Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- Sejumlah anggota parlemen dan politikus Lebanon pada Selasa (19/8) mengajukan gugatan terhadap Sheikh Naeem Qassem, sekretaris jenderal Hizbullah, terkait pidatonya yang menolak pelucutan senjata perlawanan. Dalam pidatonya, ia menuduh pemerintah Lebanon menyerahkan negara kepada “Israel.”
Harian Rai al-Youm menilai, langkah ini bukan sekadar proses hukum, melainkan upaya membuka jalan perang saudara dengan kedok legalitas untuk melaksanakan rencana AS dan Israel, yaitu pelucutan senjata Hizbullah oleh tentara Lebanon sebelum akhir tahun.
Pertemuan penggagas gugatan digelar di kantor Ashraf Rifi, anggota parlemen sekaligus mantan menteri. Mereka menuduh Hizbullah memicu konflik sektarian dan berupaya membentuk front anti-perlawanan. Padahal, berdasarkan Perjanjian Taif, senjata perlawanan adalah legal untuk menghadapi agresi Israel.
Rencana ini disebut sebagai bagian strategi besar AS yang ingin memutus akses Hizbullah terhadap senjata dan dukungan logistik, khususnya lewat Suriah. Pemantik awalnya muncul di distrik al-Ashrafiyah, wilayah yang dulu juga menjadi titik mula perang saudara Lebanon. Bedanya, jika dahulu perlawanan Palestina jadi target, kini sasaran adalah Hizbullah—yang dua kali mengalahkan agresi Israel: membebaskan selatan Lebanon dan menang dalam perang Juli 2006.
Para pengusung pelucutan senjata dianggap melupakan bahwa senjata perlawanan tidak pernah diarahkan ke rakyat Lebanon, melainkan hanya ke musuh, serta melupakan peran Hizbullah dan Amal dalam mengangkat Michel Aoun sebagai presiden dan mendukung kabinet Najib Mikati.
Seperti ditegaskan Sheikh Qassem, jika proyek ini dipaksakan, maka yang menanti adalah "perang Karbala"—yakni pilihan antara kemenangan atau kesyahidan. Senjata perlawanan, ujarnya, adalah senjata suci yang hanya digunakan untuk tujuan suci: melindungi Lebanon dari penjajahan Israel.
Your Comment