2 September 2025 - 19:49
Snapback, Standar Ganda, dan Hipokrisi Geopolitik Barat: Iran dalam Cengkraman Politik Ilusif

Iran menegaskan bahwa mekanisme snapback hanyalah alat politik, bukan instrumen hukum yang sah. Ancaman ini menyoroti bahwa Barat menilai hukum internasional sebagai sarana tekanan politik, bukan pedoman moral atau etis. Oleh karena itu, menolak snapback adalah bentuk perlawanan terhadap hegemoni global, sekaligus pengingat bagi dunia bahwa kedaulatan negara merdeka harus dihormati.

Oleh: Ismail Amin 

Sejak 2015, dunia menyaksikan sebuah kesepakatan diplomatik yang sempat menjadi harapan: JCPOA, atau Joint Comprehensive Plan of Action, yang menahan ambisi nuklir Iran sambil membuka jalan bagi integrasi ekonomi dan diplomatik negara ini ke panggung global. Kesepakatan ini, yang didukung oleh enam kekuatan dunia—Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan China—telah menempatkan Iran pada posisi yang jelas: tunduk pada inspeksi internasional dan membatasi aktivitas nuklir sipilnya dengan mekanisme transparansi penuh.

Namun, ambisi ini digagalkan ketika Presiden Donald Trump secara sepihak menarik Amerika Serikat keluar dari kesepakatan pada Mei 2018, memicu kembalinya sanksi sepihak yang menjerat ekonomi Iran. Tidak hanya itu, tiga negara Eropa—Inggris, Prancis, dan Jerman—sekarang mengancam mengaktifkan mekanisme snapback untuk mengembalikan sanksi PBB terhadap Iran. Pada pandangan pertama, klaim mereka tampak sah secara prosedural. Tapi bagi Teheran, ini adalah politik standar ganda dalam kemasan hukum internasional.

Mekanisme Snapback: Hukum atau Alat Tekanan?

Mekanisme snapback tercantum dalam Resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB, yang secara eksplisit mengizinkan salah satu peserta JCPOA memicu pemulihan sanksi jika Iran melanggar kesepakatan. Namun ada hal penting yang sering diabaikan: mekanisme ini berlaku hanya untuk peserta yang masih terikat pada kesepakatan. AS telah keluar pada 2018; secara hukum, Washington tidak lagi memiliki hak untuk menuntut penerapan snapback.

Iran berpendapat bahwa setiap upaya untuk memaksakan mekanisme ini oleh pihak yang sudah meninggalkan kesepakatan adalah abuse of law, penyalahgunaan hukum internasional. Lebih dari itu, Eropa yang kini mengancam tidak pernah menjalankan kewajibannya secara penuh, terutama melalui mekanisme kompensasi ekonomi seperti INSTEX, yang hampir tidak berfungsi nyata. Dari perspektif Iran, klaim Eropa tidak lebih dari gertakan politik yang mencoba menyamarkan kelemahan mereka sendiri.

Standar Ganda Barat: Israel dan Arab Saudi sebagai Contoh

Hipokrisi Barat menjadi semakin jelas jika melihat bagaimana mereka menerapkan aturan terhadap aktor lain di kawasan. Israel, misalnya, memiliki arsenal nuklir tak tercatat, menolak puluhan resolusi Dewan Keamanan PBB, bahkan telah melakukan agresi ilegal atas Iran yang merupakan pelanggaran keras atas semua hukum internasional namun tetap mendapat dukungan penuh dari AS serta Eropa. Tidak ada ancaman sanksi, tidak ada embargo senjata, dan tidak ada mekanisme snapback yang diaktifkan.

Arab Saudi, dengan catatan pelanggaran HAM yang serius di Yaman, juga tetap bebas memperluas hubungan militer dan ekonomi dengan Barat, bahkan dibiarkan bebas membeli senjata dari Eropa dan Amerika.  Pada Mei 2025, Riyadh menandatangani kontrak senjata dengan AS senilai lebih dari 142 miliar dolar (senilai Rp. 2.353 Triliun) tanpa ada sorotan hukum internasional yang signifikan. Pembelian senjata ini  sebagai kontrak terbesar dalam sejarah Arab Saudi. Apakah ini yang disebut konsistensi aturan internasional? Atau sekadar politik dagang dengan aroma minyak?

Sementara itu, Iran yang terbukti patuh pada inspeksi IAEA, kini dipaksa menghadapi ancaman sanksi PBB hanya karena ketegasannya mempertahankan kedaulatan dan hak ekonomi pasca keluarnya AS dari JCPOA. Data statistik memperkuat kritik Iran: menurut laporan IAEA terakhir (2024), Iran masih belum memiliki senjata nuklir, dan semua kegiatan nuklirnya bersifat sipil dan transparan. Sebaliknya, Israel diperkirakan memiliki lebih dari 200 hulu ledak nuklir yang tidak tercatat secara resmi. Standar ganda ini jelas bukan masalah teknis, melainkan politik yang dibungkus hukum internasional.

Dampak Ekonomi dan Politik Snapback

Ancaman snapback, jika benar-benar diterapkan, membawa konsekuensi serius bagi Iran. Sanksi yang diberlakukan ulang akan mencakup embargo senjata, larangan investasi di sektor energi dan teknologi, pembekuan aset, serta keterbatasan akses ke sistem perbankan global. Ekonomi Iran akan tercekik kembali, dengan proyeksi Bank Dunia menunjukkan kemungkinan penurunan PDB hingga 6-8% dalam satu tahun akibat sanksi tambahan, terutama karena sektor minyak dan gas kembali terkunci dari pasar internasional.

Namun dari perspektif Teheran, dampak paling merugikan adalah legitimasi politik yang diberikan kepada standar ganda Barat. Jika mekanisme ini berhasil, dunia akan melihat bahwa aturan internasional dapat dipermainkan oleh negara-negara besar sesuai kepentingan mereka, bukan berdasarkan prinsip universal. Iran, dengan menolak snapback, menegaskan bahwa kedaulatan dan keadilan hukum internasional lebih penting daripada tekanan politik jangka pendek.

Iran dan Strategi Multilateralisme Alternatif

Sebagai respons terhadap tekanan Barat, Iran telah membangun strategi diplomasi alternatif: memperkuat hubungan dengan Rusia, China, India, dan negara-negara Selatan Global, yang menyuarakan penolakan terhadap ancaman sepihak. Perdagangan bilateral dengan China dan India meningkat, sementara Iran juga memperluas kerja sama regional di bidang energi dan teknologi. Ini menunjukkan bahwa ancaman snapback tidak akan mematahkan ketahanan Iran, tetapi justru memacu negara ini untuk lebih mandiri dan berorientasi pada multipolaritas.

Lebih jauh, Iran menegaskan bahwa mekanisme snapback hanyalah alat politik, bukan instrumen hukum yang sah. Ancaman ini menyoroti bahwa Barat menilai hukum internasional sebagai sarana tekanan politik, bukan pedoman moral atau etis. Oleh karena itu, menolak snapback adalah bentuk perlawanan terhadap hegemoni global, sekaligus pengingat bagi dunia bahwa kedaulatan negara merdeka harus dihormati.

Snapback dan Legitimasi yang Hilang

Mekanisme snapback tidak lebih dari senjata hukum yang tumpul, yang dirancang untuk menekan negara merdeka. Ancaman ini mencerminkan standar ganda Barat: Israel dan Arab Saudi dibebaskan dari pengawasan ketat, sementara Iran yang taat menjadi target. Dengan menolak ancaman ini, Iran tidak hanya mempertahankan kedaulatannya, tetapi juga menegaskan prinsip dasar hukum internasional: bahwa perjanjian harus dijalankan dengan itikad baik (good faith) dan tidak bisa diperlakukan sepotong-sepotong.

Ancaman snapback harus dibaca bukan sebagai ancaman legal, melainkan politik imperialis modern. Iran, dengan ketegasannya, menunjukkan bahwa resistensi terhadap tekanan sepihak bukanlah pilihan politik semata, tetapi kewajiban moral bagi bangsa yang menolak dijadikan pion dalam permainan geopolitik global. Dunia kini menyaksikan: hukum internasional yang dipelintir untuk kepentingan kekuatan besar tidak akan selamanya mampu menaklukkan negara yang teguh mempertahankan kedaulatan, martabat, dan hak-hak rakyatnya.

*Jurnalis ABNA, pemerhati isu-isu geopolitik Timur Tengah 

Your Comment

You are replying to: .
captcha