Radio Militer Israel dalam laporannya menyatakan: Para komandan militer Zionis, seiring dengan kian dekatnya janji pengakuan resmi negara Palestina oleh sejumlah negara Barat, mengirim 8 brigade ke Tepi Barat. Menurut laporan Pars Today, lebih dari 10 negara Barat rencananya pada hari Senin 22 September 2025 akan mengakui secara resmi Palestina sebagai sebuah negara merdeka di Majelis Umum PBB. Sekaitan dengan ini, Tel Aviv dengan dukungan dan lampu hijau Amerika mengancam akan membalas langkah ini dengan menganeksasi dan menduduki Tepi Barat.
Negara-negara seperti Kanada, Australia,Portugal, Belgia, Malta, Luxembourg, San Marino, Andora dan Prancis termausk negara-negara yang rencannaya akan mengakui secara resmi negara Palestina di Konferensi Internasional Palestina di markas besar PBB.
Seiring berlanjutnya perang Gaza dan rezim Zionis bersikeras melanjutkan kebijakan pembunuhan dan genosida terhadap warga Palestina yang tinggal di Gaza, opini publik global semakin tergerak untuk menentang rezim Zionis. Aksi protes dan demonstrasi di berbagai negara di dunia menentang kebijakan genosida Israel di Gaza, serta publikasi gambar-gambar kelaparan dan kehausan warga Gaza, terutama dalam beberapa bulan terakhir, telah meningkatkan tekanan publik terhadap para pejabat dan pemimpin berbagai negara Eropa.
Dalam hal ini, para pejabat Eropa, yang selalu mengklaim membela hak asasi manusia dan menghormati kebebasan individu dan sosial, dalam beberapa bulan terakhir tampaknya terpaksa berhenti mendukung Israel secara langsung dan mengutuk kejahatan Zionis terhadap penduduk Gaza. Faktanya, penggunaan senjata pemusnah massal oleh rezim Zionis, termasuk fosfor putih, serangan terhadap zona aman, pengungsian besar-besaran warga Palestina, penutupan jalur makanan dan obat-obatan ke Gaza, serta penghancuran infrastruktur seperti jaringan air, rumah sakit, dan pusat medis, telah membuat para pejabat Eropa tidak memiliki ruang untuk membela diri dalam mendukung Israel, terutama karena opini publik di Eropa tidak lagi menerima pembenaran kebijakan apa pun dalam hal ini.
Di kondisi seperti ini, mayoritas negara-negara ini meyakini bahwa peluang perdamaian dan keamanan berkesinambungan di Asia Barat hanya dapat diciptakan dengan membentuk sebuah negara merdeka Palestina, dan menerima hak-hak rakyat Palestina. Faktanya, pengakuan resmi Palestina oleh negara-negara Barat bukan sekedar langkah untuk menghormati hak asasi manusia, tapi sebuah upaya diplomatik untuk menerapkan keseimbangan di politik internasional.
Dalam situasi ini, rezim Zionis sangat takut akan pengakuan Palestina. Salah satu alasan terpenting ketakutan ini adalah ancaman yang ditimbulkan oleh pengakuan Palestina terhadap apa yang disebut legitimasi rezim Zionis. Hingga saat ini, rezim Zionis telah menduduki tanah Palestina secara luas dan melanggar hak-hak mereka, dengan menggunakan istilah-istilah seperti "hak untuk membela diri", tetapi pengakuan Palestina sebagai negara merdeka menantang pembenaran ini dan dapat meningkatkan tekanan global untuk mengakhiri pendudukan dan pelanggaran hak-hak Palestina.
Selain itu, pengakuan resmi terhadap Palestina dapat melemahkan proses diplomatik dan perungan saat ini di mana rezim Zionis memainkan peran yang besar di dalamnya. Kesepakatan sementara seperti kesepakatan Oslo dan perundingan lainnya, yang senantiasa menguntungkan rezim Zionis, kini menghadapi tantangan dengan pengakuan resmi terhadap Palestina.
Pengakuan resmi terhadap Palestina juga dapat memperkuat posisi Palestina di kancah internasional. Jika Palestina diakui sebagai negara merdeka, Palestina akan dapat berpartisipasi dalam organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai negara merdeka dan mempertahankan hak-hak hukum mereka. Hal ini dapat meningkatkan perhatian internasional terhadap situasi Palestina dan, akibatnya, meningkatkan tekanan untuk mencapai solusi permanen bagi krisis Palestina.
Meski demikian, pengakuan resmi terhadap Palestina hanya sebuah langkah awal yang dapat menjadi peluang bagi perubahan mendasar dalam proses perdamaian dan keamanan di Asia Barat. Selain itu, proses ini disertai dengan tantangan dan kerumitan yang besar, di mana bahkan tidak jelas apakah negara-negara Eropa akan tetap komitmen dengan sikapnya di sidang Majelis Umum PBB atau mengubah sikapnya karena tekanan Amerika Serikat. (MF)
Your Comment