22 Desember 2025 - 18:17
Sayyid Perlawanan adalah salah satu teladan tertinggi dalam ketaatan kepada Wali Faqih

Hamid Davoudabadi, penulis senior bidang Pertahanan Suci dan Perlawanan, mengatakan: Untuk memperkenalkan secara benar kepribadian Sayyid Perlawanan dan sebagai bentuk kecintaan mendalam yang saya miliki kepadanya, saya menuliskan kenangan-kenangan sejak pertemuan pertama dengan Sayyid, hingga pertemuan-pertemuan dan percakapan pribadi kami, dalam jilid kedua buku yang saat ini sedang dalam proses cetak dan akan segera diterbitkan.

Kantor Berita Internasional Ahlulbait – ABNA – Hamid Davoudabadi, penulis dan pejuang veteran Pertahanan Suci, hingga kini telah menulis puluhan jilid buku dengan tema kenangan para syuhada Pertahanan Suci, budaya perlawanan, serta kehidupan para syuhada Iran dan Lebanon. Dalam buku-bukunya seperti Aql-e Derakhshan (Akal yang Bercahaya), Kehidupan dan Kenangan Syahid Hassan al-Laqqis, Syahadat-Talaban (Para Pencari Syahadah), dan Sayyid Aziz, ia membahas para syuhada Lebanon serta berbagai peristiwa di negara tersebut.

Penulis ini sejak tahun 1983 berkesempatan mengenal Syahid Sayyid Hasan Nasrallah, Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon saat itu. Jilid pertama buku “Sayyid Aziz” merupakan hasil dari berjam-jam wawancara eksklusif Hamid Davoudabadi dengan Syahid Sayyid Hasan Nasrallah pada dekade 1990-an, di mana Sayyid Perlawanan mengungkap berbagai sisi kehidupan dan kenangan pribadinya yang belum pernah disampaikan sebelumnya.

Saat ini, penulis sedang mencetak jilid kedua buku “Sayyid Aziz”. Dalam buku ini, ia memaparkan kenangan-kenangannya sendiri tentang Sayyid Perlawanan, dan buku tersebut akan segera diterbitkan dalam waktu dekat.

Dalam rangka mengenal lebih jauh isi kedua jilid buku “Sayyid Aziz” dan kepribadian serta sirah Syahid Sayyid Hasan Nasrallah, kami berbincang dengan Hamid Davoudabadi, penulis buku tersebut dan salah satu sahabat dekat Sayyid Aziz.

Berikut teks wawancaranya:

ABNA: Mohon jelaskan terlebih dahulu bagaimana awal perkenalan Anda dengan Syahid Sayyid Hasan Nasrallah dan bagaimana munculnya ide awal untuk menulis buku tentang kehidupan syahid mulia tersebut.

Pertama kali saya bertemu dengan Sayyid Hasan Nasrallah adalah pada musim semi tahun 1983 di Baalbek, Lebanon. Saat itu saya dikirim ke Lebanon sebagai anggota Basij untuk kegiatan dakwah dan budaya. Pada masa itu, Sayyid menjabat sebagai Imam Jumat dan Imam Jamaah Masjid Imam Ali (a) di Baalbek, dan kami setiap hari melaksanakan salat berjamaah di belakang beliau.

Kami bermarkas di Markas Imam Mahdi (a.j.f.), dan beliau sering datang dan pergi ke markas kami. Secara bertahap kami menjadi akrab dan dekat. Sayyid memiliki kepribadian yang sangat ramah dan menarik, dan selalu tersenyum.

Karena kemiripan wajah Sayyid Hasan Nasrallah dengan masa muda Pemimpin Revolusi, anak-anak di markas menjulukinya “Khamenei kecil”.

Pada tahun 1995, setelah perang berakhir, saya kembali ke Lebanon dan mengadakan beberapa pertemuan dengan Sayyid. Seluruh program saya saya koordinasikan dengannya, mulai dari kunjungan ke poros-poros operasi hingga garis depan medan tempur Lebanon, dan saya merasa terhormat bisa menjalin persahabatan dengannya.

Pada tahun 1996, sebuah proyek muncul di benak saya dengan judul “Kajian akar-akar pembentukan Hizbullah”. Untuk itu saya pergi ke Lebanon dan melakukan wawancara dengan berbagai tokoh dan pejabat, baik dari Hizbullah maupun tokoh-tokoh politik Lebanon dari kalangan Syiah, Sunni, dan Kristen.

Dalam dialog dengan Sayyid Perlawanan yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Hizbullah, beliau menjelaskan sejarah Hizbullah dalam beberapa sesi, sekaligus menyampaikan kenangan-kenangan pribadinya. Ketika beliau menceritakan kenangannya, tidak ada seorang pun di ruangan selain saya; bahkan pengawal dan kepala kantornya pun diminta keluar. Dalam kondisi itu, saya merasa sangat dekat dengannya, dan dalam dua sesi, selama hampir lebih dari tujuh jam, Sayyid Hasan Nasrallah memaparkan kenangan hidupnya.

Kenangan-kenangan ini selama hampir dua puluh tahun menjadi amanah di tangan saya. Saya bahkan tidak menyerahkannya kepada kepala kantor beliau. Dalam menjaga amanah ini hingga waktu penerbitannya, saya menghadapi berbagai tantangan. Namun setelah disusun dan disempurnakan, saya membawanya kepada Pemimpin Tertinggi Revolusi, yang kemudian menuliskan taqrizh (catatan penghargaan) atas buku tersebut. Dengan taqrizh itu, jilid pertama buku “Sayyid Aziz” diterbitkan pada masa hidup Sayyid Hasan Nasrallah.

ABNA: Setelah beberapa tahun, Anda memutuskan menerbitkan jilid kedua buku “Sayyid Aziz”. Apa motivasi utama Anda dan apa isi pokok jilid kedua ini?

Setelah kesyahidan Syahid Sayyid Hasan Nasrallah—yang hingga kini saya masih berada dalam kondisi syok dan tidak percaya dan bahkan belum mampu menangisinya—saya menyaksikan sejumlah kelompok muda yang minim pengalaman dan kurang mengenal secara mendalam Sayyid Perlawanan pergi ke Lebanon dan menghadiri pemakamannya, lalu mengumpulkan kesan-kesan perjalanan dan emosi masyarakat Lebanon untuk diterbitkan dalam bentuk buku. Isi buku-buku itu sangat jauh dari kepribadian sejati Sayyid.

Selain itu, setelah kesyahidan beliau, muncul pula berbagai wawancara dari orang-orang yang tidak mengenal secara mendalam kepribadiannya, yang sama sekali tidak sesuai dengan sosok asli Sayyid. Hal ini sangat menyakitkan bagi saya, karena informasi tersebut tidak akurat dan pada kenyataannya sedang memperkenalkan “Sayyid baru” yang palsu.

Karena itu, demi memperkenalkan secara benar kepribadian Sayyid Perlawanan dan sebagai ungkapan kecintaan mendalam saya kepadanya, saya memutuskan menuliskan kenangan sejak pertemuan pertama hingga pertemuan-pertemuan dan percakapan pribadi kami dalam jilid kedua buku, yang kini sedang dicetak dan akan segera diterbitkan.

ABNA: Mohon sebutkan beberapa kenangan Anda bersama Sayyid Perlawanan yang dimuat dalam buku “Sayyid Aziz”.

Salah satu kenangan saya berasal dari tahun 1983 di Baalbek. Saat itu, pada malam hari Sayyid Hasan sering melewati depan markas kami sambil menggandeng tangan putranya, Sayyid Hadi—yang kemudian gugur sebagai syahid dalam usia muda dalam sebuah operasi. Kami mengundangnya untuk datang ke markas dan berbincang bersama kami, dan beliau menerima undangan itu. Melihat ketertarikan besar saya pada sejarah Lebanon, beliau memutuskan selama dua atau tiga malam menceritakan sejarah baru dan kontemporer Lebanon kepada kami, dan saya mencatatnya.

Kenangan lain berkaitan dengan tokoh oposisi Yordania bernama Laith Shubailat. Suatu malam saya melihatnya di televisi Lebanon membela fatwa Imam Khomeini (r.a.) terhadap Salman Rushdie, dan saya sangat ingin bertemu dengannya. Keesokan harinya, ketika saya pergi ke kantor Sayyid Hasan Nasrallah, saya mendapati ia sedang bertemu dengan Sayyid Perlawanan. Setelah pertemuan, saya mengucapkan terima kasih atas sikapnya dan mengambil beberapa foto bersama Sayyid dan dirinya. Demi alasan keamanan dan keselamatan jiwanya, saya tidak mempublikasikan foto-foto itu hingga tahun lalu, saat ia wafat.

Kenangan lainnya adalah pertemuan saya dengan Sayyid Hasan Nasrallah bersama Sayyidah Fatimah Navvab Safavi, putri Syahid Navvab Safavi. Kami berdialog dengan beliau dan mengambil beberapa foto yang juga dimuat dalam jilid kedua “Sayyid Aziz”.

Singkatnya, jilid pertama “Sayyid Aziz” berisi kenangan Sayyid yang diceritakan oleh dirinya sendiri, sementara jilid kedua berisi kenangan saya tentang Sayyid Aziz.

ABNA: Syahid Sayyid Hasan Nasrallah dikenal memiliki kecintaan besar kepada Iran, rakyat Iran, sistem Republik Islam Iran, dan Pemimpin Revolusi. Bagaimana Anda menyaksikan hal ini secara langsung?

Saat merekam kenangan beliau, Sayyid mengatakan bahwa ia ingin menceritakan riwayat hidupnya dalam bahasa Arab dan setia pada bahasa ibunya.

Namun pada akhir dekade 1990-an, ketika beliau datang ke Teheran dan mengadakan konferensi pers dengan wartawan asing, semua wartawan membawa penerjemah Arab. Ketika Sayyid hadir, ia berkata kepada wartawan: “Saya tamu Iran dan di sini saya akan berbicara dalam bahasa Persia.” Meski ada keberatan dari sebagian wartawan, beliau tetap melakukan wawancara dalam bahasa Persia, bahkan ketika ada wartawan yang bertanya dalam bahasa Arab, beliau meminta agar pertanyaan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Sikap ini sangat indah dan menarik bagi saya.

Hubungan Syahid Nasrallah dengan rakyat Iran sangat baik. Saya meyakini bahwa sejak masa lalu hingga kesyahidannya, beliau adalah salah satu teladan tertinggi dalam ketaatan kepada Wali Faqih. Ada kenangan-kenangan berat dan menyedihkan yang tidak saya terbitkan di jilid pertama, namun di jilid kedua, Sayyid Aziz menceritakannya dengan mata berkaca-kaca dan berkata bahwa demi menjaga sistem Republik Islam, dalam beberapa peristiwa mereka memilih diam dan mengorbankan diri untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada sistem suci ini.

ABNA: Dengan memperhatikan bahwa rezim Zionis selama bertahun-tahun berusaha membunuh Syahid Sayyid Hasan Nasrallah, bagaimana mereka akhirnya berani melakukan teror ini?

Menurut saya, ini berkaitan dengan operasi 7 Oktober. Israel menerima pukulan telak dalam operasi tersebut, dan di sisi lain, Pemimpin Revolusi Islam telah memprediksi bahwa rezim ini tidak akan melihat 25 tahun ke depan. Perang Israel dengan Lebanon, poros perlawanan, Iran, dan Gaza adalah perang hidup-mati bagi rezim tersebut. Mereka menyadari bahwa jika kalah, tamatlah Israel.

Selama puluhan tahun, Israel telah merancang rencana pembunuhan Sayyid dan melalui jaringan mata-mata mencoba mendekatinya. Ini bukan rencana semalam, melainkan rencana 20–30 tahun. Namun mereka selalu takut terhadap reaksi dan konsekuensinya. Setelah kejahatan besar mereka di Gaza dan Lebanon, mereka menyimpulkan bahwa keberadaan Sayyid lebih berbahaya bagi mereka daripada konsekuensi terornya. Dalam kondisi kegilaan itu, mereka memutuskan menyingkirkannya.

Syahadah bagi sosok seperti Sayyid Hasan Nasrallah adalah cita-cita sejak masa mudanya. Jika sejak tahun 2007 ia berada dalam keamanan penuh, itu semata karena kepemimpinan perjuangan. Keyakinan pada syahadah tidak bertentangan dengan menjaga keamanan. Mengabaikan keselamatan berarti bunuh diri, dan menjaga nyawa dalam Islam adalah kewajiban. Karena itu, ketika syahadah akhirnya dianugerahkan kepadanya, ia menyambutnya dengan lapang dada.

ABNA: Sebagian pihak berpendapat bahwa dengan kesyahidan Sayyid Perlawanan dan terbunuhnya lebih dari 400 komandan senior Hizbullah, posisi Hizbullah melemah. Bagaimana pandangan Anda?

Lebanon memiliki karakter unik. Setiap kali tokoh besar seperti Syahid Imad Mughniyah, Fuad Shukr, Hassan al-Laqqis, dan akhirnya Sayyid Hasan Nasrallah gugur, masyarakat Lebanon justru “menggandakan” mereka. Para pemimpin Hizbullah memiliki akhlak, keberanian, dan kepemimpinan yang sama. Jangan ada yang mengira Hizbullah lumpuh dengan gugurnya para komandannya. Hizbullah memiliki struktur berlapis di dalam tubuhnya.

Meski saat ini Hizbullah, karena kondisi khusus Lebanon dan pemerintah yang ada, memilih diam, namun mereka selalu siap. Jika perang kembali terjadi, kemampuan Hizbullah tidak akan berbeda dengan tahun lalu.

ABNA: Sebagai sahabat dekat Sayyid, apa ciri utama kepribadian beliau?

Ciri paling menonjol dari Sayyid adalah keislamannya. Ia tidak memandang agama sebagai alat dan tidak memiliki mentalitas bangsawan. Ketika putranya, Sayyid Hadi, hendak bergabung dengan perlawanan, ia menetapkan beberapa syarat, termasuk menggunakan nama samaran agar tidak disalahgunakan sebagai anak Sayyid Hasan. Ia gugur dalam operasi infiltrasi langsung ke jantung musuh.

Dalam wasiatnya, Sayyid Hadi menulis kepada saudara-saudaranya: “Jangan kira Sayyid Hasan Nasrallah hanya ayah kita; ia adalah wakil Wali Faqih kita.” Pendidikan seperti ini sangat jarang kita temukan.

Ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun anggota keluarganya yang menyalahgunakan posisinya. Mereka selalu berada di garis depan. Dalam salah satu kenangan, Sayyid menceritakan bahwa selama perang saudara Beirut, rumahnya berada dekat medan pertempuran, dan selama 50 hari ia dan para pejuang di Jabal Safi terkepung dan hidup dengan memakan daun-daunan.

ABNA: Jika ada pesan penutup mengenai buku dan sosok Sayyid Aziz, silakan.

Jilid kedua “Sayyid Aziz” insya Allah akan segera terbit dan akan saya persembahkan kepada Pemimpin Tertinggi Revolusi untuk mendapatkan taqrizh beliau.

Namun tentang sosok Sayyid Perlawanan dan para tokoh besar perlawanan lainnya, sayangnya kita sering menggambarkan mereka sebagai figur yang tak terjangkau bagi generasi muda. Padahal setiap pemuda bisa, dengan tekad dan kemauan, menjadi Sayyid Hasan Nasrallah, Qasem Soleimani, Hajizadeh, dan lainnya. Para tokoh ini harus diperkenalkan secara nyata dan dapat diteladani, agar menjadi panutan bagi generasi muda hari ini.

Your Comment

You are replying to: .
captcha