oleh: Ismail Amin Pasannai
Melalui lagu Bimbo, kesadaran kita disentak, apa sih tujuannya kita bersusah-susah puasa? Apakah hanya sekadar menahan lapar dan haus? Jika hanya itu, maka puasa tak lebih dari sekadar diet harian. Namun, para arif bijak mengatakan bahwa puasa adalah pintu gerbang menuju kesucian jiwa.
Di antara para ulama yang mengupas aspek spiritual puasa secara mendalam adalah Ayatullah Mirza Jawad Maliki Tabrizi, seorang arif besar dari Iran yang mengajarkan bahwa puasa adalah salah satu jalan utama dalam perjalanan menuju Allah (sair suluk).
Mengenal Ayatullah Mirza Jawad Maliki Tabrizi
Ayatullah Mirza Jawad Maliki Tabrizi (w. 1925) adalah seorang ulama, sufi, dan ahli irfan yang berasal dari Tabriz, Iran. Beliau menuntut ilmu di Najaf, berguru pada ulama besar seperti Sayyid Ahmad Karbala’i dan Ayatullah Muhammad Kadhim Khurasani. Sepulangnya ke Iran, beliau mendedikasikan hidupnya untuk mengajarkan tasawuf dan irfan Islam. Karya-karyanya, seperti Al-Muraqibat dan Suluk al-Arifan, menjadi rujukan utama bagi mereka yang ingin mendalami spiritualitas Islam.
Beliau tidak hanya berbicara tentang ilmu agama secara teoritis, tetapi juga mengajarkan bagaimana menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari. Dan di antara ajaran-ajarannya, puasa memiliki tempat istimewa.
Puasa: Lebih dari Sekadar Menahan Lapar
Bagi Ayatullah Maliki Tabrizi, puasa bukan sekadar menghindari makan dan minum dari fajar hingga maghrib. Itu hanya kulitnya. Esensi puasa adalah penyucian jiwa dan latihan diri untuk mengendalikan hawa nafsu. Beliau menjelaskan bahwa manusia cenderung dikuasai oleh dorongan duniawi yang membuatnya lupa akan tujuan sejati hidupnya: kembali kepada Allah. Nafsu yang liar harus dijinakkan, dan puasa adalah salah satu cara paling efektif untuk melakukannya.
Dalam bukunya Suluk al-Arifan, beliau menegaskan bahwa puasa adalah latihan spiritual. Jika seseorang mampu menahan diri dari sesuatu yang halal (makan dan minum), maka ia akan lebih mudah menahan diri dari yang haram. Dalam jangka panjang, disiplin ini melahirkan kesadaran ruhani yang lebih dalam. Puasa dan Kesadaran Ilahi Salah satu hal menarik yang dikemukakan Ayatullah Maliki Tabrizi adalah bahwa puasa membuat seseorang lebih peka terhadap keberadaan Tuhan.
Pernahkah kita merasa, setelah beberapa hari berpuasa, ada ketenangan yang muncul? Saat tubuh tidak disibukkan dengan makanan, batin terasa lebih ringan. Dalam kondisi ini, seseorang lebih mudah merenung dan mendekat kepada Allah. Menurut Ayatullah Maliki Tabrizi, puasa adalah latihan agar manusia bisa mencapai keadaan di mana satu-satunya yang mengisi hatinya adalah Allah. Ini yang disebut sebagai fana’ fillah, atau melebur dalam kehadiran Ilahi.
Dalam hal ini, puasa bukan sekadar ibadah individual. Ia adalah perjalanan ruhani yang memungkinkan seseorang naik ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
Tingkatan Puasa: Dari Syariat ke Hakikat
Dalam dunia tasawuf, puasa dibagi menjadi beberapa tingkatan:
1. Puasa Syariat – Ini adalah puasa standar yang kita kenal: menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa.
2. Puasa Akhlak – Di sini, seseorang tidak hanya menahan diri dari makanan, tetapi juga dari perbuatan tercela seperti berbohong, bergunjing, atau marah.
3. Puasa Ruhani – Ini adalah puncak puasa. Seseorang bukan hanya menahan diri dari makanan dan dosa, tetapi juga dari segala sesuatu yang bisa menjauhkan hatinya dari Allah. Menurut Ayatullah Maliki Tabrizi, tingkatan tertinggi ini adalah yang dijalani oleh para arif. Mereka bukan hanya berpuasa dengan tubuh, tetapi juga dengan hati dan pikiran.
Puasa dan Malam Lailatul Qadr
Dalam konteks Ramadan, Ayatullah Maliki Tabrizi juga menekankan pentingnya persiapan menyambut Lailatul Qadr. Bayangkan Anda diundang ke sebuah jamuan makan malam oleh seorang raja. Apakah Anda akan datang dengan pakaian kumal dan wajah kusam? Tentu tidak! Anda akan membersihkan diri, mengenakan pakaian terbaik, dan memastikan segala sesuatunya sempurna.
Begitu pula dengan Lailatul Qadr. Jika kita ingin merasakan keagungan malam itu, kita harus membersihkan diri terlebih dahulu. Dan cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan puasa yang benar—bukan hanya menahan lapar, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang merusak hubungan kita dengan Allah. Ayatullah Maliki Tabrizi percaya bahwa bagi mereka yang menjalani Ramadan dengan serius, Lailatul Qadr bisa menjadi malam di mana mereka mengalami loncatan spiritual. Sebuah malam di mana hijab-hijab duniawi tersingkap, dan cahaya makrifat bersinar dalam hati mereka.
Puasa sebagai Jalan Pulang
Ayatullah Mirza Jawad Maliki Tabrizi mengajarkan bahwa puasa adalah salah satu jalan utama dalam perjalanan menuju Allah. Ia bukan sekadar ritual, tetapi latihan spiritual yang membentuk karakter dan kesadaran ruhani. Puasa mengajarkan kita untuk menundukkan hawa nafsu, meningkatkan ketajaman spiritual, dan akhirnya, membawa kita lebih dekat kepada Allah. Jadi, ketika kita berpuasa, mari bertanya pada diri sendiri: Apakah puasa kita hanya sebatas menahan lapar dan haus? Ataukah kita sudah menjadikannya sebagai sarana untuk mendekat kepada Allah?
Jika kita hanya fokus pada menahan makan dan minum, maka Ramadan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas dalam jiwa. Tetapi jika kita menjadikan puasa sebagai latihan ruhani, maka Ramadan bisa menjadi titik balik dalam perjalanan spiritual kita. Seperti yang dikatakan Ayatullah Maliki Tabrizi, "Puasa adalah perjalanan, dan tujuan akhirnya adalah Allah."
Selamat menjalani perjalanan suci yang telah hampir separuh ini. Semoga kita semua bisa sampai ke tujuan.
Sumber bacaan:
Risalah Sayr wa Suluk, Tuntunan Menuju Perjumpaan Ilahi by Malik Jawad Tabrizi
Your Comment