. Ketika tubuh tidak dibebani oleh konsumsi berlebihan dan dorongan biologis lainnya, maka jiwa lebih ringan dan lebih siap untuk mencerna realitas yang lebih tinggi. Inilah mengapa di bulan Ramadan, manusia didorong untuk lebih banyak melakukan ibadah dan merenungi makna kehidupan, karena kondisi puasa memungkinkan akal bekerja dengan lebih tajam dan mendalam.
Harmoni antara Jasmani dan Ruhani dalam Puasa
Dalam kerangka filsafat Islam, khususnya dalam tradisi hikmah, manusia dipandang sebagai entitas yang memiliki dimensi material dan spiritual. Puasa, dalam perspektif Ayatullah Jawadi Amuli, adalah bentuk harmonisasi antara tubuh dan jiwa yang memungkinkan manusia mencapai keseimbangan eksistensial. Manusia bukan hanya makhluk fisik yang makan dan minum, tetapi juga memiliki aspek spiritual yang membutuhkan makanan ruhani. Jika tubuh dipenuhi makanan, tetapi jiwa dibiarkan kosong, maka manusia akan kehilangan keseimbangan dan cenderung menjadi makhluk materialistis.
Sebaliknya, jika tubuh dikendalikan melalui puasa, maka jiwa mendapatkan kesempatan untuk lebih mendominasi dan berkembang. Dalam filsafat Mulla Sadra yang diikuti oleh Ayatullah Jawadi Amuli, dikenal konsep harakah jauhariyyah (gerak substansial), yang menyatakan bahwa eksistensi manusia terus bergerak menuju kesempurnaan. Puasa adalah salah satu cara untuk mempercepat gerak substansial ini, karena dengan menekan dominasi tubuh, maka jiwa dapat mengalami akselerasi dalam perjalanannya menuju Allah.
Puasa sebagai Penguatan Dimensi Rasional Manusia
Salah satu keunikan pendekatan Ayatullah Jawadi Amuli dalam memahami puasa adalah menyoroti aspek rasionalitas dalam pengendalian diri. Menurut beliau, rasionalitas sejati bukan sekadar kemampuan berpikir logis, tetapi juga kemampuan mengendalikan keinginan dengan kesadaran dan kehendak yang kuat. Puasa mengajarkan manusia untuk tidak menjadi budak keinginan sesaat. Dalam filsafat moral Islam, kebebasan sejati bukanlah kebebasan melakukan apa pun yang diinginkan, tetapi kebebasan dari belenggu hawa nafsu. Dengan puasa, seseorang belajar bahwa ia memiliki kendali atas dirinya sendiri, bukan dikendalikan oleh dorongan biologis atau emosional.
Dalam sudut pandang ini, puasa berperan dalam mengasah daya kritis manusia. Ketika seseorang terbiasa menahan diri dan berpikir sebelum bertindak, maka ia tidak akan mudah terpengaruh oleh emosi atau propaganda yang menyesatkan. Oleh karena itu, puasa tidak hanya membangun ketahanan spiritual tetapi juga membentuk karakter yang lebih rasional dan bijaksana.
Dimensi Sosial dan Etis dari Puasa
Selain aspek individual, Ayatullah Jawadi Amuli juga menekankan dimensi sosial dari puasa. Dalam filsafat Islam, manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri, dan kesempurnaan manusia hanya bisa dicapai dalam masyarakat yang harmonis. Puasa mengajarkan empati kepada orang-orang yang kurang beruntung serta membentuk kesadaran kolektif tentang pentingnya solidaritas sosial.
Dalam bahasa filsafat, puasa adalah bentuk latihan untuk menyeimbangkan antara hak individu dan kepentingan sosial. Ketika seseorang berpuasa, ia belajar untuk mengendalikan egoisme pribadi dan lebih peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, puasa bukan hanya ibadah personal tetapi juga instrumen moral yang dapat menciptakan masyarakat yang lebih beradab.
Dalam perspektif Ayatullah Jawadi Amuli, puasa bukan hanya sekadar kewajiban ritual, tetapi juga memiliki dimensi rasional dan filosofis yang mendalam. Puasa adalah sarana untuk menyucikan jiwa, menguatkan akal, menciptakan harmoni antara jasmani dan ruhani, serta membangun kesadaran sosial. Dalam filsafat Islam, manusia dipandang sebagai entitas yang terus bergerak menuju kesempurnaan. Puasa menjadi salah satu jalan untuk mempercepat perjalanan ini dengan menekan dominasi hawa nafsu dan memberikan ruang bagi akal untuk bekerja secara optimal.
Pada akhirnya, puasa bukan hanya soal lapar dan haus, tetapi tentang mengajarkan manusia untuk hidup dengan kesadaran yang lebih tinggi, membangun karakter yang lebih rasional, serta menciptakan keseimbangan antara dunia material dan spiritual. Seperti yang ditegaskan oleh Ayatullah Jawadi Amuli, puasa adalah ibadah yang mengokohkan akal, mengendalikan jiwa, dan membimbing manusia menuju kebijaksanaan sejati.
Your Comment