Menurut Kantor Berita Internasional Ahlulbait - ABNA - Dalam rangka memperingati hari kesyahidan putri Rasulullah saw. Sayidah Fatimah az-Zahra s.a., Kantor Berita ABNA mengadakan diskusi ilmiah, yang menghadirkan dua mahasiswi Universitas Internasional Almustafa asal Indonesia. Rafiqah dalam penyampaiannya mengucapkan terimakasih kepada ABNA yang telah mengundangnya dengan mengatakan, “Saya berterimakasih kepada ABNA telah mengadakan diskusi ilmiah ini untuk mengenang kesyahidan Sayidah Fatimah s.a. Kepribadian Sayidah Fatimah sa, tidak ada habisnya untuk digali. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Sayid Ali Khamenei menyebutnya sebagai rahbar be tamame ma'na, seorang pemimpin dalam segala hal, pemimpin dalam segala arti. Sehingga Sayidah Zahra s.a. tidak hanya pemimpin dan tauladan bagi perempuan saja, melainkan bagi seluruh umat manusia, baik laki-laki, perempuan, kanak-kanak, tua, muda. Pemimpin dalam segala hal yang artinya setiap aspek dan dimensi kehidupannya patut untuk kita teladani.”
Mahasiswi jurusan Teologi Universitas Internasional Almustafa ini lebih lanjut mengatakan, “Saat ini kita dihadapakan pada isu dan problem kemanusiaan terbesar sejarah, dan di hari duka ini saya merasa ini lah waktu yg tepat bagi kita untuk membahas keteladanan Sayidah Fatimah bagi perlawanan Palestina.”
“Membicarakan keteladanan Sayidah Fatimah maka sudah seharusnya kita menilik kembali kehidupannya di setiap dimensinya, di setiap aspeknya. Disini saya akan membahasnya dalam tiga aspek dan dimensi dimana ketiga-tiganya tidak bisa dipisahkan karna saling terkait satu sama lain.” Tambahnya.

Dimensi Maknawi dan Makrifati Sayidah Zahra s.a.
“Pertama dimensi maknawi dan marifati, dimensi spiritual. Bagaimana kehidupan Sayidah Fatimah dalam aspek dan dimensi ini. Ia lahir dalam rumah kenabian dan dididik langsung oleh Rasulullah, sehingga ia memiliki wawasan dan makrifat yang luas, wawasan dan pengetahuan terhadap dirinya, terhadap Tuhannya, terhadap alam semesta. Wawasan dan marifat terhadap Tuhannya yg kemudian berpengaruh pada hubungannya dengan Tuhannya sehingga ia mencapai puncak spiritualitas tertinggi.” Lanjutya.
Mantan Ketua Badan Fatimiyah - HPI Iran tahun 2017-2018 ini mengatakan, “ Sayidah Zahra sa di kondisi paling sulit tetap menjaga ibadahnya, yang kemudian hari ini diteladani oleh masyarakat muslim palestina. Kita saksikan seorang palestina bahkan ketika terjepit di antara reruntuhan bangunan rumahnya, ia tetap mendirikan salat. Dalam dimensi ini Sayidah Zahra s.a. mencapai kesucian zahir dan batin, tahirah, dan dalam kondisi tersulit pun beliau tetap menjaga kesuciannya. Dan ini lah yg diteladani saudari-saudari kita di palestina, dalam kondisi tersulit mereka tetap menjaga kesucian dan hijabnya. Puncaknya ketika Sayidah Fatimah mencapai maqam ridha, dan mendapat gelar radhiyah mardhiyah (yang ridha dan diridhai oleh Allah Swt.”
“Pencapaiannya dalam aspek dan dimensi ini memberikan pengaruh pada aspek dan dimensi lain kehidupannya, yakni dalam kehidupan berkeluarga. Bagaimana Sayidah Zahra s.a. memainkan peranan sebagai istri bagi seorang mujahid yang seluruh hidupnya diwakafkan untuk islam, sebagai penyokong utama bagi seorang mujahid yang seluruh hidupnya dipersembahkan untuk berjuang melanjutkan misi Rasulullah, dan menjadikannya sebagai sebaik-baik penolong bagi imam Ali a.s.” Ungkapnya.
Anggota Komunitas Peneliti Bait-e Vali Asr Mujtama Bintul Huda ini juga mengatakan, “KIta juga melihat bagaimana Sayidah Zahra s.a. memainkan peranan sebagai seorang ibu yang merupakan universitas pertama, yang mencetak generasi-generasi terbaik yang mengubah wajah sejarah, yang menginspirasi seluruh dunia untuk tidak tunduk di bawah tiran. Imam Husain a.s. yang merupakan inspirator utama bagi poros perlawanan, bagi kaum tertindas untuk bangkit melawan para tiran. dan Sayidah Zainab s.a. yang merupakan inspirator bagi para pendukung perlawanan. Keduanya lahir dari madrasah Fatimiyah, mendapat didikan langsung dari Sayidah Fatimah, menyaksikan bagaimana perjuangan ibundanya dalam mempertahankan hak imamnya. Dan ini diteladani oleh saudara-saudara kita di Palestina.
Keberhasilan Sayidah Fatimah dalam dua dimensi ini, mengharuskan kita untuk menyoroti kehidupan beliau di dimensi ketiga, yang mana ini juga terkait dengan dua dimensi lainnya.”

Kehidupan Sosial dan Politik Sayidah Fatimah s.a.
“Sebagian mungkin berpandangan bahwa agama dan politik merupakan dua hal yang terpisah, atau seorang yang aktif dalam kehidupan berumah tangga tidak bisa turut aktif dalam politik, namun kehidupan Sayidah Fatimah s.a. menolak pandangan ini mentah-mentah. Kita saksikan bagaimana ia mampu menyatukan keduanya. Di kehidupan sosial politik kita bisa saksikan perjuangan beliau.” Papar perwakilan Syurae Manteqe Indonesia ini.
Rafiqah berkata, “Saat hidup rasulullah, dari kecil ia telah ikut andil dalam perjuangan. Saat Rasulullah mendapat bullying dari kaum musyrik, baik verbal maupun fisik, Sayidah Fatimah hadir menghibur ayahandanya. Sampai mendapat gelar ummu abiha. Mungkin sulit terbayang bagi kita bagaimana anak kecil mampu menjadi pelipur lara bagi ayahnya, namun saat ini kita menyaksikan hal yang sama di Palestina. Atau saat Rasulullah dan para sahabat terluka dalam perang, ia turut merawat dan mengobati luka-luka itu, atau di hari-hari sulit di syi’b Abi thalib, ia pun hadir disana.”

“Apa yang dilakukan oleh Sayidah Zahra seluruhnya adalah perjuangan, bahkan tangisannya bukan semata-mata tangisan emosional, tapi tangisan perjuangan. Pasca Rasulullah wafat, sampai ia mencapai kesyahidan, perjuangan dan gerakan perlawanan Sayidah Zahra terlihat sangat jelas. Ketika haknya dirampas, ketika hak imamnya diabaikan, ia melakukan jihad tabyyin. Jihad tabyyin yang beberapa tahun lalu diperinntahkan oleh Ayatullah Sayid Ali Khamenei, sudah dicontohkan oleh Sayidah Zahra 1400 tahun lalu. Tidak salah jika ada ungkapan bahwa Sayidah Zahra adalah pelopor dalam jihad tabyyin, karna memang demikian adanya. Sayyidah zahra berpidato di Masjid Nabawi di hadapan para sahabat dalam rangka apa? Untuk jihad tabyin, memberikan pemahaman, menyadarkan masyarakat akan yang hak. Tidak hanya itu ia mendatangi satu persatu sahabat untuk menyadarkan mereka. Ini sebuah tamparan bagi kita supaya kita sadar bahwa, apa yang ia lakukan menegasikan pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu ikut andil dalam perjuangan, perempuan tidak berhak turun ke publik untuk menyuarakan apapun.” Tegasnya.

Perlawanan Membela yang Hak, dari Fatimah hingga Gaza
Sementara pembicara kedua Haryati, mengawali pembicaraannya dengan menceritakan kecintaan masyarakat Indonesia yang besar kepada Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Ia berkata, “Nama-nama Ahlulbait mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu, bahkan sejak Islam masuk pertama kali ke Nusantara. Kita tahu, makam Islam tertua di Indonesia yang ditemukan, pada nisannya tertulis nama Siti Fatimah binti Maimun. Kita juga menemukan, tidak ada satupun daerah muslim di Indonesia yang tidak ada yang tidak bernama Fatimah. Ini menunjukkan figur dan sosok Sayidah Fatimah bagi masyarakat Indonesia bukan sesuatu yang asing, semua mengenalnya dan menjadikannya figur keteladanan.”
Mahasiswi S2 jurusan Kajian Studi Islam Perempuan dan Keluarga Universitas Internasional Almustafa ini kemudian berkata, “Sejarah perlawanan tidak pernah kosong dari figur-figur perempuan. Dari Hajar hingga Asyiah, hijrah dimulai dari seorang perempuan yang berlari di padang gurun membawa air untuk seorang bayi kecil yang kelak menjadi nabi sampai pada didikan perempuan pada seorang nabi di istana Firaun. Hingga pada zaman nabi terakhir. Awal perjuangannya didampingi oleh istrinya Khadijah, dan setelah Khadijah wafat, ia dibela oleh putrinya, Sayidah Fatimah, yang mendapat gelar Ummu Abiha.”

Fatimah adalah Masalah Agama, Bukan Masalah Sejarah
“Pasca wafatnya Nabi Muhammad saw., disinilah awal jihad perlawanan Sayyidah Fathimah az Zahra. Putri nabi memasuki ranah politik dengan sekuat tenaga dan bangkit melawan. Dia melihat situasi ummat terjadi penyimpangan dan melanggar janji yang mereka telah ucapkan kepada nabi di peristiwa Ghadir Khum. Bukan hanya itu, dengan dalih Nabi tidak memiliki warisan, hak Sayidah Fatimah atas tanah Fadak yang telah dihadiahkan Nabi untuknya, telah diambil alih pengelolaannya. Tanah Fadak disebut milik umat, dan tidak bisa dimiliki secara perseorangan.” Jelas mantan Ketua Aliansi Keputrian Timur Tengah (AKTA) ini tahun 2020-2021.
Haryati lebih lanjut berkata, “Sayidah Fatimah dengan membawa putra-putrinya, berkeliling kerumah para Muhajirin dan Anshar selama 40 hari setelah wafatnya nabi guna mengingatkan mereka mengenai hak Ahlulbait. Bukan hanya itu, putri Nabi ini juga mendatangi Masjid Nabawi dan menyampaikan khutbahya yang bersejaran yang dikenal dengan nama Khutbah Fadakiyah. Ia memperjuangkan haknya atas tanah Fadak, bukan karena gila harta, melainkan mengajarkan sebuah sikap kepada umat, untuk tidak diam dihadapan kesewenang-wenangan. Dengan hujjah yang kuat ia menyebutkan, tanah Fadak dimiliki nabi tanpa melalui peperangan sehingga berdasarkan Al-Qur’an, menjadi milik pribadi nabi dan bukan milik bersama. Tanah Fadak dihadiahkan kepada putrinya.”
“Benar bahwa Islam adalah agama kasih sayang, namun kaum tertindas tidak boleh menoleransi kedzaliman. Dalam ayat Al-Qur’an disampaikan bahwa ciri-ciri masyarakat sehat salah satunya adalah jika di dzalimi maka kita harus melawan dan tidak membiarkan diri tertindas. Istri Ali bin Abi Thalib dalam sejarahnya telah melakukan perlawanan dengan perkataan dan perbuatan. Hingga dia meninggal, dia tetap melakukan perlawanan dengan memboikot orang-orang yang telah melanggar perintah nabi, melawan ketetapan agama dan rakus akan kekuasaan.” Tegasnya.

Perlawanan dari Fatimah ke Gaza
Anggota Komunitas Studi Kajian Perempuan ini berkata, “Fatimah adalah panutan bagi semua kalangan, baik laki-laki dan perempuan. Ruh perlawanan yang dimilikinya akan terus hidup dan merasuki para ibu-ibu yang beriman sehingga perlawanan tidak akan pernah padam. Gaza merupakan wujud perlawanan saat ini melawan para tiran. Sepanjang sejarah, kita mungkin tidak pernah melihat begitu banyak perempuan yang mati syahid di garis depan, seperti yang terjadi di Gaza. Perempuan Gaza selama 76 tahun berada di garda terdepan, memainkan peran pertama dalam perlawanan untuk membela hak tanah miliknya.”
“Para pemuda dan pria Gaza yang bergerak melawan Zionis memiliki ibu, istri dan anak perempuan, dan jika para perempuan ini tidak setuju, para Mujahidin ini tidak akan bergerak melawan Israel. Para ibu dan istri ini tahu bahwa jika remaja putra dan putri mereka berperang melawan Rezim Israel, musuh Zionis akan membombardir rumah mereka. Sehingga salah satu penyebab Zionis membom pemukiman-pemukiman di Gaza adalah keluarga dan perempuan di Gaza. Rezim Zionis sudah muak dan tidak ingin membiarkan laki-laki dan generasi muda Gaza terus melakukan perlawanan. Karena musuh mengetahui bahwa cara menghancurkan sumber daya manusia dan modal motivasi pemuda Gaza adalah melalui keluarga, perempuan dan anak-anak. Jika perempuan-perempuan ini dilawan, maka generasi muda dan laki-laki tidak akan mampu melakukan gerakan besar ini. Oleh karena itu, dikatakan garda terdepan dan role play pertama ada di tangan perempuan Gaza.” Lanjutnya.
“Saat ini, perempuanlah yang menjadi pihak pertama dalam barisan perlawanan. Jika Anda berbicara dengan ibu-ibu para syuhada dan mujahidin perlawanan, Anda akan merasakan keberanian dan ketidakegoisan mereka. Oleh karena itu, kita patut menyapa para perempuan perlawanan yang berani mewariskan hal tersebut kepada anak-anaknya. Para perempuan di Gaza tanpa pamrih mengatakan kepada laki-laki mereka, “Pergilah ke medan perang, bahkan jika mereka menghancurkan saya di sini karena pemboman.” Ini adalah kedudukan yang indah. Darah perlawanan yang mengalir dalam tubuh para ibu- ibu Gaza adalah darah perlawanan yang ditorehkan oleh Sayidah Fatimah az Zahra. Perjuangan melawan penindasan, membela hak adalah sejarah yang yang tidak bisa dihapus dengan ledakan bom dan kematian. Perlawanan para pecinta Fatimah akan terus berlanjut demi umat beriman dan anak-anak di dunia.” Tambahnya.

Haryati juga berkata, “Saat ini, kita dapat melihat bahwa beberapa pemimpin politik di dunia menaruh belas kasihan terhadap anak-anak Gaza. Preposisi apa yang kita miliki? Kita harus mengucapkan kata-kata superior itu dan menceritakan tentang keberanian mereka. Hillary Clinton, mantan menteri luar negeri AS, yang merupakan seorang perempuan, mengatakan: “Selama ibu-ibu Muslim mengajari anak-anak mereka pelajaran tentang kesyahidan, mereka semua adalah teroris dan mereka semua harus dibunuh.”
Pada bagian akhir penyampaiannya, founder Perempuan Bersuara ini berkata, “Para musuh paham bahwa keinginan syahid para pemuda Palestina ini disebabkan oleh pelajaran yang diajarkan ibu mereka. Jadi perempuan memainkan peran pertama dalam keberanian laki-laki untuk melawan. Membela diri dan berani memperjuangkan hak, adalah sejarah yang ditandai oleh Sayidah Fatimah az-Zahra dalam sejarah perlawanannya. Hal ini akan terus berlanjut tanpa henti hingga muncul kemenangan. Imam Khomeini, pemimpin besar revolusi Islam Iran pernah berkata, “Perlawanan adalah seseorang memilih jalan yang dianggapnya sebagai jalan yang hak, jalan yang benar dan mulai bergerak dijalan ini dan segala bentuk rintangan tidak dapat menghentikannya.”