Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : ابنا
Senin

29 Januari 2024

15.58.02
1433509

Peneliti BRIN Republik Indonesia:

Banyak Pemberitaan Media Asing yang Tidak Benar Mengenai Iran, Terutama Terkait Isu Perempuan

"Kalau saya melihat, saya sangat amazed (terkagum-kagum) dengan Iran. Selama ini memang framing media internasional tidak berpihak terhadap Iran. Sehingga misalnya banyak pemberitaan itu terlihat bias terhadap perkembangan terutama kontribusi perempuan di dalam pembangunan atau beberapa sektor kehidupan di negara Iran. Faktanya misalnya ketika saya melihat sendiri, wow, semua perempuan itu terlibat dalam berbagai sektor terutama soal pendidikan perempuan"

Menurut Kantor Berita Internasional ABNA, peneliti pada Deputi Kebijakan Publik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Republik Indonesia Elma Haryani, S.Ag, M.A, pada pertengahan bulan November tahun 2023 lalu beserta sejumlah aktivis perempuan Indonesia lainnya mendapat undangan dari Ibu Negara Iran, Prof. Dr. Jamileh Alamolhoda untuk mengikuti serangkaian pertemuan dan mengikuti Short Course Keperempuanan di kota Masyhad. Dalam perjalanannya pertama kali ke Iran tersebut, peneliti muda yang sedang menjalani program doctoral pada Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah, jurusan antropologi dan sosiologi agama ini membagikan pengalaman dan kesannya melalui wawancara dengan redaksi ABNA sebagai berikut:

ABNA: Kedatangan ibu ke Iran dalam rangka apa dan apa relevansinya dengan pekerjaan ibu sekarang?

Kedatangan saya ke Iran itu dalam rangka mengikuti Short Course yang diprakarsai oleh Ghoharsad International Foundation tentang perempuan dan perubahan dunia. Menurut saya tema ini sangat signifikan, baik untuk karir maupun personal. Semacam penguatan karakter building juga buat saya. Dan menurut saya ini selalu up to date. Satu hal juga mengapa saya sangat ingin ke Iran, saya melihat, Iran adalah negara yang kaya dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang merupakan top list untuk didatangi, entah dalam konteks seminar, akademik maupun hal-hal lainnya.

ABNA: Apa ibu memang merasa ada manfaat dari kedatangan ibu ke Iran baik pribadi maupun yang bisa disharing ke publik Indonesia?

Manfaatnya sangat banyak bagi pribadi, semacam recharge bukan hanya academic journey tapi juga spiritual journey, dapat dua-duanya sehingga seimbang antara otak kiri, otak kanan dan otak tengah. Jadi ada keseimbangan antara sould, mind and body. Kita bisa mendapatkan makanan ruhani dengan ziarahnya, makanan otak, dengan filsafatnya. Dan banyak hal yang menurut saya masya Allah. Saya merasa terberkati bisa sampai ke negara ini. Salah satu negara yang harus saya kunjungi setelah bertahun-tahun mengidamkannya.

ABNA: Ibu telah mengunjungi sejumlah negara dlm rangka melakukan penelitian maupun mengikuti short course, menurut ibu apa perbedaan yang ibu lihat dari negara-negara tersebut dengan Iran? baik dari sisi kelebihan maupun kelemahannya.

Saya sudah beberapa kali konteksnya itu ikut lulus shortcourse di negara-negara Barat. Ketika saya melihat kelebihan dan kekuranganya kalau kita compare dengan SC yang diadakan di Iran. Saya melihat kelebihan yang ada pada SC kali ini yang saya ikuti di Iran ini adalah dia memiliki semacam kekayaan falsafi, kekayaan pendekatan filosofi, kekayaan pendekatan budaya, dan itu konteksnya Islami. Pendekatannya lebih melihat ke seeing is believing. Tidak banyak mengajarkan teori-teori yang bersifat prinsip tapi kita diajak untuk melihat sebenarnya yang terjadi. Dan bagaimana antara yang idealitas dan realitas itu bersinergi dalam realitas keseharian. Kalau di Barat kita lebih banyak berbicara tentang konseptual dan mungkin akarnya tidak dari filsafatnya lebih dari ke sosiologis. Akarnya berangkat dari fenomen-fenomena atau antropologisnya juga, lebih kemanusianya. Tidak melihat praktik, melainkan lebih kekonsep. Sehingga lebih ke soal melihat Barat itu sebagai sebuah pusat konsep tentang beberapa hal yang baik, misalnya saat mengikuti SC di Oslo tentang konsep HAM Internasional. Terkait praktiknya diserahkan kekita masing-masing.

Nilai plus di dua itu, masing-masing bisa pengembangan dan penguatan jaringan, entah jaringan akademik, jaringan pertemanan, di dua-duanya itu. Cuman mungkin kelemahannya, entah di Iran dan Barat itu, mungkin tingkat kolaborasinya belum pada tahap yang lebih real, istilahnya follow upnya belum begitu real. Sehingga misalnya kadang berhenti di ketika SC saja, setelah itu paling acara reuni-reuni. Kalau saya pikir itu sayang, kalau tidak teruskan. Menggabungkan berbagai lintas mazhab dan lintas institusi, dan mempertemukan semua ini kan bukan sesuatu yang mudah. Jadi sayang saja, jika tidak ditindak lanjuti.

Mungkin kalau ke catatan terhadap penyelenggaraan SC yang saya ikuti di Iran, lebih ke time linenya. Misalnya kita tidak tahu besok itu temanya apa dan baru diketahui saat injury time. Kedua, lebih ke soal manajemen, yang serba tiba-tiba, tidak dikasi tahu. Selebihnya, sebagai sebuah permulaan yang dilakukan, ini sudah sangat luar biasa. Misalnya kita dipertemukan dengan Ibu Negara itu sebuah kehormatan yang luar biasa bagi kita, yang backgroundnya akademisi dan aktivis. Masya Allah.

Fasilitas dan akamodasinya dari tuan rumah menurut saya sangat luar biasa, terutama dalam pelayanan dan penghormatan terhadap tamu. Kalau dari skala 1-10, saya menyebutnya 9. Kalau 10 yang sempurna kan hanya milik Allah dan karena ini dari manusia, makanya saya beri 9.

Terus ada sesi semestinya yang harus diperbanyak. Seperti sesi sharing moments. Misalnya banyak hal di Indonesia yang bisa kita ceritakan. Begitu juga Iran, bisa mendengar dari Indonesia beberapa challenge and opportunity problem dan tantangan di Indonesia seperti apa. Begitu juga kita sering mendengar challenge and opportunity yang ada di Iran. Misalnya tentang fenomena anak muda dan K-Pop. Itu menarik jika didiskusikan lebih dalam. Karena ternyata itu juga terjadi bahkan di negara Islam. Tentunya agar kita bisa melihat bagaimana supaya bukan nilai K-Pop itu yang dominan tapi juga nilai-nilai yang kita pahami sebagai nilai yang konstruktif alias nilai-nilai Islam sebagai daily life di kalangan generasi muda.

ABNA: Bagaimana ibu melihat pelibatan kaum perempuan di Iran baik pelibatan di pemerintahan maupun sektor swasta?

Kalau saya melihat, saya sangat amazed dengan Iran. Selama ini memang framing media internasional tidak berpihak terhadap Iran. Sehingga misalnya banyak pemberitaan itu terlihat bias terhadap perkembangan terutama kontribusi perempuan di dalam pembangunan atau beberapa sektor kehidupan di negara Iran. Faktanya misalnya ketika saya melihat sendiri, wow, semua perempuan itu terlibat dalam berbagai sektor terutama soal pendidikan perempuan, masya Allah gitu, karena asumsinya perempuan itu madrasah, sekolah yang ketika kita mendidik satu perempuan itu ibarat mendidik satu bangsa. Dan yang paling menarik juga, basic pendidikan filsafat yang sangat kuat dan mengakar dalam budaya. Daily life di Iran dan peran perempuan di dalamnya merupakan satu hal yang menurut saya nilai yang tidak pernah kadaluarsa yang patut ditiru oleh negara-negara lain termasuk Indonesia.

ABNA: Tahun lalu sempat merebak isu pelanggaran HAM di Iran terkait kasus Mahsa Amini. Dengan datang langsung ke Iran apa memang menurut ibu terjadi ketidak adilan terhadap perempuan di Iran termasuk dalam hal dibatasinya ruang gerak dan akses bagi perempuan?

Tentang Mahsa Amini. Saya harus berhati-hati soal ini. Kita semua perempuan di dunia ini tahu tentang kasus ini. Maksudnya, media sedemikian massif mengekspos kasus ini. Cuman mungkin yang tidak kita ketahui, soal detailnya seperti apa. Dan apa korelasi kasus Mahsa Amini dengan persoalan politik, atau Mahsa Amini dengan persoalan keamanan, dan lain sebagainya. Dan itu tentu saja tidak diekspos oleh media internasional. Sehingga misalnya publik di Indonesia melihat kasus Mahsa Amini adalah potret seolah-olah karena di frame adalah potret perempuan di Iran yang dipaksa menggunakan hijab dan lain sebagainya. Padahal faktanya, saya melihat ada perempuan-perempuan Iran yang berhijab modern yang separuh dari rambutnya terlihat. Juga misalnya perempuan-perempuan Iran yang saya lihat di taman-taman, yang bebas mengenakan model apapun. Artinya ada kategori-kategori dimana misalnya itu masuk wilayah publik dan seterusnya. Lepas dari itu, saya memang tidak bisa berkomentar banyak sebab saya melihat ini secara faktual tidak ada represi terhadap perempuan di Iran, mau melakukan apapun. Misalnya di sektor tempat-tempat kerja, entah dimanapun mereka aman, baik itu bercadur ataupun tidak. Terkait dengan kasus Mahsa Amini, kita tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Jika ditanya apa ada hubungannya, itu yang bisa menjawab lebih pada pengamatan. Kok bisa media internasional menyebut perempuan di Iran terintimidasi, sementara saya melihatnya tidak terjadi intimidasi. Minimal setidaknya dalam dua pekan saya di Iran, saya tidak melihat ada tindakan repressif atau intimidasi. Perempuan Iran saya lihat bebas dalam platform sebagai muslimah.

ABNA: Menurut Ibu apa yang bisa ditiru atau dipelajari dari Iran terutama dalam isu-isu perempuan?

Kalau saya melihat, soal character building. Perempuan-perempuan Iran itu memiliki akar filsafat, akar budaya, akar nilai-nilai keislaman yang sangat solid. Itu mungkin bisa ditiru oleh perempuan di Indonesia yang entah mau dalam konteks akademik atau bukan. Belajar filsafat itu penting. Jadi kalau orang mau berpikir benar, dan bisa sampai pada titik kulminasi pemikiran yang baik, benar dan bijak, harus belajar filsafat. Dan perempuan harus memiliki platform untuk belajar fisalafat. Karena, kalau tidak hanya perempuan tapi siapapun, jika tidak punya platform belajar filosofis, pasti ujung-ujungnya akan mengalami kesalahan berpikir. Ada semacam cara berpikir yang kurang begitu jernih dalam melihat persoalan. Itu yang pertama. Kedua tentang kebanggaan dan independen menjadi diri sendiri. Tanpa misalnya, berkiblat pada entah itu dunia modern yang itu bisa keluar dari akar-akar culture mereka sendiri. Sehingga karakteristik mereka terlihat kuat. Itu mungkin bisa ditiru.

Satu hal lagi mengenai isu perempuan yang bisa dipelajari. Tidak tabu mempelajari tentang bagaimana perempuan itu. Tidak hanya di ranah agama, tapi juga di ranah publik, atau di ranah apapun. Kajian-kajian itu kan secara originally juga sudah pernah dibicarakan dalam kaidah-kaidah kajian keislaman. Dan ada contoh-contohnya. Misalnya ada Sayidah Fatimah, terus ada Sayidah Khadijah yang merupakan positif role model dan itu juga sebenarnya ada di Indonesia tapi mungkin itu tidak begitu Nampak, sementara di Iran itu tampak sangat kuat, sehingga ketika mau melihat perempuan dalam positif role model silakan liat Sayidah Fatimah dan Sayidah Khadijah, positif role modelnya itu living values.

ABNA: Apa harapan ibu terkait pengembangan kerjasama kedua negara Iran-Indonesia terutama dalam bidang sosial dan isu-isu perempuan?

Saya rasa ini poin krusial. Dan saya suka pertanyaan ini. Apa yang perlu dikembangkan? Indonesia dan Iran adalah dua negara yang memiliki platform yang bisa dikembangkan semaksimal mungkin. Sehingga misalnya begini, platform yang bisa dikembangkan itu bukan hanya dari sisi akademik tapi juga jejaring perempuan. Saya membayangkan begini, kalau seandainya alumni perempuan-perempuan dari Ghaharshad dari Indonesia, Malaysia, Singapura itu akan dibuat per bagian, sepertia ada bagian Asia dan seterusnya, karena memang tema besarnya adalah perempuan dan perubahan dunia. Jika itu digarap secara serius masya Allah, itu akan semacam muslimah sisterhood community jadi komunitas persaudaraan perempuan Islam sedunia, dan itu menarik. Kegiatannya apa? Harus ada kolaborasi bersama, ada proyek bersama. Tidak harus yang berat-berat. Misalnya mengadakan Seminar Internasional, entah dimana dengan mengundang para alumni diberbagai kluster-kluster, entah Malaysia dan Singapura. Sehingga bisa selanjutnya dibuat pleno-pleno dalam seminar itu, apa kira-kira model proyek yang bisa dilakukan secara bersama, entah riset, entah misalnya pengembangan pemberdayaan perempuan atau misalnya asosiasi yang itu bisa jadi sangat powerfull jika dianisiasi oleh para alumni dan secara resmi disahkan oleh Ghaharshad International Foundation. Sayang jika itu tidak dikembangkan, karena memang mencari waktu perempuan-perempuan sibuk itu masya Allah. Artinya harus benar-benar mencari waktu yang tepat untuk itu. Nah begitu sudah ada master plan dan wadahnya, kita tinggal mengembankan itu.

Isu perempuan itu kan long lasting issue, suka tidak suka publik akan selalu menilai perempuan itu adalah isu krusial yang tidak bisa diabaikan. Entah soal pemberdayaan, entah soal keterlibatan perempuan dalam ranah politik, sosial, ekonomi dan sebagainya, atau soal hak-hak perempuan dalam menyuarakan haknya. Karena tidak semua perempuan di dunia ini berada di zona elit, seperti perempuan-perempuan yang berpendidikan seperti yang tergabung dalam Ghaharshad Foundation ini. Jadi kita bisa bergerak mengedukasi perempuan dalam level global itu poin pentingnya. Mengedukasi perempuan dalam level global. Entah isunya pendidikan juga bisa masuk di dalamnya. Itu bisa digarap bersama. Dan itu bisa solid jika sudah antar negara, kalau cuman satu negara kebijakannya tidak begitu kuat. Sudah biasa. Di Indonesia kan sudah banyak komunitas-komunitas yang concern terhadap isu-isu perempuan. Tapi kalau sudah lintas negara dan disahkan Ghaharshad. Maka Ghaharshad International Foundation akan menjadi pioner dalam pengembangan jejaring perempuan antar dunia. That’s a good point.

ABNA: Terimakasih atas waktu Ibu.

Sama-sama.