Oleh: Ismail Amin
Nama aslinya Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husaini, namun dia dikenal dengan nama Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Namun orang-orang Iran lebih mengenalnya dengan nama Sayid Jamaluddin Asadabadi. Kewarganegaraannya sampai sekarang masih diperdebatkan. Menurut yang paling umum diterima, dia lahir di desa Asadabad, Kanar, di pinggiran Kabul, sebab merupakan pengakuannya sendiri dan dia sendiri yang menyematkan namanya dengan al-Afghani. Namun menurut Professor sejarah Timur Tengah dan Iran dari University of California Nikki Keddie dalam bukunya "Sayyid Jamal al-Din al-Afghani: A Political Biography" menyebut kelahirannya di Asadabadi Afghanistan tidak memiliki bukti jejak sejarah. Keddie dan juga sejarawan kontemporer meyakini dia lahir dan dibesarkan dalam keluarga Syiah di Asadabad, dekat Hamadan, di Iran yang kebetulan memiliki nama yang sama.

Sayid Jamaluddin di Iran
Fakta menyebutkan, Asadabadi Iran adalah kota kecil yang terdapat di tengah-tengah Hamedan dan Kermansyah telah ditinggali keturunan Imam Husain sejak abad 8 H sampai sekarang. Safatullah Jamali, cucu dari saudara perempuan Jamaluddin al-Afghani menyebut kakeknya adalah orang Iran. Dia membenarkan bahwa kakek buyutnya telah ada di Asadabad sejak 673 H dan beberapa leluhurnya juga dimakamkan di pemakaman Imam Zadeh di kota tersebut. Sementara di Asadabadi Afghanistan sebuah distrik kecil di dekat Kabul, tidak ditemukan bukti sejarah bahwa dia pernah lahir dan menetap disana.
Menurut teori,` Jamaluddin mengklaim diri orang Afghanistan agar dia bisa diterima dan mendapat pengaruh di lingkungan Sunni, sehingga diapun dikenal bermazhab Hanafi, mazhab yang dianut mayoritas muslim Afghanistan kala itu. Namun latar belakang pendidikannya tidak bisa disembunyikan bahwa masa mudanya dia habiskan di pusat pendidikan Syiah. Dia belajar di Qazvin, Tehran dan lama di Najaf, Irak yang merupakan sentra pendidikan Syiah. Dia sudah menghafal Alquran sejak berusia 12 tahun. Pemikirannya dipengaruhi oleh Ibnu Sina, Khawaja Nasiruddin al-Tusi dan Mulla Shadra. Syaikh Abu al-Hadi seorang ulama yang menjadi rivalnya menyebutnya dengan Mutaʾafghin, orang yang mengaku sebagai orang Afghanistan dan ia telah membeberkan bukti identitas kesyiahan Jamaluddin. Dia mengklaim, Jamaluddin telah melakukan taqiyah.

Sayid Jamaluddin di Iran
Bukti kuat akan kesyiahannya, dia adalah murid dari Syaikh Murtadha al-Anshari, ulama Syiah paling kesohor dimasanya. Dia belajar selama 4 tahun di bawah bimbingan langsung ulama marja Syiah tersebut. Dia juga ke India atas perintah Syaikh al-Anshari, membawa misi menciptakan hubungan baru antara negara-negara Islam yang terceraiberai oleh kolonialisme. Di India pandangannya makin terbuka. Dia jadi makin banyak mengenal masalah-masalah umat Islam dan berupaya mencarikan solusinya. Dua gagasannya yang paling terkenal dan sangat berpengaruh adalah nasionalisme dan Pan-Islamisme. Nasionalisme adalah gagasan yang menyerukan semangat kebangsaan dan Pan Islamisme adalah gerakan yang menyerukan persatuan umat Islam dalam melawan kolonialisme. Untuk mempromosikan idenya, ia bepergian ke berbagai negara Islam dan Eropa. Untuk memuluskan langkahnya ia berkali-kali melakukan penyamaran, yang membuatnya dia dicurigai banyak pihak. Oleh Inggris dia disebut mata-mata Rusia. Oleh Rusia dia disebut informan Inggris. Kepiawaiannya dalam berorasi memunculkan kesadaran baru dikalangan pribumi India melawan penjajah. Karena ia berhasil memobilisasi masyarakat menentang penjajahan Inggris, dia terusir dari India. Dia kemudian ke Afghanistan.

Sayid Jamaluddin ketika di Paris
Di Afghanistan, karena kelihaiannya berpolitik dengan spektrum wawasan yang luas, dia diangkat menjadi perdana menteri oleh Mohammad Azam Khan, Emir Afghanistan. Namun karena campur tangan Inggris, dia tersingkir dan akhirnya meninggalkan Afghanistan menuju Mesir. Di Kairo dia sempat menghabiskan waktu 6 tahun. Dia mengajar filsafat kalam di Universitas al-Azhar. Di luar jadwal mengajar formalnya dia membuka kursus politik. Dari sini, muncul Muhammad Abduh, murid ideologisnya, yang kemudian tampil melanjutkan misinya. Dalam menyampaikan ide-idenya, tidak hanya melalui mengajar dan berorasi, namun juga membuat jurnal agar transkrip pemikirannya lebih diketahui orang banyak.
Dalam banyak tulisan dan ceramahnya, al-Afghani menafsirkan kembali nilai-nilai Islam. Ia berupaya menemukan landasan yang kokoh bagi pembaharuan kehidupan kaum muslim, sehingga mereka lebih rasional dalam berfikir. Lewat tulisan-tulisannya, ia mengajukan konsep-konsep pembaharuannya yaitu; Musuh utama adalah penjajahan (Barat), umat Islam harus menentang penjajahan dimana dan kapan saja, dan untuk mencapai tujuan itu umat Islam harus bersatu (Pan-Islamisme). Tidak cukup hanya dengan orasi dan menulis, Sayid Jamaluddin mendirikan partai politik, yang dia namakan Hizbul Wathani. Melalui partai politik itu dia aktif menentang rezim Ismail Pasha (penguasa Mesir) yang disebutnya monarki boneka Inggris. Tahun 1889, dia berhasil menggulingkan Ismail Pasha namun oleh penggantinya, Tauffik Pasha (penguasa baru Mesir), Sayid Jamaluddin diusir dari Mesir.

Sayid Jamaluddin ketika di Istanbul Turki
Bersama Muhammad Abduh, dia kemudian ke Paris. Di kota tersebut dia menerbitkan majalah al-‘Urwah al Wutsqa. Penguasaannya terhadap setidaknya 6-7 bahasa asing, seperti Arab, Persia, Prancis, Inggris, Urdu dan Rusia, membuatnya bisa dengan mudah berpindah dan berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Setidaknya disebutkan dia pernah tinggal di Afghanistan, India, Mekah, Mesir, Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, Jerman, Iran dan Turki. Bahkan ada yang menyebut, dia pernah ke Indonesia. Di Iran karena ia menentang rezim Nasser al-Din Shah dan ideologinya disebut berbahaya, dia diusir dari Iran. Diapun menyebut dirinya, al-Gharib fil-Baldan wa al-Tharid 'anil-Wathan, asing di negara dan terasing dari tanah air.
Perjuangan dan pengembaraan Jamaluddin Al-Afghani baru berhenti ketika menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1897. Dia disebut diracun oleh suruhan Dinasti Qajar, sebagai balas dendam atas terbunuhnya Nasser al-Din Shah oleh Mirza Reza Kermani, murid Jamaluddin. Sayid Jamaluddim dimakamkan di Nishanta di Istanbul, Turki. Pada tahun 1945, karena diminta penguasa Afghanistan, jenazahnya dipindahkan ke Afghanistan dan dimakamkan di Kabul.
Dengan aktivitas dan mobilitasnya yang tinggi, Sayid Jamaluddin tidak menikah. Kisah heroiknya mengingatkan kita dengan Tan Malaka. Sama-sama tidak menikah, sama-sama idealis dan menghabiskan hidup untuk menentang kolonialisme dan sama-sama doyan bepergian. Tan Malaka pernah tinggal di setidaknya 6 negara, dan banyak menghabiskan usianya dari penjara ke penjara.
Tidak ada gerakan revolusi di dunia Islam yang tidak terinspirasi dari gagasan Sayid Jamaluddin. Di Indonesia era pra kemerdekaan pun, gagasan nasionalisme Sayid Jamaluddin telah mempengaruhi HOS. Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy'ari sampai Soekarno. Berdirinya Syarekat Dagang Islam pun berangkat dari ide Jamaluddin agar umat Islam bergerak menentang kolonialisme. Meski awalnya berdiri untuk menggalang kerja sama antara pedagang Islam demi memajukan kesejahteraan pedagang Islam pribumi dalam menghadapi monopoli dagang Belanda, namun selanjutnya SDI (kemudian berubah menjadi SI) bergerak untuk menentang politik Hindia Belanda dan mencita-citakan Indonesia merdeka.
Murtadha Muthahhari, ulama dan pemikir Iran mengatakan, "Tidak diragukan, gerakan revolusi seratus tahun terakhir berhutang budi pada Sayid Jamaluddin Asadabadi. Dialah yang memulai kebangkitan di negara-negara Islam, menceritakan penderitaan sosial umat Islam dengan realisme tertentu, menunjukkan cara untuk mereformasi dan menemukan solusi. Gerakan Sayid Jamal bersifat intelektual dan sosial. Sayid Jamal mengakui penderitaan paling penting dan kronis dari masyarakat Islam adalah tirani penguasa lokal dan kolonialisme asing. Dan dia berjuang melawan keduanya dengan penuh semangat. Meski pada akhirnya dia harus kehilangan nyawanya."
Orang-orang seperti Sayid Jamaluddin atau Tan Malaka, mungkin hanya akan muncul seratus tahun sekali. Tan Malaka pernah berkata, "Barangsiapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan dirinya sendiri."
Jamaluddin al-Afghani pernah berkata, "Telah aku kumpulkan pikiran yang berserak-serak. Telah aku satukan ingatan yang bercerai-berai. Maka aku renungkanlah seluruh Timur dengan penduduknya. Maka aku khususkanlah segala peralatan, otakku, untuk menyelidiki apa sakitnya; dan untuk mencari apa yang baik untuk obatnya. Telah aku dapat. Maka penyakitnya yang paling membunuh adalah perpecahan, pikiran yang bersilang siur. Tiap diajak kepada bersatu, merekapun berselisih. Maka akupun bekerjalah, berjuang, untuk menyatukan kalimat yang bercerai-berai itu. Aku peringatkan bahwa bahaya Barat sedang mengancam dengan dahsyatnya".

Makam Sayid Jamaluddin di Kabul Afghanistan
Demi persatuan umat, Sayid Jamal melepaskan atribut keyakinan pribadinya, dia membebaskan diri dari dikotomi Sunni-Syiah. Dia berbaur dengan Syiah di Iran dan Irak, dengan sufi di India, dengan Hanafi di Aghanistan dan Turki, dengan Maliki di Mesir, dengan Hambali di Hijaz dan Syafii di Timur Jauh. Dia menghabiskan usia dan segenap tenaganya untuk mempropagandakan persatuan umat. Sebuah cita-cita besar yang sampai sekarang masih terbentur tembok tinggi fanatisme mazhab dan sektarianisme. Yang membuat umat masih juga belum bisa lepas dari penjajahan politik dan ekonomi baik oleh tirani domestik maupun dari kolonialisme asing.
Sayid Jamaluddin berkata, "Oleh penguasa Sunni, saya disebut Rafidah. Oleh penguasa Syiah, saya disebut Nashibi."