17 Desember 2025 - 15:58
‌Kearifan nusantara dalam Jalan Ekologi Transenden

Sunan Kalijaga tidak hanya menyampaikan prinsip etika lingkungan, tetapi juga memberikan struktur metafisik dan psikologis tentang bagaimana bumi harus dikelola. Bumi tidak dapat diperindah oleh tangan yang kotor, dan tidak dapat dirawat oleh jiwa yang penuh angkara. Karena itu, memayu hayuning bawono bukanlah slogan, tetapi seruan untuk perjalanan spiritual. Sebuah proyek kebudayaan yang menuntut manusia mengalahkan kegelapan dirinya, agar cahaya kesadaran dapat menerangi cara manusia menyentuh bumi. ‌ ‌

Oleh: Prof. Dr. Khusnul Yaqin, M.Sc

Salah satu ujaran paling berpengaruh dalam khazanah kearifan Nusantara adalah ungkapan yang dinisbatkan kepada Sunan Kalijaga: memayu hayuning bawono ambrasto dur hangkoro. Ujaran ini telah melampaui batasnya sebagai pepatah lokal; ia menjadi simpul antara kearifan spiritual, etika lingkungan, dan pandangan kosmologis yang terus relevan hingga hari ini. Memayu berarti memperindah, menjernihkan, merawat; hayuning bawono berarti keindahan bumi atau semesta; dan ambrasto dur hangkoro adalah perintah untuk memusnahkan sifat angkara di dalam diri manusia. Ketiga rangkaian itu menciptakan bangunan filosofis lengkap: bumi yang indah hanya dapat dirawat oleh jiwa yang bening, dan pembangunan yang lestari membutuhkan perjalanan spiritual untuk menaklukkan angkara murka manusia. ‌ ‌

Jika kita menyimak perkembangan wacana ekologi modern, sejumlah tokoh besar seolah sedang mengucapkan ulang apa yang telah dirumuskan sang Sunan berabad-abad lalu. Albert Schweitzer, dalam buku klasiknya Reverence for Life, menjelaskan bahwa seluruh kehidupan memiliki nilai moral intrinsik. Ia menolak pandangan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai ukuran segala sesuatu. Schweitzer menyatakan bahwa kesadaran moral baru yang harus dibangun umat manusia adalah hormat terhadap kehidupan, hormat terhadap segala bentuk keberadaan. Di titik ini, memayu hayuning bawono bukan sekadar perintah untuk merawat lingkungan, tetapi panggilan metafisik untuk menghargai setiap entitas sebagai bagian dari jejaring wujud yang suci. ‌ ‌

Filosofi Schweitzer setarikan nafas dengan pandangan ekosentris James Lovelock dalam bukunya Gaia, a new look at life on Earth. Lovelock mengatakan, the earth is a self regulating system capable of keeping our planet healthy. Pandangan ini berakar pada gagasan bahwa bumi adalah sebuah organisme besar yang hidup, peka, dan memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangannya. Hayuning bawono, keindahan bumi, bukan sekadar estetika, tetapi struktur keseimbangan kosmis yang menuntut manusia memahami dirinya sebagai bagian kecil dari mekanisme kehidupan yang jauh lebih besar. Kesadaran semacam ini hanya dapat tumbuh apabila manusia berhenti memperlakukan bumi sebagai benda mati dan mulai melihatnya sebagai entitas yang memiliki martabat kosmis. ‌ ‌

Di sisi lain, tokoh ekologi transpersonal seperti Warwick Fox memberikan pemahaman yang lebih dalam: krisis ekologis tidak akan pernah selesai hanya melalui regulasi atau kemajuan teknologi berbasis filsafat empiris. Menurut Fox, penyelesaiannya terletak pada perluasan diri hingga melampaui ego. Inilah inti dari ekologi transpersonal: bahwa manusia harus menembus batas keakuannya, bertransformasi menjadi pribadi yang menyadari keterhubungannya dengan seluruh wujud. Pada titik ini, memayu, memperindah dunia, bukanlah proyek teknokratis, melainkan perjalanan batin. Bumi tidak akan menjadi lebih baik jika manusia yang mengelolanya tetap terpenjara dalam diri sempit yang dikuasai hasrat, keserakahan, dan egoisme. ‌ ‌

Tetapi di sinilah Sunan Kalijaga memberikan kuncinya: ambrasto dur hangkoro. Para pemikir lingkungan kontemporer hampir seluruhnya sepakat bahwa krisis ekologis pada dasarnya adalah krisis moral. Namun mereka jarang membahas bagaimana manusia dapat menaklukkan akar krisis itu, yaitu angkara murka di dalam diri. Angkara adalah energi destruktif yang lahir dari kerakusan, ketakutan, dan ilusi pemisahan antara diri dan alam. Dalam perspektif filosofis filsafat Islam, angkara adalah entropi moral dan ontologis, yaitu kecenderungan jiwa untuk bergerak menuju kegelapan ketika ia tidak diarahkan atau menuju pada kesempurnaan wujud. ‌ ‌

Untuk mengelola bumi secara berkelanjutan, manusia harus menurunkan entropi moral ini. Dan penurunan entropi itu hanya mungkin terjadi melalui perjalanan spiritual: perjalanan yang membawa manusia dari kegelapan egonya menuju terang cahaya kesadaran kosmis. Dalam pandangan Sadra (Maestro filsafat transenden), setiap wujud memiliki potensi untuk meningkat dalam derajat eksistensial; manusia dapat bertumbuh dari kesempitan diri menuju keluasan wujud. Ketika kesadaran spiritual ini meningkat, pembangunan apa pun yang dilakukan manusia akan bersifat memayu, memperindah dunia, bukan merusaknya. ‌ ‌

Tetapi perjalanan spiritual tidak dapat dilakukan sendiri. Dalam tradisi mistik Islam, khususnya dalam ajaran Ibn Arabi, perjalanan menuju kesempurnaan membutuhkan poros, membutuhkan figur yang memiliki maqam khusus untuk membimbing perjalanan ruhani. Ibn Arabi menyebut adanya para tokoh kosmis yang berada pada tingkat di atas a’yanus tsabita, yaitu wilayah arketipal tempat segala hakikat wujud ditetapkan secara abadi. Mereka adalah poros moral kosmos, penjaga keseimbangan batin dunia, yang kehadirannya memastikan bahwa perjalanan spiritual manusia tetap berada di jalur yang benar. ‌ ‌

Al-Qur’an sendiri mendokumentasikan mereka sebagai al-abrar: golongan jiwa bersih yang menjadi poros kebaikan dan kesucian. ‌ ‌Allah berfirman dalam ‌Surah Al-Infithar ayat 13. ‌Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan (al-abrar) benar-benar berada dalam kenikmatan. Selanjutnya di ‌Surah Al-Muthaffifin ayat 18: ‌Sekali-kali tidak! Sesungguhnya catatan amal orang-orang yang berbuat kebajikan (al-abrar) benar-benar berada di tempat yang tinggi. ‌ ‌

Kedua ayat ini menegaskan bahwa al-abrar adalah kelompok manusia pilihan yang berada di tingkatan tinggi, tempat rahmat dan petunjuk dipancarkan. Dalam kerangka ekologi transenden, al-abrar adalah penjaga keseimbangan rohani dunia yang memandu manusia agar tidak tersesat dalam pembangunan yang merusak. ‌ ‌

Di sinilah relevansi mendalam antara kearifan Nusantara dan wacana ekologi kontemporer, terkhusus ekologi transenden. Sunan Kalijaga tidak hanya menyampaikan prinsip etika lingkungan, tetapi juga memberikan struktur metafisik dan psikologis tentang bagaimana bumi harus dikelola. Bumi tidak dapat diperindah oleh tangan yang kotor, dan tidak dapat dirawat oleh jiwa yang penuh angkara. Karena itu, memayu hayuning bawono bukanlah slogan, tetapi seruan untuk perjalanan spiritual. Sebuah proyek kebudayaan yang menuntut manusia mengalahkan kegelapan dirinya, agar cahaya kesadaran dapat menerangi cara manusia menyentuh bumi. ‌ ‌

Jika Schweitzer menekankan nilai moral kehidupan, Lovelock menegaskan sensitivitas bumi, dan Fox menguraikan perlunya perluasan diri, maka Sunan Kalijaga menyempurnakan semuanya dengan memberikan akar spiritual: bahwa tidak akan ada kesadaran ekologis yang sejati tanpa membersihkan entriopi berupa angkara murka. Dan tidak akan ada penaklukan angkara tanpa pembimbing spiritual yang berada pada jalur al-abrar, para penjaga keseimbangan kosmis atau insan kamil. Inilah inti ekologi transenden: bahwa keberlanjutan tidak hanya memerlukan teknologi, regulasi, atau pengetahuan ilmiah, tetapi juga transformasi batin manusia. ‌ ‌

Dalam konteks Indonesia hari ini, bangsa ini membutuhkan bukan hanya kebijakan lingkungan, tetapi kebangkitan kesadaran ekologi transenden. Kita menyaksikan kerusakan alam akibat kerakusan yang tidak terkendalikan; kita melihat banjir bandang yang tidak hanya membawa air bah, tetapi juga membawa kayu hasil ilegal logging, sungai-sungai tercemar, hutan menyusut, laut tercekik sampah plastik, dan udara diracuni oleh industri yang tidak mengenal batas. Semua ini hanyalah gejala dari satu penyakit: hilangnya kemampuan manusia untuk melihat dirinya sebagai bagian dari kosmos. Saat manusia melupakan hayuning bawono, keindahan semesta, ia kehilangan alasan untuk memayu, memperbaiki dunia. ‌ ‌

Karena itu, penting bagi kita untuk kembali membaca kearifan Nusantara dengan keseriusan baru. Memayu hayuning bawono bukan hanya warisan budaya, tetapi cetak biru bagi masa depan peradaban ekologis Indonesia. Ia mengajarkan bahwa pembangunan harus berakar pada kesadaran transenden, bahwa kemajuan tidak boleh mengorbankan keseimbangan kosmis, dan bahwa manusia harus kembali menjadi makhluk yang rendah hati di hadapan bumi. Indonesia memiliki modal kultural yang luar biasa untuk membangun peradaban ekologi transenden, dan salah satu modal itu adalah kearifan sang Sunan. ‌ ‌

Perjalanan menjaga bumi adalah perjalanan menuju diri yang lebih bersih. Karena itu, ekologi transenden tidak sekadar membicarakan lingkungan, tetapi juga membicarakan manusia. Sebab bumi yang indah hanya dapat dirawat oleh jiwa yang indah. Hayuning bawono menunggu manusia yang sanggup memayu. Dunia menunggu manusia yang sanggup menaklukkan hangkoro. Dan perjalanan itu selalu bermula dari dalam diri bersama mereka yang berada pada poros eksistensi. ‌

*Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

Your Comment

You are replying to: .
captcha