Menurut Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- Di bawah rezim Zionis, Islam hanya diakui sebagai satu kelompok minoritas tanpa membedakan mazhabnya. Padahal, di wilayah ini terdapat penganut berbagai keyakinan, termasuk agama buatan Baha’i, Muslim Sunni (dengan mayoritas bermazhab Hanafi), serta komunitas Syiah. Karena itu, tidak ada data resmi yang dapat dijadikan acuan mengenai jumlah Syiah di wilayah pendudukan. Beberapa sumber memperkirakan jumlah mereka berkisar antara 600 hingga 6.000 orang.
Meskipun banyak Syiah di wilayah ini yang memilih untuk tidak mengungkapkan identitas keagamaan mereka secara terbuka, ada segelintir yang menjalankan aktivitas keagamaan secara terbatas, seperti shalat berjamaah dalam kelompok kecil di Masjid al-Aqsa atau bahkan menjadi bagian dari militer Israel. Namun, hampir tidak ada satu pun Syiah yang terlibat dalam kegiatan politik secara terbuka atau menyatakan oposisi terhadap pemerintah. Segala bentuk perlawanan terhadap rezim Zionis secara resmi dibantah oleh mereka.
Kerahasiaan ini merupakan suatu keharusan dalam pemerintahan yang pemimpinnya secara terang-terangan menyerukan penghancuran Syiah. Tak heran jika musuh terbesar rezim ini adalah pemerintahan Syiah dan komunitas Muslim Syiah.
Banyak analis politik dan militer melihat keberadaan orang-orang Syiah dalam struktur pemerintahan Israel sebagai ancaman potensial. Sejumlah laporan media Israel juga menyebutkan adanya penangkapan individu-individu Syiah atas dugaan kerja sama dengan Hizbullah dalam beberapa tahun terakhir.
Di tengah pengawasan ketat ini, menjalankan ritual keagamaan atau mengadakan pertemuan keagamaan secara terbuka hampir mustahil bagi komunitas Syiah di wilayah pendudukan. Oleh karena itu, kegiatan keagamaan mereka dilakukan secara rahasia. Bahkan, dalam beberapa kasus, anggota keluarga sendiri tidak mengetahui aktivitas keagamaan yang dijalankan oleh kerabat mereka.
Kerja sama antara Syiah di dalam wilayah Israel dan komunitas Syiah di negara-negara Arab seperti Irak dan Suriah, serta bahkan di negara-negara yang berhubungan baik dengan Israel seperti Amerika Serikat, sulit dideteksi selama bertahun-tahun. Namun, seorang agen perempuan keturunan Yahudi-Irak, yang ayahnya pernah dieksekusi di Irak karena bekerja untuk Israel, berhasil mengungkap beberapa jaringan ini kepada badan intelijen Israel.
Penemuan ini menimbulkan dilema bagi pemerintah Israel. Di satu sisi, mereka mengklaim sebagai negara yang menjunjung kebebasan beragama, tetapi di sisi lain, mereka menghadapi kelompok Syiah yang menjalin hubungan dengan komunitas Syiah di luar negeri. Menindak mereka secara besar-besaran bisa berdampak luas karena sebagian besar dari mereka memiliki status sebagai warga negara Israel.
Meskipun hubungan yang mereka jalin bersifat keagamaan dan bertujuan untuk mendalami ajaran Syiah, pemerintah Israel tetap menganggapnya sebagai ancaman. Akibatnya, rezim Zionis melakukan pembunuhan terselubung terhadap sejumlah pemuka Syiah di Israel, salah satunya adalah Syekh Ahmad Syahwan, yang kematiannya diduga akibat operasi rahasia tersebut.
Syiah Arab: Pemilik Masa Depan Palestina
Menurut penelitian Profesor Birtz Haim Erulia, seorang akademisi studi agama di universitas-universitas Israel, kawasan gurun Negev—yang mencakup lebih dari 55% wilayah Israel—dihuni oleh komunitas Arab, termasuk Syiah, yang memiliki tingkat kelahiran tertinggi di dunia. Ia menyatakan bahwa penduduk Palestina di kawasan ini adalah calon pemilik masa depan wilayah tersebut.
Laporan ini menekankan bahwa mayoritas penduduk Arab di kawasan ini adalah suku Badui, dengan tingkat pertumbuhan populasi mencapai 8,5% per tahun—salah satu yang tertinggi di dunia. Dalam waktu 14 tahun, populasi mereka bisa berlipat ganda, dan jika tren ini terus berlanjut tanpa ada intervensi, bukan tidak mungkin mereka dapat membentuk pemerintahan Syiah di wilayah pendudukan Palestina.
Penduduk Arab di gurun Negev merupakan kelompok yang paling miskin di Israel, dan mereka kerap berkonflik dengan pemerintah terkait kepemilikan tanah. Kondisi ini semakin memperkuat sentimen anti-Zionis di kalangan mereka.
Dalam laporan yang dirilis oleh Euronews pada 24 Mei 2024, bertepatan dengan eskalasi konflik antara Hamas dan Israel, disebutkan bahwa warga di kawasan ini terlibat dalam beberapa serangan bersenjata terhadap Israel—sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dipublikasikan secara terbuka.
Selain komunitas Syiah yang secara turun-temurun tinggal di wilayah ini, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah warga Arab di wilayah pendudukan mulai tertarik kepada mazhab Syiah. Beberapa di antara mereka bahkan secara terbuka mengumumkan keislaman mereka dalam mazhab Ahlulbait.
Laporan ini juga menggarisbawahi bahwa keberadaan Syiah di kawasan ini sudah berlangsung selama lebih dari 13 abad. Salah satu faktor utama yang menyebabkan meningkatnya minat terhadap mazhab Syiah di Israel adalah konflik berkepanjangan antara Israel dan Hizbullah, di mana Hizbullah beberapa kali berhasil mengalahkan Israel. Hal ini membuat banyak pemuda Arab di wilayah Palestina—khususnya mereka yang dikenal sebagai "Arab 1948"—memiliki pandangan positif terhadap Syiah.
Perlakuan diskriminatif pemerintah Israel terhadap komunitas Arab di Palestina—termasuk dalam bidang ekonomi, sosial, dan finansial—telah menimbulkan kekecewaan mendalam. Akibatnya, banyak dari mereka merasa terhubung secara emosional dengan Hizbullah sebagai kekuatan Syiah yang melawan Israel. Kekhawatiran terhadap tren ini bahkan telah disuarakan oleh berbagai media dan pejabat tinggi Israel, termasuk kepala Mossad, kepala intelijen militer (Aman), serta kepala intelijen domestik (Shabak).
Namun, meskipun menjadi isu serius bagi Israel, perkembangan ini justru kurang mendapat perhatian di negara-negara Arab.
Your Comment