Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- Pada Minggu (23/11) redaksi Kantor Berita ABNA menerima kunjungan Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc., Guru Besar Ilmu Ekotoksikologi Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Kedatangannya ke Iran bertujuan melakukan kunjungan akademik dan membangun jaringan kerja sama ilmiah dengan Universitas Gonabad, Masyhad, dan Universitas Teheran.
Setelah melihat aktivitas redaksi ABNA, pengamat sosial-lingkungan ini kemudian melakukan wawancara di ruang pers ABNA. Berikut hasil wawancaranya.

Prof, selamat datang di Kantor Berita ABNA. Sepulang dari simposium internasional di Turki, apa yang membuat Anda tertarik datang ke Iran?
Terima kasih. Awalnya, agenda akademik saya sangat padat sehingga saya tidak terlalu tertarik menghadiri simposium di Turki. Tapi ketika saya melihat peta, Turki ternyata sangat dekat dengan Iran. Dari situlah saya berniat menghadiri simposium di Turki sekalian untuk melanjutkan perjalanan ke Iran. Lagipula harga tiketnya sangat terjangkau, hanya sekitar 700 ribu rupiah.
Kenapa saya tertarik ke Iran? Karena dalam 2-3 tahun terakhir ini Iran menjadi negara yang fenomenal. Tidak ada negara di dunia yang berani melawan hegemoni Amerika, Israel, dan sekutunya-kecuali Iran.
Saya merasa negara seperti ini harus saya kunjungi. Iran punya nilai perlawanan terhadap hegemoni global, tetapi juga menunjukkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat - padahal mereka telah diembargo selama 42 tahun.
Ini pelajaran besar bagi negara seperti Indonesia. Sumber daya alam Iran tidak sekaya Indonesia, tetapi dalam kondisi embargo mereka tetap bisa memajukan sains dan teknologinya. Bagi kami para akademisi, ini fakta empiris yang sangat menarik untuk diteliti.
Sebelum berangkat saya berusaha membangun kerja sama dengan ilmuwan Turki, tetapi tidak ada yang membalas email. Sementara ilmuwan Iran justru sangat responsif. Saya menemukan Profesor Ruhullah Nuri dari Universitas Gonabad yang bidangnya mirip dengan saya. Pagi saya kirim email, sore dia langsung membalas. Responsnya cepat sekali.
Sayang saat itu ia sedang berada di Ontario, Kanada, tapi ia langsung menghubungkan saya dengan koleganya, Dr. Mahrebi. Dari sinilah komunikasi kami dimulai. Yang membuat saya terkejut, bukan hanya mereka menerima tawaran kerja sama, tetapi mereka bersedia menanggung seluruh akomodasi dan transportasi selama saya berada di Iran. Awalnya saya kira itu hanya basa-basi, tetapi tidak. Dalam waktu singkat, hotel dan tiket pesawat domestik saya sudah dipesankan. Pelayanan mereka sangat prima, hotel yang diberikan pun sangat mewah. Hospitality mereka benar-benar luar biasa.

Bisa Prof jelaskan sedikit tentang bidang keahlian Anda dan bagaimana Anda melihat perkembangan ilmu ini di Iran?
Spesialisasi saya adalah ekotoksikologi perairan. Saya mengikuti perkembangan penelitian di Iran, khususnya peneliti-peneliti Universitas Teheran, lewat publikasi mereka di ResearchGate. Dari situ saya melihat bagaimana mereka melakukan monitoring zat pencemar di perairan Iran.
Saya juga pernah menerima paper dari seorang peneliti Universitas Hamadan tentang metode terbaru menyerap mikroplastik di perairan. Metode itu sangat inovatif sehingga dimuat di jurnal bereputasi tinggi.
Kalau membandingkan perkembangan bidang ini antara Indonesia dan Iran, saya belum bisa memberikan penilaian sepenuhnya, sebab pembacaan saya untuk di Iran ini masih terbatas. Tapi secara umum, Iran saya rasa setara dengan universitas-universitas besar di Indonesia. Namun yang terpenting bukan soal siapa lebih maju, tetapi bagaimana kita membangun kerja sama untuk saling mengisi.
Yang menarik, perkembangan teknologi di Iran sangat cepat. Ini penting bagi negara seperti Indonesia, terutama UNHAS untuk memperluas kerja sama internasional, tidak hanya dengan universitas Barat. Karena sains selalu dipengaruhi oleh paradigma, dan bekerja sama dengan negara-negara yang memiliki paradigma berbeda akan memperkaya perkembangan riset kita.
Selain itu, hubungan historis Indonesia dan Persia sudah berlangsung sangat lama. Banyak kata bahasa Indonesia berasal dari bahasa Persia, misalnya “anggur”. Ketika saya berdiskusi dengan akademisi Iran, mereka juga heran bagaimana dua wilayah yang begitu jauh memiliki kedekatan bahasa. Saya jelaskan bahwa hubungan kita sudah terjalin sejak dahulu, bahkan pada level budaya dan peradaban.

Oleh karena itu, kunjungan saya ke Iran kami sebut sebagai upaya revitalisasi hubungan yang sudah terjalin sejak lama. Jangan sampai modal sosial dan warisan intelektual itu terbuang percuma. Kalau bisa ada semacam asosiasi antara universitas-universitas di Indonesia, dengan universitas-universitas di Iran, agar kerja sama dapat diintensifkan.
Harus diakuia, sejak Revolusi Islam yang dipimpin Imam Khomeini, Iran menjadi negara yang di Indonesia lebih sering terdengar hoaks-nya daripada faktanya. Hoaks tentang Iran luar biasa banyaknya. Seharusnya fakta tentang Iran berada “di utara”, tetapi hoaks yang diterima masyarakat justru menggambarkan Iran “di selatan”. Ini sangat disayangkan.
Karena itu, untuk meluruskan persepsi tersebut, lembaga seperti ABNA perlu melakukan penelitian historis secara intensif sebagai basis data untuk menunjukkan kepada masyarakat Indonesia bahwa hubungan kita dengan Iran dan bangsa Persia sangat erat.
Saya sudah jelaskan sebelumnya, salah satu alasan mengapa Iran mampu bertahan adalah karena budaya penelitian mereka tetap masif. Ketika saya mengunjungi perpustakaan Ayatullah Sayid Marasyi Najafi, saya melihat seorang Ayatullah yang sudah sedemikian lanjut, tapi masih menghabiskan malam-malam di perpustakaan dengan pensil di tangan, mencatat rujukan dan sepertinya sedang menulis buku. Ini luar biasa. Di era digital seperti sekarang, ulama tua itu masih melakukan penelitian dengan metode manual. Semangat ilmiah yang masih kuat di Iran inilah menjadi bukti betapa budaya penelitian masih sangat hidup di negara ini.
Semangat seperti ini sangat dibutuhkan di Indonesia. Salah satu tolok ukur reputasi internasional universitas adalah jumlah karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional. Jika semangat penelitian tidak ada, semua target hanya akan menjadi slogan. Rektor bisa saja memerintahkan ini-itu, tetapi tanpa budaya ilmiah yang terbentuk secara “genetik”, semuanya sulit terwujud.
Di sinilah pentingnya kerja sama ilmiah. Dengan kolaborasi, dua pihak bisa saling mengisi; ada pihak yang memiliki kelebihan, ada yang memiliki kekurangan, dan semuanya bisa saling melengkapi. Di Universitas Hasanuddin misalnya, ada TRG (Thematic Research Group), gagasan dari Rektor Prof. Jamaluddin Jompa. Ini ide yang sangat cemerlang, karena TRG menggabungkan lebih dari satu kompetensi.
Di TRG saya, bidang Aquatic Ecotoxicology, misalnya, ada mitra dari Jepang yang ahli dalam human and environmental studies, bukan hanya lingkungan, tetapi juga humaniora. Integrasi bidang seperti ini sangat membantu penyelesaian berbagai persoalan, terutama yang kompleks. Apalagi jika kolaborasinya lintas agama, lintas negara, lintas peradaban, dan lintas kebudayaan. Dengan kerja sama Indonesia–Iran, akan banyak masalah yang bisa diselesaikan bersama.
Sayangnya, sejak Revolusi Islam, citra Iran di Indonesia lebih banyak dibentuk oleh hoaks daripada fakta. Padahal faktanya Iran berada di posisi yang sangat berbeda dari gambaran negatif itu. Hoaks tentang Iran banyak beredar karena Iran adalah negara yang berani melawan dominasi Amerika dan Israel.

Prof, apakah ada perubahan perspektif setelah Anda datang langsung ke Iran, terutama dengan gencarnya media Barat membangun perspektif yang negatif mengenai Iran?
Sebagai akademisi, saya sejak awal memang tidak percaya hoaks-hoaks itu. Karena kita tahu bahwa dalam konflik antarnegara, propaganda media selalu dipakai sebagai senjata. Media besar seperti CNN dan BBC saja sering membuat bias, apalagi buzzer-buzzer zaman sekarang yang kontennya kasar dan brutal.
Satu kali ketika saya di rumah sakit, saya melihat seorang ibu tua menonton ceramah yang penuh hoaks tentang Iran dan Syiah. Semua yang ia dengar itu bertentangan dengan literatur ilmiah yang saya baca. Hoaks ini tersebar di seluruh Nusantara dan dunia karena Iran berani melawan Amerika dan Israel.
Namun setelah perang 12 hari, banyak intelektual mulai mengakui bahwa Iran bukan sekadar retorika. Mereka benar-benar melakukan apa yang mereka katakan. Banyak yang dulu mengatakan Iran hanya “omong besar”, tapi kemudian melihat bukti nyata.
Iran adalah negara yang sangat sabar dan cermat dalam strategi. Sejarah pun membuktikan bangsa Persia terkenal ahli strategi, sejak zaman Salman al-Farisi pada perang Khandaq. Strategi dan kecerdasan Salman diakui Rasulullah sehingga tidak jarang beliau memujinya, bahkan pernah menyebut Salman sebagai bagian dari Ahlulbait. Tradisi kecerdasan strategis itu kita lihat diwarisi Republik Islam Iran hingga hari ini.
Iran tidak gegabah. Mereka selalu menghitung langkah dengan matang. Mereka tidak bisa didikte pihak luar, bahkan Amerika tidak bisa mengontrol mereka. Dan Iran punya banyak ahli Future Studies, ilmu untuk memproyeksikan masa depan menggunakan perangkat analisis canggih. Ini sangat penting dan Indonesia juga perlu mengembangkan kelompok riset serupa.

Terakhir Prof, apa pesan Anda untuk masyarakat Indonesia?
Secara pragmatis saya ingin menyarankan agar masyarakat Indonesia tidak termakan hoaks. Salah satu caranya diantaranya adalah membuat paket Umrah plus Iran. Selama ini hanya ada Umrah plus Turki. Padahal Turki–Iran hanya dua jam penerbangan dan tiketnya murah sekali.
Dengan Umrah plus Iran, masyarakat tidak hanya mendapat pengalaman ibadah, tapi juga melihat langsung budaya dan peradaban yang cemerlang. Mereka akan lebih cerdas menilai informasi.
Di era Syekh Yusuf Makassar dulu, jamaah haji dibekali ilmu dulu sebelum berangkat dan setelah pulang, sebagai modal untuk membangun masyarakat. Hari ini metode itu bisa dihidupkan kembali: Umrah sambil belajar peradaban Turki dan Iran.
Perjalanan ini bukan untuk hura-hura atau belanja, tapi menimba ilmu baik, sains maupun ilmu-ilmu Islam, yang berguna untuk mencerdaskan masyarakat. Apalagi orang Iran sangat ramah terhadap orang Indonesia. Mereka menyebut kita “Andunisi”, dan begitu antusias ketika tahu kita dari Indonesia.
Saya kira inilah salah satu cara terbaik untuk membangun masyarakat yang cerdas dan memperkuat hubungan ilmiah Indonesia–Iran. Masyarakat itu harus kita didik, kalau tidak, negara ini sendiri yang bakal repot punya warga yang tidak terdidik.
Terimakasih Prof atas waktunya.
Sama-sama.

Your Comment