26 Juli 2025 - 13:42
Source: ABNA
Sikap Prancis yang Belum Pernah Terjadi Sebelumnya dalam Mengakui Negara Palestina

Pengakuan resmi negara Palestina oleh Prancis harus dilihat sebagai titik awal "pendefinisian ulang legitimasi" dalam masalah Palestina. Di dunia di mana legitimasi berasal dari kehendak komunitas internasional, opini publik, dan kepatuhan pada prinsip-prinsip internasional, Palestina sedang membangun kembali posisinya sebagai "korban yang melawan" di hadapan "penjajah yang tidak sah."

Menurut Kantor Berita Internasional Ahlulbait (AS) - ABNA - mengutip Noornews, dalam sebuah langkah yang tidak diragukan lagi dapat dianggap sebagai titik balik dalam diplomasi Eropa mengenai krisis Palestina, Prancis secara resmi mengakui negara Palestina pada hari Kamis. Emmanuel Macron mengumumkan bahwa Paris akan mengakui negara Palestina pada bulan September mendatang di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keputusan ini bukan sekadar tanda perkembangan simbolis, melainkan cerminan perubahan mendasar dalam pandangan internasional terhadap konflik sejarah terbesar dan terpanjang di Timur Tengah; sebuah perubahan yang dapat memiliki konsekuensi geopolitik, hukum, dan bahkan strategis yang signifikan bagi masa depan tatanan regional dan global.

Alasan Keputusan Prancis: Dari Cita-cita hingga Keadaan Mendesak

Tentu saja, kebrutalan dan kekerasan Zionis yang tak terkendali dalam tindakan mereka terhadap rakyat Gaza melalui senjata kelaparan, yang mendapat banyak sorotan di opini publik dunia, bisa menjadi faktor penting dalam keputusan Paris baru-baru ini. Di sisi lain, Prancis sejak lama menganggap dirinya sebagai pewaris tradisi diplomasi multilateral dan pembela hukum internasional. Namun, tindakan baru-baru ini tidak boleh hanya ditafsirkan sebagai kelanjutan kebijakan tradisional Paris. Sebaliknya, beberapa faktor politik dan strategis telah membuka jalan bagi perubahan nyata dalam kebijakan resmi Prancis terhadap masalah Palestina:

  1. Guncangan Gaza dan Opini Publik Eropa: Setelah serangan 7 Oktober dan perang Gaza, opini publik di Prancis – terutama di kalangan pemuda dan kalangan akademisi – menjadi sangat sensitif terhadap pembantaian warga sipil Palestina. Prancis, yang merupakan rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa, berada di bawah tekanan sosial dan media yang serius.

  2. Kegagalan Proyek Dua Negara dari Sudut Pandang Lapangan: Dengan berlanjutnya pembangunan permukiman ilegal Israel, penghancuran rumah-rumah Palestina, dan Gaza yang terperangkap dalam bencana kemanusiaan, banyak pemerintah Eropa telah sampai pada kesimpulan bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan "dua negara" adalah dengan mengakui secara resmi negara Palestina; sebuah langkah untuk menghidupkan kembali solusi yang terlupakan.

  3. Pergeseran Umum di Eropa: Setelah keputusan Spanyol, Irlandia, Norwegia, Swedia, dan beberapa negara Eropa lainnya dalam beberapa tahun terakhir, tekanan untuk konvergensi politik di Uni Eropa telah meningkat. Dengan keputusan ini, Prancis telah mengukuhkan posisi kepemimpinannya di blok Eropa dalam bidang ini.

  4. Keseimbangan dalam Hubungan Timur Tengah: Paris, yang dalam beberapa tahun terakhir dituduh berpihak pada Israel di mata publik Muslim, kini dengan tindakan ini berupaya mendefinisikan ulang netralitas strategisnya dan membangun kembali kepercayaan di Timur Tengah.

Pengakuan Prancis terhadap Palestina adalah titik balik dalam legitimasi negara Palestina di tingkat hukum internasional. Dalam sistem internasional, pengakuan negara oleh negara lain adalah salah satu komponen terpenting dari legitimasi dan pelaksanaan kedaulatan. Sebelumnya, lebih dari 140 negara anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka, tetapi pengakuan ini sebagian besar terjadi di antara negara-negara di Global South atau dunia Islam.

Tindakan Prancis berarti bahwa salah satu kekuatan Barat, anggota tetap Dewan Keamanan, dan negara terkemuka di Uni Eropa, untuk pertama kalinya secara eksplisit mengakui kedaulatan Palestina. Ini adalah pukulan diplomatik terhadap monopoli Israel dalam narasi konflik dan memengaruhi persamaan kekuatan simbolis di PBB dan lembaga-lembaga internasional.

Konsekuensi Internasional: Perubahan Panggung Diplomatik

Keputusan Prancis harus dilihat dalam konteks perubahan geopolitik yang bertahap namun menentukan di dunia Barat. Pengakuan Palestina oleh Paris dapat memicu gelombang legitimasi diplomatik bagi negara Palestina. Terutama dalam situasi di mana tingkat dukungan terhadap Israel di opini publik dunia Barat telah menurun drastis; Tiongkok, Rusia, dan negara-negara Global South sepenuhnya mendukung tuntutan Palestina; dan faksi Demokrat di Amerika Serikat juga secara bertahap terpecah dalam dukungan tanpa syarat terhadap Israel.

Tindakan Prancis dapat mendorong negara-negara besar seperti Belgia, Portugal, dan bahkan Italia untuk mengikuti jalur ini. Laporan-laporan telah diterbitkan yang menunjukkan tekanan dari beberapa anggota parlemen kepada pemerintah Inggris agar London juga mengambil keputusan serupa dengan Paris. Dalam kasus ini, Uni Eropa, yang selama bertahun-tahun mengalami dualisme dalam kebijakan luar negeri terkait masalah Palestina, akan mendekati posisi yang bersatu.

Di sisi lain, Israel, sebagai reaksi terhadap pengakuan Palestina, menuduh pemerintah yang mengakui sebagai "mendorong terorisme." Reaksi ini, di satu sisi, merupakan tanda isolasi Israel yang semakin meningkat di panggung internasional, dan di sisi lain, mengkonfirmasi kesenjangan antara ekstremisme politik di Tel Aviv dan pendekatan yang lebih moderat di Barat.

Di Amerika Serikat, meskipun pemerintahan Trump masih menentang pengakuan unilateral Palestina, dan Menteri Luar Negeri AS menilai tindakan Prancis tidak dapat diterima, namun keretakan di Kongres dan peningkatan tekanan dari lembaga hak asasi manusia dan komunitas akademisi dapat di masa depan membuka jalan bagi perubahan yang lebih serius.

Pada akhirnya, pengakuan resmi negara Palestina oleh Prancis harus dilihat sebagai titik awal "pendefinisian ulang legitimasi" dalam masalah Palestina. Di dunia di mana legitimasi tidak lagi hanya berasal dari moncong senapan, tetapi dari kehendak komunitas internasional, opini publik, dan kepatuhan pada prinsip-prinsip internasional, Palestina sedang membangun kembali posisinya sebagai "korban yang melawan" di hadapan "penjajah yang tidak sah."

Prancis, dengan tindakan ini, tidak hanya menjauh dari tradisi dualitasnya terhadap Israel dan Palestina, tetapi juga membuka jalan bagi Palestina untuk menjadi aktor hukum, diplomatik, dan bahkan politik yang kredibel di panggung internasional. Tindakan ini, jika disertai dengan bergabungnya negara-negara Eropa lainnya dan tekanan terhadap Israel, dapat menjadi bagian dari jalur pemulihan perdamaian di Timur Tengah; perdamaian yang lebih dari sebelumnya, membutuhkan "moralitas global" dan keadilan historis.

342/

Your Comment

You are replying to: .
captcha