Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- Di tengah gencatan senjata rapuh di Gaza, dunia kini menyaksikan tragedi baru di Sudan, di mana milisi Rapid Support Forces (RSF) yang didukung Uni Emirat Arab dan rezim Israel melakukan pembantaian besar-besaran terhadap warga sipil, terutama di kota al-Fashir, Darfur Utara.
Sudan — negara strategis di tepi Laut Merah dan pintu gerbang Afrika — kini berada di ambang kehancuran total dan kelaparan besar. Sejak April 2023, RSF di bawah pimpinan Mohammad Hamdan Dagalo (Hemedti), dengan dukungan dana dan senjata dari UEA dan koordinasi militer dengan Israel, melancarkan perang brutal terhadap tentara nasional Sudan yang dipimpin Abdel Fattah al-Burhan.
Laporan PBB menyebut sedikitnya 150.000 warga tewas dan lebih dari 10 juta orang mengungsi, sementara 2.000 warga sipil dibantai hanya dalam dua hari di al-Fashir. Gambar satelit menunjukkan noda darah luas di jalanan kota akibat kekejaman RSF.
Sumber lapangan mengonfirmasi bahwa RSF menutup akses bantuan kemanusiaan, melakukan pembunuhan massal pasien di rumah sakit, serta pemerkosaan dan penyiksaan sistematis terhadap warga.
Artikel ini menegaskan bahwa krisis Sudan adalah perpanjangan dari proyek kekerasan Israel dan sekutunya di kawasan. Dukungan logistik Israel terhadap UEA dalam konflik Sudan bertujuan menghalangi poros baru perlawanan yang berpotensi muncul antara Sudan dan Yaman, dua negara yang jika bersatu dapat mengendalikan jalur strategis Laut Merah dan mengancam kepentingan militer Israel.
Dalam diamnya dunia internasional, Sudan kini menjadi “Gaza kedua” — korban baru dari tangan berdarah zionisme global yang sama, yang membunuh di Gaza, menjarah di Yaman, dan kini membakar Sudan.
 
             
             
                                         
                                         
                                         
                                        
Your Comment