Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh The New Arab, penulis dan dosen asal Gaza, Iman Afana, menggambarkan potret menyayat hati kehidupan perempuan Gaza selama dua tahun terakhir — masa genosida dan kehancuran tanpa henti. Ia menulis, dunia hanya melihat “ketabahan” perempuan Gaza, tetapi tidak memahami penderitaan batin yang mereka jalani setiap hari di tengah kepungan, kelaparan, dan ketakutan.
Menurut Afana, perempuan Gaza bukan hanya simbol ketahanan, tetapi manusia yang terjebak dalam lingkaran kehilangan, tanggung jawab berat, dan rasa takut yang tiada akhir. Mereka berjuang untuk bertahan hidup, mencari air dan makanan, membesarkan anak-anak di bawah bom, serta tetap berusaha bekerja dan menyalakan harapan bagi sesama.
Dalam artikelnya, Afana menulis: “Apa yang disebut dunia sebagai ketabahan hanyalah topeng yang menutupi kenyataan tak tertahankan. Di Gaza, bertahan hidup bukan bentuk kepahlawanan, tetapi rutinitas penuh kehilangan dan pengkhianatan.”
Ia menggambarkan suasana kota yang hancur — jalanan dipenuhi aroma asap, garam, dan mesiu, diiringi tangisan anak-anak dan suara ledakan. Dua tahun terakhir, tulisnya, telah mencuri seluruh stabilitas dan mimpi sederhana para perempuan: menjadi ibu, membangun rumah, atau sekadar hidup tenang.
Salah satu kisah yang ditulis Afana adalah tentang seorang ibu muda yang belum pernah tidur tenang sejak melahirkan. “Setiap kali pesawat lewat, aku terbangun untuk memastikan bayiku masih bernapas,” ujar sang ibu. Ia melahirkan di ruang kelas yang dijadikan tempat pengungsian dan kini hanya berharap mendapat sedikit susu gratis, meski air bersih pun tak tersedia.
Afana juga menulis bahwa banyak perempuan Gaza lelah berbicara — dunia hanya “berpura-pura mendengar” penderitaan mereka. Mereka hanya ingin satu hal: hari tanpa bom, tanpa rasa lapar, dan tanpa ketakutan.
Menurutnya, inilah makna sejati feminisme di Gaza — bukan tuntutan politik, tetapi perjuangan untuk hidup tanpa rasa takut, membesarkan anak-anak dengan aman, bekerja dengan martabat, dan memiliki hak untuk bahagia.
Afana menutup tulisannya dengan seruan: “Jika sejarah Gaza akan ditulis, biarlah ditulis dengan kebenaran tentang apa yang ditanggung para perempuan. Dunia harus tahu, bukan hanya apa yang hilang dari kami, tetapi apa yang dipaksakan atas kami.”
Your Comment