3 September 2025 - 23:59
Source: Parstoday
Analis Arab: Tidak Punya Hati Nurani Dasar Kebutaan Moral Rezim Zionis

Seorang analis Arab menyebut "ketidakpedulian struktural" kaum Zionis terhadap penderitaan rakyat Palestina sebagai fenomena "kebutaan moral".

Keluarga tawanan Zionis di Jalur Gaza kembali berdemonstrasi di Tel Aviv pekan lalu, dan menuntut pembebasan mereka. Dalam aksi unjuk rasa itu, para demonstran Israel meneriakkan slogan-slogan yang menyerukan diakhirinya perang di Gaza dan perjanjian pertukaran tawanan yang komprehensif dengan kelompok perlawanan Palestina.

Menurut para pakar politik, demonstrasi Zionis seharusnya tidak dipandang sebagai tanda simpati mereka terhadap rakyat Gaza, meskipun mereka juga menginginkan perang di Gaza berakhir. Namun, tuntutan ini hanya memiliki satu alasan, yaitu kekhawatiran Israel terhadap nasib para tawanan Zionis yang ditahan oleh Hamas.

Menurut laporan Pars Today, Mohammed El Senussi, analis terkemuka urusan internasional menjelaskan akar ideologis dan psikologis dari "ketidakpedulian struktural" kaum Zionis terhadap penderitaan rakyat Palestina, dan menyebut fenomena ini sebagai "kebutaan moral".

Dalam sebuah artikel analitis yang dipublikasikan di situs Jazeera, El Senussi, seorang profesor studi masa depan dan hubungan internasional di Universitas Mohammed V di Maroko berpendapat bahwa Zionisme bukan sekadar gerakan nasional dalam pengertian tradisional, melainkan sebuah ideologi etnopolitik yang mendefinisikan ulang Yudaisme pada abad ke-20 dan memberinya "hak eksklusif" atas tanah Palestina.

Menurutnya, Kerangka kerja ini, karena dimensi "kolonial-eksklusif" yang didasarkan pada negasi "Palestina", telah menjadikan keamanan nasional Israel identik dengan "keamanan keberadaan Yahudi" dan kehidupan seorang Palestina hanya dipandang sebagai "risiko keamanan" atau "tambahan".

Mengacu pada undang-undang "Negara-Bangsa Yahudi" yang disahkan pada tahun 2018, El Senussi menulis bahwa undang-undang ini secara eksplisit menyatakan hak penentuan nasib sendiri nasional sebagai "hak istimewa Yahudi murni" dan menurunkan bahasa Arab ke status "lebih rendah".

Menurutnya, Dalam narasi hukum ini, warga Palestina bahkan bukan warga negara dalam arti formal, melainkan "penduduk bersyarat" di tanah airnya.

Analisis ini meyakini bahwa dasar rezim ini dirancang untuk mendistribusikan kembali tanah, sumber daya, dan penduduk demi "superioritas etnis jangka panjang".

El Senussi menulis bahwa dengan mengulang citra negatif Palestina dan mengajarkan narasi yang menyebut pendirian Israel sebagai "pembebasan" kepada sekolah-sekolah rezim, media Zionis berusaha mengosongkan ingatan sosial tentang isu Palestina.

Ia menganggap hasil dari proses ini sebagai "prioritas empati", di mana kematian seorang warga Palestina menjadi berita marjinal, tetapi ketakutan akan nasib tawanan Israel dibesar-besarkan sebagai kekhawatiran terhadap keamanan Zionis.

Pakar hubungan internasional ini mencatat bahwa bahkan protes domestik yang meluas pada tahun 2024 dan 2025 terhadap kebijakan Benjamin Netanyahu bukanlah untuk mengutuk pembunuhan warga sipil di Gaza, melainkan hanya untuk menuntut pembebasan tawanan Israel. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran kolektif di Israel baru aktif ketika "orang Yahudi berada dalam bahaya".(sl)

Your Comment

You are replying to: .
captcha