5 Desember 2025 - 20:31
New York Times: Penembakan di Washington Mengacaukan Kehidupan Warga Afghanistan di Amerika Serikat

Sebuah laporan New York Times mengungkap bahwa insiden penembakan baru-baru ini di Washington telah mengguncang masyarakat Afghanistan di Amerika Serikat, membuat ribuan orang—yang melarikan diri ke AS setelah jatuhnya Kabul—kembali menghadapi ancaman deportasi dan hancurnya kehidupan yang baru mereka bangun.

Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- Sebuah laporan New York Times mengungkap bahwa insiden penembakan baru-baru ini di Washington telah mengguncang masyarakat Afghanistan di Amerika Serikat, membuat ribuan orang—yang melarikan diri ke AS setelah jatuhnya Kabul—kembali menghadapi ancaman deportasi dan hancurnya kehidupan yang baru mereka bangun.

Menurut laporan tersebut, warga Afghanistan yang tiba di Amerika setelah keluarnya pasukan AS dari negara mereka, awalnya merasa aman dan yakin masa depan mereka lebih terjamin. Namun penembakan yang terjadi pekan lalu, yang kemudian menjerat seorang warga Afghanistan bernama Rahmanullah Lakanwal sebagai tersangka dan terpidana, mengubah segalanya.

Kasus yang Membuka Ketakutan Baru

Laporan NYT menyoroti nasib Ubaidullah Durani, seorang mantan pilot militer Afghanistan. Ia tiba di Arizona pada tahun 2021 bersama dua anaknya, setelah bekerja sama dengan militer Amerika. Istrinya tidak bisa ikut serta dan tertinggal di Afghanistan. Durani bekerja sambil mengurus kedua anaknya, dan meski hidup sulit, ia merasa aman dan berharap suatu hari keluarganya bisa berkumpul kembali di Amerika.

Namun setelah penembakan Washington, Presiden Donald Trump mengeluarkan perintah agar seluruh berkas keamanan warga Afghanistan segera ditinjau ulang. Ia juga menginstruksikan aparat imigrasi untuk mencari sekitar 2.000 warga Afghanistan yang memiliki perintah deportasi tetapi belum ditahan. Keputusan tersebut menimbulkan ketakutan luas di komunitas Afghanistan yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang.

Trump memanfaatkan insiden itu untuk memperkuat kampanye anti-imigrasinya. Dalam unggahan di Truth Social, ia menegaskan bahwa “siapa pun yang tidak menyukai Amerika harus dideportasi.”

Dari Harapan Menjadi Ketidakpastian

Sejak evakuasi besar-besaran tahun 2021, sekitar 200.000 warga Afghanistan—banyak dari mereka pernah bekerja untuk militer atau lembaga AS—telah memasuki Amerika Serikat. Mereka berharap bisa berintegrasi dan membangun kehidupan baru. Namun insiden terbaru dan reaksi politik terhadapnya telah menciptakan ketakutan di komunitas tersebut, termasuk di kota Phoenix yang menampung sekitar 4.000 pengungsi Afghanistan.

Dalam sebuah pusat bantuan pengungsi di Arizona, puluhan orang antre mencari jawaban tentang masa depan mereka. Durani, yang dijadwalkan melakukan wawancara mendapatkan green card pada Desember, kini khawatir proses tersebut dibatalkan. Ia juga ketakutan memikirkan nasib istrinya di Afghanistan dan kemungkinan dirinya sendiri ditahan atau dideportasi.

Pihak pusat pengungsi memperingatkan para warga Afghanistan bahwa meninggalkan Amerika Serikat—bahkan untuk sementara—bisa membuat mereka sulit kembali, meski mereka sudah memiliki green card. Ketidakpastian ini membuat banyak keluarga berada di ambang krisis mental dan emosional.

Perubahan Sikap Masyarakat

NYT juga mengangkat kisah Mirwais Dawoodzi, seorang pekerja bandara di Phoenix yang membantu penumpang dengan kebutuhan khusus. Dawoodzi mengatakan bahwa sebelum insiden penembakan, orang-orang sering menunjukkan simpati ketika mengetahui ia berasal dari Afghanistan dan pernah bekerja membantu pasukan Amerika—bahkan memberinya tip dengan murah hati.

Namun setelah insiden itu, sikap sebagian penumpang berubah drastis. Begitu mereka mendengar ia berasal dari Afghanistan, mereka menghindar, enggan memberi tip, dan memperlakukannya dengan curiga.

Dawoodzi, dengan mata merah karena kurang tidur, mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam dua tahun, pihak kontraktor bandara meminta dokumen-dokumen pribadinya untuk diperiksa kembali—sebuah tanda yang menurutnya mengancam keberadaannya di negeri itu. Ia bertanya dengan cemas:
“Apakah aku harus membeli rumah di sini, atau aku akan segera dideportasi?”

Jalan Panjang Pengungsi Lain

Laporan tersebut juga menyoroti nasib Hekmatullah, 38 tahun, mantan juru bicara Kementerian Transportasi Afghanistan yang menempuh perjalanan berbahaya melalui Iran, Amerika Selatan, dan hutan Darien untuk mencapai AS bersama istri dan tiga putrinya.

Ia kini memiliki izin kerja dan bekerja di bandara Phoenix, tetapi kebijakan baru membuat masa depan keluarganya kembali tidak pasti.

Banyak warga Afghanistan kini takut bepergian, bekerja, atau keluar rumah karena takut ditangkap ICE (Imigrasi & Customs Enforcement). Ketakutan kolektif ini membuat mereka hidup dalam keraguan total—masa depan mereka seolah bisa runtuh akibat satu insiden yang dilakukan satu individu.

Your Comment

You are replying to: .
captcha