11 Oktober 2025 - 22:54
Source: Parstoday
Mengapa Netanyahu Terpaksa Menerima Gencatan Senjata Gaza?

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terpaksa menerima gencatan senjata di Gaza di tengah gelombang kemarahan global dan ancaman penangkapan internasional.

Al Jazeera Net menerbitkan artikel analitis karya Mahmoud Sultan, yang menjelaskan alasan-alasan yang memaksa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menyetujui diakhirinya perang Gaza.

Menurut laporan Pars Today mengutip Al Alam Network, analisis ini menyatakan, Salah satu alasan Netanyahu terpaksa menerima gencatan senjata adalah karena ia mendapati dirinya sendirian dan dibenci dunia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Netanyahu juga menolak terbang di atas langit Eropa karena takut akan eksekusi surat perintah penangkapannya yang dikeluarkan oleh Mahkamah Pidana Internasional. Ketika Netanyahu hendak berpidato di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, para delegasi yang hadir meninggalkan aula dan ia mendapati dirinya berada di aula yang kosong tanpa kehadiran para pemimpin dunia.

Tokoh-tokoh Eropa secara terbuka menuduh rezim Zionis melakukan genosida, dan seruan untuk embargo senjata terhadap rezim tersebut telah meningkat, bahkan di antara para Demokrat Amerika yang pro-Tel Aviv seperti mantan penasihat keamanan nasional Jake Sullivan.

Pada bulan Agustus tahun ini (2025), 28 negara Barat mendesak Tel Aviv untuk mengakhiri kejahatannya di Gaza. Tuntutan ini merupakan tambahan dari ancaman berbagai negara dan lembaga untuk menjatuhkan sanksi budaya, akademik, dan olahraga terhadap rezim Zionis. Sanksi ini membuat Nimrod Gorn, seorang profesor universitas Israel, mengakui bahwa karena Gaza, sebagian besar warga Israel merasa dunia menentang mereka. Hal ini membuat mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert mengakui bahwa "kami telah menjadi negara yang dibenci".

Kesalahan lain yang dilakukan Netanyahu yang membuatnya sendiri dan memaksanya menerima gencatan senjata adalah gagasan bahwa Presiden AS Donald Trump tidak akan memaksanya melakukan apa pun dan akan mendukungnya. Namun setelah beberapa saat, Netanyahu mendapati dirinya berada di bawah tekanan paling kuat dari Trump. Kekhawatiran rezim Israel akan isolasi meningkat hingga Netanyahu memperingatkan bahwa Tel Aviv harus mandiri secara ekonomi untuk melawan isolasinya.

Jajak pendapat Pew Research Center terbaru menunjukkan bahwa 58 persen warga Israel percaya bahwa rezim Zionis telah kehilangan rasa hormat di antara negara-negara lain. Jajak pendapat ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar warga Wilayah Pendudukan ingin perang berakhir, karena perang telah menghancurkan citra rezim dan meningkatkan isolasinya.

Selain itu, rezim Zionis mendapati dirinya terisolasi di panggung internasional, karena Trump, tanpa sepengetahuan Tel Aviv, mengadakan perundingan dengan Hamas, mencabut sanksi terhadap Suriah, dan mengumumkan kesediaannya untuk berunding dengan Iran.

Di sisi lain, upaya rezim Zionis untuk membunuh para pemimpin Hamas di Qatar membuat tim Trump menuduh rezim ini mencoba menciptakan masalah antara Washington dan sekutunya di luar NATO. Setelah itu, Trump mengumumkan bahwa ia kecewa dengan Netanyahu dan memperingatkan bahwa perang harus diakhiri.

Selain itu, salah satu alasan terpenting bagi kesepakatan Netanyahu untuk mengakhiri perang Gaza adalah meningkatnya kebencian terhadap rezim Zionis dan demonstrasi anti-Israel di Eropa. Sebuah tantangan yang dianggap sebagai titik balik paling berbahaya dalam hubungan historis antara Eropa dan rezim Zionis. Sebuah isu yang menyebabkan Tel Aviv berada di ambang kehancuran dan kemunduran.

Kebencian terhadap Israel telah mencapai tingkat sedemikian rupa sehingga untuk pertama kalinya, semua sekutunya mengancam untuk meninggalkannya. Ini terjadi di negara-negara yang sebelumnya sepenuhnya kebal terhadap kebencian apa pun. Empat hari sebelum perjanjian Sharm El-Sheikh, ratusan ribu orang berdemonstrasi menentang Israel dalam pawai di seluruh Eropa, sebuah peristiwa yang digambarkan oleh media Zionis sebagai titik balik paling berbahaya dalam hubungan historis Eropa dengan rezim Zionis.

Lebih lanjut, Israel telah menempatkan dirinya di jalur kehancuran dan kepunahan, dan mungkin secara bertahap kembali ke tempat asalnya lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu.

Dalam situasi seperti itu, seluruh dunia untuk pertama kalinya sepakat tentang perlunya menghentikan perang, dan Netanyahu tidak punya pilihan selain menyerah pada kehendak opini publik dunia. Ia menyerah pada kesombongan dan keegoisan dirinya, tanpa mencapai satu pun tujuannya, dan kini menunggu nasib dan masa depan politiknya. Masa depan yang mungkin ditentukan dengan meninggalkan kekuasaan dan menjadi tahanan di salah satu penjara Israel.(sl)

Your Comment

You are replying to: .
captcha