18 Desember 2025 - 19:42
Dari Universitas Tokyo ke Qom; Pengalaman Spritual Seorang Gadis Jepang Menemukan Islam dan Memilih Mazhab Syiah Ahlulbait

Dari jantung Jepang hingga kota suci Qom, perjalanan spiritual Fateme Atsuko Hoshino bukanlah kisah perpindahan geografis, melainkan hijrah kesadaran. Tanpa bertemu satu pun Muslim, hanya berbekal pencarian rasional dan kejujuran nurani, ia menemukan Islam melalui pertanyaan kritis terhadap propaganda anti-Islam, lalu mengenal makna hidup dalam penghambaan, Ahlulbait dan hijab sebagai identitas eksistensial؛ sebuah kesaksian hidup tentang bagaimana kebenaran menemukan jalannya sendiri, melampaui batas budaya dan bangsa.

Kantor Berita Internasional Ahlullbait -ABNA- Seorang perempuan Jepang yang 15 tahun lalu, di sebuah kota tanpa masjid dan husainiyah, hanya melalui pencarian di internet, memulai perjalanannya dari satu pertanyaan sederhana: “Mengapa begitu banyak biaya dikeluarkan untuk melawan Islam?” hingga akhirnya mencapai makna sejati hidup dalam penghambaan—kini menetap di kota Qom. Ia menerima chador-nya sebagai hadiah di haram Imam Ridha as, mengenakan warisan Sayidah Fatimah (sa), dan menemukan ketenangan di bawah naungan ibu spiritualnya, Sayidah Masumah sa.

Fateme Atsuko Hoshino, perempuan Jepang yang kini tinggal di Qom, lebih dari 15 tahun lalu memeluk Islam dalam kondisi keterasingan total, tanpa interaksi langsung dengan seorang Muslim pun, dan hanya melalui internet. Setelah itu, ia memilih mazhab Syiah.

Dalam wawancara yang hangat dengan ABNA, perempuan Muslim Jepang ini menuturkan kisah menyentuh tentang pencarian kebenaran, luka-luka batin, penemuan makna penghambaan, pergulatan dengan syubhat, penerimaan hijab dan chador, hingga akhirnya hijrah ke Qom. Sebuah perjalanan yang bermula dari rasa ingin tahu terhadap propaganda media, dan berujung pada ketenangan abadi di sisi Sayidah Masumah sa.

Di Sekelilingku Tidak Ada Seorang Muslim Pun

“Saya tinggal di sebuah kota kecil bernama Ujita, di Provinsi Niigata. Saya seorang mahasiswa, lalu pergi ke Tokyo untuk kuliah. Di sekeliling saya tidak ada seorang Muslim pun—tidak ada dai, tidak ada teman, bahkan tidak ada Muslim non-dai. Saya hanya melihat Muslim dari kejauhan. Terus terang, pada masa itu saya tidak memiliki perasaan yang baik terhadap Muslim. Ada Muslim yang perilakunya kurang baik dan saya tidak memiliki kesan positif terhadap mereka.

Di Jepang tidak ada masjid Syiah. Ada husainiyah di Kedutaan Iran, atau seseorang yang mengadakan majelis di rumahnya dan mengundang beberapa keluarga. Kami tidak memiliki komunitas yang kuat, tidak ada salat Jumat. Cabang al-Mustafa baru berdiri lebih dari 10 tahun lalu, dengan jumlah aktivitas yang terbatas dan belum mencapai tingkat komunitas Ahlusunah.”

Saya Penasaran, Karena Mereka Menghabiskan Biaya Sangat Besar

“Sejak kecil saya mencari sesuatu yang bisa menenangkan hati saya. Saya mengenal berbagai aliran Buddha, Kristen, Yahudi—bahkan mencoba praktik asketisme serta sihir, berharap mendapatkan kekuatan supranatural agar merasa lebih baik. Namun rasa sakit itu tidak hilang. Ada kekosongan besar di dalam diri saya yang tidak saya pahami.

Setelah tahun 2000, televisi mengatakan: ‘Muslim itu teroris, pembunuh non-Muslim, pembuat onar, membuat dunia tidak aman terutama dengan terjadinya insiden 11 September, pembakaran Al-Qur’an…’ Saya berpikir: semua biaya ini untuk apa?

Tidak ada orang yang mengeluarkan uang tanpa alasan. Saya jadi penasaran: mengapa menghancurkan Islam begitu penting bagi mereka? Dari pertanyaan inilah semuanya dimulai. Saya mulai belajar. Saya melihat bahwa semuanya justru terbalik 180 derajat. Islam digambarkan sebagai ‘agama pedang’, tetapi Muslim di mana pun memulai dengan ‘Assalamu’alaikum’ - sebuah salam yang indah, doa untuk keselamatan dan rasa aman. Ini sepenuhnya bertentangan dengan citra media.

Perempuan digambarkan tertindas dan tidak memiliki hak. Mereka mengatakan Islam menindas perempuan, tetapi lebih dari 80 persen mualaf adalah perempuan. Jika hijab adalah simbol penindasan, seharusnya laki-laki yang lebih banyak masuk Islam. Media menjadikan hijab simbol ketertindasan, tetapi kenyataannya justru sebaliknya.

Dalam Islam, perempuan sangat dihormati, terdapat banyak figur perempuan suci, dan kedudukan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dalam Buddhisme dan Kristen—mereka memiliki hak yang lebih besar.”

“Penghambaan (ʿUbudiyyah), Makna Kehidupan”

Pertanyaan saya adalah: hidup ini untuk apa? Apa tujuan hidup manusia? Di mana pun saya mencari, tidak pernah ada jawaban yang jelas dan meyakinkan. Al-Qur’an menjawab: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku.” (QS. az-Zariyat [51]: 56)

Sederhana, tegas, dan kokoh. Ayat ini menjawab seluruh pertanyaan saya dengan jelas dan pasti, tidak seperti agama-agama lain yang memberikan jawaban samar. Luka-luka batin saya mulai sembuh. Bahkan pada masa itu, terkadang saya sempat berpikir untuk mengakhiri hidup, tetapi pikiran-pikiran itu perlahan menghilang.

Saya menemukan makna hidup, menemukan nilai diri saya. Cara pandang saya terhadap dunia berubah: dunia ini bukan kehidupan utama, melainkan tempat ujian; kehidupan yang sesungguhnya adalah akhirat. Ketika saya benar-benar memahami dan menerima hal itu, rasa sakit saya sembuh. Saya tidak bisa untuk tidak menjadi Muslim. Saya mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengenal Islam membuat kondisi batin saya membaik, memberi saya kepercayaan diri, dan membuat saya mampu melihat dunia dengan lebih jernih. Saya menemukan sesuatu yang selama ini hilang dalam diri saya.

Doa Kumayl Membuka Mata Saya

Dua atau tiga bulan setelah masuk Islam, satu-satunya sumber informasi saya hanyalah internet, tidak ada satu pun Muslim di sekitar saya. Saya menemukan sebuah situs tentang doa-doa dan ziarah Syiah. Dalam daftar doa, saya melihat Doa Kumayl. Saya tidak tahu artinya apa, tetapi saya membukanya.

Saya terpaku berjam-jam tanpa bergerak. Isinya sangat luar biasa - tentang Tuhan dan hakikat alam semesta. Ini bukan kata-kata manusia biasa. Tertulis bahwa doa ini diriwayatkan oleh Imam Ali as. Saya hanya pernah mendengar namanya—beliau sangat terkenal dalam sejarah Islam—tetapi saya belum mengenalnya.

Dari sinilah semuanya dimulai. Saya membaca lebih banyak doa. Semakin saya membaca, semakin saya memahami Al-Qur’an dan Tuhan dengan lebih baik. Saya kemudian mengenal Hadis Tsaqalain: “Al-Qur’an dan Ahlulbait.” Seorang Muslim harus memiliki keduanya. Rasulullah benar. Sejak mengenal Ahlulbait, semuanya menjadi lebih terang.

Sebelumnya saya hidup di dunia hitam-putih. Sekarang, seolah mata saya terbuka ke dunia yang penuh warna. Saya mulai tertarik membaca buku-buku tentang Ahlulbait as.

Saya Menjadi Syiah Karena Mencari Kebenaran

Dua atau tiga bulan setelah menjadi Muslim, saya pergi ke Korea Selatan. Di sana saya berkenalan dengan seorang mahasiswi asal Malaysia. Ketika ia tahu saya telah memeluk Islam, ia berkata kepada saya: “Tidak semua Muslim itu Muslim; sebagian adalah kafir dan penyembah berhala, di Iran, Lebanon, Irak.”

Saat itu saya tidak memahami maksudnya. Setelah kembali ke Jepang, saya mencari negara-negara yang ia sebutkan. Saya baru memahami bahwa yang ia maksud adalah Syiah. Di dunia maya banyak sekali syubhat: “Syiah telah mengubah Al-Qur’an,” “Syiah hanya sujud di atas turbah dan mereka musyrik” (belakangan saya memahami bahwa sujud di atas turbah bukanlah penyembahan).

Kemudian saya mendapatkan terjemahan Al-Qur’an bahasa Jepang dan beberapa buku kecil dari pusat Islam Ahlusunah. Namun, keraguan pertama yang muncul di benak saya berkaitan dengan wafatnya Nabi Muhammad saw. Dalam buku tersebut ditulis bahwa dari empat khalifah, tiga di antaranya bekerja keras menjaga negara Islam yang baru lahir dengan membicarakan siapa pengganti Rasulullah yang baru saja wafat, dan hal ini digambarkan dengan sangat menonjol. Namun juga tertulis bahwa hanya Imam Ali as yang tetap berada di sisi Rasulullah saw. 

Dalam budaya tradisional Jepang, pemakaman sangatlah penting—bahkan untuk orang asing pun kami berusaha hadir. Saya berpikir: bukankah semua orang berada di Madinah? Apakah sulit meluangkan waktu 10–15 menit untuk menghadiri pemakaman Nabi?

Saya mulai belajar bahasa Arab dari nol, dari alfabet. Saya membaca Al-Qur’an dengan sangat sederhana dan bahkan memeriksa arti kata-kata. Saya menyadari bahwa sebagian terjemahan ayat keliru—bahasa Arab saya masih sangat dasar, tetapi cukup untuk memahami bahwa terjemahan itu salah. Saya bertanya: mengapa tidak diperbaiki? Mereka menjawab: “Ini berdasarkan pendapat ulama kami, kami tidak berhak memberikan pendapat.”

Contoh terbesarnya adalah kesalahan dalam terjemahan Ayat Wilayah. Ayat itu menjelaskan bahwa Imam Ali as bersedekah dengan cincin saat rukuk, dan ayat tersebut menegaskan siapa yang harus ditaati oleh kaum Muslim. Kata “raki'un” (orang-orang yang rukuk) diterjemahkan dalam bahasa Jepang sebagai “orang-orang yang bersujud”. Padahal rukuk dan sujud berbeda. Belakangan saya tahu bahwa kesalahan ini juga ada dalam terjemahan bahasa lain.

Dengan kesalahan terjemahan ini, pesan ayat tidak tersampaikan dengan benar. Saya menemukan beberapa ayat serupa dan menyadari bahwa semua ayat yang diterjemahkan secara keliru ini berkaitan dengan Ahlulbait as. Seolah ada pihak yang tidak ingin orang-orang memahami kedudukan Ahlulbait.

Semua ini sangat berat bagi saya: berjuang menghadapi keluarga, masyarakat, mencari makanan halal (selama 5–6 tahun saya hampir tidak pernah makan daging), menghadapi tantangan hijab, hingga ancaman dikeluarkan dari rumah karena keyakinan saya. Namun, seolah semuanya masih belum lengkap. Saya mendengar sebuah hadis: “Barang siapa meninggal tanpa mengenal Imam zamannya, maka ia mati dalam keadaan jahiliah.” Dengan semua perjuangan itu, jika belum mengenal Imam, maka semuanya seakan sia-sia—dan ini sangat menyakitkan bagi saya.

Saya juga menyadari bahwa kezaliman yang terjadi 1.400 tahun lalu masih terus berlanjut hingga hari ini. Setiap hari kezaliman itu terus berlangsung. Berat sekali. Namun alhamdulillah, dengan mengenal Ahlulbait, kondisi saya jauh lebih baik dan saya menemukan ketenangan.

Hijab Adalah Resep Sang Dokter

Islam memperbaiki kondisi saya—seperti seorang dokter spesialis yang menyembuhkan luka batin saya, dan saya pun mempercayai dokter ini. Saya bukan ahli dalam segala hal, tetapi saya melihat bahwa pendapat dokter ini benar. Namun dokter ini memberi saya resep yang mencakup hijab. Saya berkata: “Baik.” Jika seorang dokter memberi lima obat dan saya hanya meminum dua, saya tidak akan pernah sembuh. Saya menjalankan semuanya agar sembuh sepenuhnya. Tidak ada seorang pun yang menjelaskan hal-hal ini kepada saya sejak awal; saya mengalaminya sendiri.

Orang tua saya sangat menentang hijab. Saya terpaksa tidak mengenakan kerudung di dalam kota. Saya memakai pakaian panjang dan longgar—bahkan model ini disukai orang Jepang. Namun masalah tetap pada kerudung. Agar tidak menarik perhatian sebagai seorang Muslim, saya memakai topi besar dan menggunakan syal sebagai penutup aurat. Namun ketika pergi ke Tokyo, saya mengenakan kerudung—dan terkadang bahkan diikuti oleh aparat intelijen (saya baru tahu dari teman-teman saya kemudian).

Pada masa itu, pengetahuan masyarakat tentang Islam sangat minim dan mereka bersikap buruk karena prasangka. Tantangannya sangat berat—hingga akhirnya saya memutuskan untuk hijrah ke negara Muslim. Dulu, atas nama kebebasan, saya melakukan banyak hal yang justru membuat saya semakin terbelenggu. Dalam budaya Jepang, penampilan fisik—kulit, daging, dan tulang—menjadi tolok ukur utama nilai seseorang. Saya berusaha meletakkan nilai diri saya pada penampilan, tetapi dari dalam saya mendengar jeritan jiwa saya sendiri: nilai manusia tidak boleh dibatasi pada tubuh fisiknya; nilai manusia harus melampaui itu. Kontradiksi ini sangat menyakitkan.

Semakin saya maju dalam budaya tersebut, semakin saya merasa dikonsumsi—dan itu perasaan yang sangat buruk. Namun saya menjadi Muslim dan berhijab dengan baik (meski saat itu belum mengenakan chador).

Kemudian saya membaca ayat: “Hendaklah mereka mengenakan jilbab agar mereka dikenali.” Makna “dikenali” ini sangat menarik bagi saya. Dulu saya ingin dikenali melalui nilai fisik. Setelah mengenal Islam, saya memahami bahwa “dikenali” berarti dikenali melalui kepribadian, kemanusiaan, dan iman.

Perbedaan kedua pandangan ini sangat besar. Kelompok yang mengejar nilai seksual dan fisik akan semakin kehilangan nilai itu seiring waktu—dan ini membuat manusia putus asa. Inilah salah satu alasan mengapa dalam budaya materialistik, banyak orang sakit secara batin bahkan mendekati bunuh diri. Sebaliknya, kelompok kedua semakin hari semakin penuh harapan dan hidup menjadi semakin indah.

Dalam Surah al-‘Ashr, Allah berfirman bahwa semua manusia berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Saya menyadari bahwa saya berada dalam kerugian—dan ini menjadi penyembuhan bagi saya.

Hari ini saya merasakan bahwa hijab adalah persoalan eksistensial bagi saya. Seperti kisah Sayidah Ruqayyah sa yang pertama mengadu bahwa kerudungnya dirampas, baru kemudian mengatakan ayahnya dibunuh. Dari kisah ini saya memahami bahwa tanpa hijab, saya tidak bisa eksis. Tanpa hijab, saya tidak bisa menjadi perempuan Muslim yang bermartabat.

Hijab bukan pembatas bagi perempuan; justru ia membebaskan perempuan dari belenggu hal-hal yang tidak pantas bagi martabatnya. Kebebasan tidak bisa menjadi tujuan; ia hanyalah kondisi. Yang penting adalah kebebasan yang bermakna dan bermanfaat. Dengan hijab, saya memiliki kebebasan untuk memilih siapa yang boleh melihat saya—sedangkan perempuan tanpa hijab tidak memiliki kebebasan ini.

Saya Menerima Chador sebagai Hadiah di Haram Imam Ridha as

Saya hanya pernah melihat chador di foto, tidak pernah secara langsung. Dalam perjalanan pertama saya ke Iran sebelum hijrah, saya pergi ke Masyhad untuk ziarah. Saya sangat terharu: Jepang di mana, Masyhad di mana? Saya berada sangat dekat dengan seorang Imam maksum—rasanya seperti mimpi.

Saya ingin memberikan hadiah kepada Imam Ridha as. Dari jendela hotel saya melihat perempuan-perempuan dengan chador hitam yang memiliki keindahan spiritual luar biasa. Saya berkata pada diri saya: saya akan membeli chador, memakainya, dan menghadiahkannya kepada Imam Ridha as.

Saya membelinya, memakainya, dan melangkah menuju haram. Saat melihat kubah emas dan melangkah semakin dekat, saya mendengar suara Imam di hati saya: “Bagus sekali, anakku.” Saya sangat tersentuh dan tidak pernah sanggup melepaskan hadiah ini. Saya kira saya yang memberi hadiah kepada Imam Ridha as, tetapi sebenarnya Imam Ridha-lah yang memberi hadiah kepada saya—warisan ibunya, Sayidah Fatimah sa.

Qom Adalah Sebuah Impian

Bagi seseorang yang lahir dan besar di Jepang, yang sulit menemukan makanan halal dan bercita-cita mendengar azan dari masjid, Qom adalah mimpi yang menjadi nyata. Semua yang diimpikan Muslim di berbagai negara, tersedia di Qom dalam satu tempat. Saya selalu mengingatkan diri saya: dulu saya di mana, sekarang saya di mana—agar kebiasaan tidak menjadi penghalang antara nikmat Allah dan hati saya.

Kami yang tinggal di Qom, meski jauh dari keluarga, tidak merasa asing. Sayidah Masumah sa adalah ibu kami semua. Di Qom, dari seluruh Iran dan dunia, para pecinta Ahlulbait berkumpul di bawah naungan ibu spiritual kami, hidup bersama sebagai saudara. Ini sangat indah.

Jepang Sedang Terbangun, dan Ini Baru Awal

10–15 tahun lalu, tidak terbayangkan orang Jepang turun ke jalan untuk isu jauh secara geografis. Namun kini kesadaran meningkat dan pandangan masyarakat berubah secara positif. Perlawanan Palestina dan Lebanon telah membuka mata banyak orang terhadap kebenaran.

Peristiwa seperti 11 September justru meningkatkan jumlah mualaf. Allah berfirman: “Mereka berbuat makar, dan Allah membalas makar mereka, dan Allah sebaik-baik pembalas makar.” Setiap upaya musuh justru membuat kebenaran semakin nyata—dan ini sangat indah.

Pada awalnya keluarga saya sangat menentang. Mereka tidak mengizinkan saya berbicara langsung tentang Islam. Namun secara tidak langsung saya menjelaskan kepada adik-adik saya, mengungkap kebohongan media, menjelaskan kedudukan perempuan dalam Islam, dan menjelaskan isu-isu seperti rajam—yang di media digambarkan seolah mudah diterapkan, padahal kenyataannya syaratnya sangat berat.

Lambat laun mereka sendiri menyadari betapa banyak kebohongan tentang Islam yang selama ini mereka terima. Bahkan salam Muslim “Assalamu’alaikum” yang begitu indah, sangat mengubah cara pandang adik-adik saya.

Your Comment

You are replying to: .
captcha