Dr. Abdul Rahman Yaacob, peneliti di Lowy Institute, Australia, menuturkan, “Malaysia, sebagai ketua periodik ASEAN, mungkin menekankan perluasan kerja sama ekonomi untuk menurunkan dampak tarif Donald Trump.”
Ia menambahkan, “Tarif-tarif yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump, menjadi penggerak bagi ASEAN untuk menambah sekutu-sekutu strategisnya.”
Sejumlah laporan menyebutkan AS tidak akan menghadiri pertemuan ASEAN besok hari Senin dan Selasa, 26-27 Mei 2025, karena negara-negara ASEAN sangat khawatir setelah berakhirnya masa 90 hari tarif AS pada bulan Juni, Trump akan mengambil langkah-langkah baru.
Selain itu, pemimpin 10 negara ASEAN mungkin saja di sela pertemuan membicarakan tentang perluasan Regional Comprehensive Economic Partnership, RCEP atau Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional.
RCEP adalah sebuah perjanjian yang mencakup 30 persen Produk Domestik Bruto, PDB, dan populasi dunia, serta meliputi negara-negara ASEAN, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan India.Lebih dari itu, berdasarkan draf pernyataan bersama yang diperkirakan akan dikeluarkan di akhir pertemuan, ASEAN, akan menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait gelombang baru tarif AS.
Dalam draf tersebut disebutkan tarif-tarif sepihak Trump, menciptakan tantangan-tantangan kompleks, dan multidimensi bagi pertumbuhan ekonomi, stabilitas, dan solidaritas ASEAN.
Pertemuan ASEAN, Dewan Kerja Sama Teluk Persia, PGCC, dan Cina, juga sudah dijadwalkan untuk hari Selasa depan, dan rencananya akan dihadiri oleh Perdana Menteri Cina, Li Qiang.
Pertemuan yang digagas oleh PM Malaysia Anwar Ibrahim, ini diprediksi dapat memperluas kerja sama infrastruktur, dan digital di bawah kerangka “Prakarsa Sabuk dan Jalan”, Cina.
Sehubungan dengan ini, Jami Ghani, peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Singapura mengatakan, interaksi ini bukan berarti mengutamakan kekuatan tertentu, tapi mencerminkan proses diversifikasi.
Ia menambahkan, ASEAN menganggap hubungannya dengan AS tetap penting, tapi ketidakpuasan atas kemajuan terbatas program ekonomi Indo-Pasifik AS, telah membuka kesempatan peluang lebih besar bagi Cina, dan Dewan Kerja Sama Teluk Persia, PGCC.
Statemen pakar asal Singapura itu disampaikan setelah PM Malaysia, mengumumkan ASEAN akan membahas sejumlah isu termasuk keanggotaan Timor Leste, krisis Myanmar, peningkatan perdagangan intra-regional, dan kerja sama ekonomi di bawah tarif Trump.
Anwar Ibrahim juga menyinggung upaya menjaga hubungan Cina dan AS, dan menuturkan, “Sebagai sebuah negara dagang, jika kita tidak masuk ke pasar-pasar baru, dan tidak meningkatkan perlawanan kita, maka kita akan kalah.”
PM Malaysia, menjelaskan bahwa diam di hadapan masalah-masalah dengan negara tetangga berarti bahwa masalah-masalah itu semakin luas, dan Kuala Lumpur, tidak bisa menerima sebuah kekuatan mendominasi dan mendikte negara lain.
Pada saat yang sama, Anwar Ibrahim meminta negara-negara ASEAN untuk berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan semacam Cina, India, Pakistan, Rusia, dan Uni Eropa, dan menyebut proses ini sebagai “seruan untuk mandiri dan tegas”.
Ia juga menyinggung perhatian negara-negara Arab Teluk Persia, terhadap ASEAN, dan hubungan baik AS dan Cina. Menurutnya mungkin saja proyek-proyek multidimensi dengan anggaran bersama di antara negara-negara kawasan terbentuk.
Malaysia juga mungkin akan mengundang Inggris dan Uni Eropa, atau bahkan negara-negara Amerika Latin, untuk berpartisipasi dalam Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional, RCEP. (HS)
342/
Your Comment