Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : Liputan 6
Selasa

13 Desember 2016

05.43.11
797811

Indonesia:

Ahok Kecewa Disebut Menistakan Islam

"Saya tidak habis pikir mengapa saya bisa dituduh sebagai penista agama Islam," kata Ahok dalam sidang di gedung eks Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (13/12).

Menurut Kantor Berita ABNA, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok meneteskan air mata saat membacakan eksepsi atau nota
keberatan atas dakwaan penistaan agama
yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum.

"Saya tidak habis pikir mengapa saya bisa
dituduh sebagai penista agama Islam,"
kata Ahok dalam sidang di gedung eks
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa
(13/12).

Ahok mulai menangis saat teringat orangtua angkatnya yang muslim. Dia menceritakan tumbuh kembangnya dikeluarga muslim. Dia diangkat anak oleh Andi Baso Amier, yang tak lain adalah mantan Bupati Bone, tahun 1967 sampai tahun 1970, beliau adik kandung mantan Panglima ABRI, almarhum Jenderal TNI Purn Muhammad Jusuf.

"Ayah saya dengan ayah angkat saya,
bersumpah untuk menjadi saudara sampai
akhir hayatnya. Kecintaan kedua orangtua
angkat saya kepada saya, sangat
berbekas, pada diri saya, sampai dengan
hari ini," tutur Ahok.

Berikut isi lengkap Nota Keberatan Ahok
yang dibacakan Ahok dalam persidangan:

Bapak Ketua Majelis Hakim, dan Anggota
Majelis Hakim yang saya muliakan,
Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang saya
hormati, Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang
saya hormati,

Pertama-tama saya ingin menyampaikan
terima kasih kepada Majelis Hakim atas
kesempatan, yang diberikan kepada Saya.
Berkaitan dengan persoalan yang terjadi
saat ini, dimana saya diajukan di hadapan
sidang, jelas apa yang saya utarakan di
Kepulauan Seribu, bukan dimaksudkan
untuk menafsirkan Surat Al-Maidah 51
apalagi berniat menista agama Islam, dan
juga berniat untuk menghina para Ulama.
Namun ucapan itu, saya maksudkan, untuk
para oknum politisi, yang memanfaatkan
Surat Al-Maidah 51, secara tidak benar
karena tidak mau bersaing secara sehat
dalam persaingan Pilkada.

Ada pandangan yang mengatakan, bahwa
hanya orang tersebut dan Tuhan lah, yang
mengetahui apa yang menjadi niat pada
saat orang tersebut mengatakan atau
melakukan sesuatu. Dalam kesempatan ini
di dalam sidang yang sangat Mulia ini, saya
ingin menjelaskan apa yang menjadi niat
saya pada saat saya berbicara di Kepulauan
Seribu tersebut.

Dalam hal ini, bisa jadi tutur bahasa saya,
yang bisa memberikan persepsi, atau
tafsiran yang tidak sesuai dengan apa yang
saya niatkan, atau dengan apa yang saya
maksudkan pada saat saya berbicara di
Kepulauan Seribu.

Majelis Hakim yang saya muliakan.
Ijinkan saya untuk membacakan salah satu
Sub-judul dari buku saya, yang berjudul
“Berlindung Dibalik ayat suci” ditulis pada
tahun 2008. Saya harap dengan membaca
tulisan di buku tersebut, niat saya yang
sesungguhnya bisa dipahami dengan lebih
jelas, isinya sebagai berikut, saya kutip:
Selama karir politik saya dari
mendaftarkan diri menjadi anggota partai
baru, menjadi ketua cabang, melakukan
verifikasi, sampai mengikuti Pemilu,
kampanye pemilihan Bupati, bahkan sampai
Gubernur, ada ayat yang sama yang saya
begitu kenal digunakan untuk memecah
belah rakyat, dengan tujuan memuluskan
jalan meraih puncak kekuasaan oleh oknum
yang kerasukan “roh kolonialisme”.
Ayat ini sengaja disebarkan oleh oknum-
oknum elit, karena tidak bisa bersaing
dengan visi misi program, dan integritas
pribadinya. Mereka berusaha berlindung
dibalik ayat-ayat suci itu, agar rakyat
dengan konsep “seiman” memilihnya.
Dari oknum elit yang berlindung dibalik
ayat suci agama Islam, mereka
menggunakan surat Almaidah 51. Isinya,
melarang rakyat, menjadikan kaum
Nasrani dan Yahudi menjadi pemimpin
mereka, dengan tambahan, jangan pernah
memilih kafir menjadi pemimpin. Intinya,
mereka mengajak agar memilih pemimpin
dari kaum yang seiman.
Padahal, setelah saya tanyakan kepada
teman-teman, ternyata ayat ini
diturunkan pada saat adanya orang-orang
muslim yang ingin membunuh Nabi besar
Muhammad, dengan cara membuat koalisi
dengan kelompok Nasrani dan Yahudi di
tempat itu. Jadi, jelas, bukan dalam
rangka memilih kepala pemerintahan,
karena di NKRI, kepala pemerintahan,
bukanlah kepala agama/Imam kepala.
Bagaimana dengan oknum elit yang
berlindung, dibalik ayat suci agama
Kristen? Mereka menggunakan ayat
disurat Galatia 6:10. Isinya, selama kita
masih ada kesempatan, marilah kita
berbuat baik kepada semua orang, tetapi
terutama kepada kawan-kawan kita
seiman.
Saya tidak tahu apa yang digunakan oknum
elit di Bali yang beragama Hindu, atau yang
beragama Budha. Tetapi saya
berkeyakinan, intinya, pasti, jangan
memilih yang beragama lain atau suku lain
atau golongan lain, apalagi yang ras nya
lain. Intinya, pilihlah yang seiman/sesama
kita (suku, agama, ras, dan antar
golongan). Mungkin, ada yang lebih kasar
lagi, pilihlah yang sesama kita manusia,
yang lain bukan, karena dianggap kafir,
atau najis, atau binatang!
Karena kondisi banyaknya oknum elit yang
pengecut, dan tidak bisa menang dalam
pesta demokrasi, dan akhirnya
mengandalkan hitungan suara berdasarkan
se-SARA tadi, maka betapa banyaknya,
sumber daya manusia dan ekonomi yang
kita sia-siakan. Seorang putra terbaik
bersuku Padang dan Batak Islam, tidak
mungkin menjadi pemimpin di Sulawesi.
Apalagi di Papua. Hal yang sama, seorang
Papua, tidak mungkin menjadi pemimpin di
Aceh atau Padang.
Kondisi inilah yang memicu kita, tidak
mendapatkan pemimpin yang terbaik dari
yang terbaik. Melainkan kita mendapatkan
yang buruk, dari yang terburuk, karena
rakyat pemilih memang diarahkan, diajari,
dihasut, untuk memilih yang se-SARA saja.
Singkatnya, hanya memilih yang seiman
(kasarnya yang sesama manusia).
Demikian kutipan dari buku yang saya tulis
tersebut.
Majelis Hakim yang saya muliakan.
Dalam kehidupan pribadi, saya banyak
berinteraksi dengan teman-teman saya
yang beragama Islam, termasuk dengan
keluarga angkat saya Almarhum Haji Andi
Baso Amier yang merupakan keluarga
muslim yang taat.
Selain belajar dari keluarga angkat saya,
saya juga belajar dari guru-guru saya,
yang taat beragama Islam dari kelas 1 SD
Negeri, sampai dengan kelas 3 SMP Negeri.
sehingga sejak kecil sampai saat sekarang,
saya tahu harus menghormati Ayat-Ayat
suci Alquran.
Jadi saya tidak habis pikir, mengapa saya
bisa dituduh sebagai penista Agama Islam.
Saya lahir dari pasangan keluarga non-
muslim, Bapak Indra Tjahaja Purnama dan
Ibu Buniarti Ningsih (Tjoeng Kim Nam dan
Bun Nen Caw), tetapi saya juga diangkat
sebagai anak, oleh keluarga Islam asal
Bugis, bernama Bapak Haji Andi Baso Amier
, dan Ibu Hajjah Misribu binti Acca. Ayah
angkat saya, Andi Baso Amier adalah
mantan Bupati Bone, tahun 1967 sampai
tahun 1970, beliau adik kandung mantan
Panglima ABRI, Almarhum Jenderal TNI
(Purn.) Muhammad Jusuf.
Ayah saya dengan ayah angkat saya,
bersumpah untuk menjadi saudara sampai
akhir hayatnya.
Kecintaan kedua orangtua angkat saya
kepada saya, sangat berbekas, pada diri
saya, sampai dengan hari ini.
Bahkan uang pertama masuk kuliah S2 saya
di Prasetya Mulya, dibayar oleh kakak
angkat saya, Haji Analta Amir.
Saya seperti orang yang tidak tahu
berterima kasih, apabila saya tidak
menghargai agama dan kitab suci orang
tua dan kakak angkat saya yang Islamnya
sangat taat.
Saya sangat sedih, saya dituduh menista
agama Islam, karena tuduhan itu, sama
saja dengan mengatakan saya menista
orang tua angkat dan saudara-saudara
angkat saya sendiri, yang sangat saya
sayangi, dan juga sangat sayang kepada
saya. Itu sebabnya ketika Ibu angkat saya
meninggal, saya ikut seperti anak
kandung, mengantar dan mengangkat
keranda beliau, dari ambulans sampai ke
pinggir liang lahat, tempat peristirahatan
terakhirnya, di Taman Pemakaman umum
Karet Bivak.
Sampai sekarang, saya rutin berziarah ke
makam Ibu angkat, di Karet Bivak. Bahkan
saya tidak mengenakan sepatu atau sendal
saat berziarah, untuk menghargai
keyakinan dan tradisi orang tua dan
saudara angkat saya itu.
Yang membuat saya juga selalu mengingat
almarhumah Ibu angkat saya, adalah
peristiwa, pada saat saya maju, sebagai
calon wakil Gubernur DKI Jakarta tahun
2012.
Pada hari pencoblosan, walaupun Ibu
angkat saya, sedang sakit berat dalam
perjalanan ke rumah sakit, dengan
menggunakan mobil kakak angkat saya Haji
Analta, ibu angkat saya, sengaja, meminta
mendatangi tempat pemungutan suara
untuk memilih saya. Padahal kondisinya
sudah begitu kritis.
Dari tempat pemungutan suara, barulah
beliau langsung, menuju ke rumah sakit,
untuk perawatan lebih lanjut di ICU.
Setelah dirawat selama 6 (enam) hari, Ibu
berdoa dan berkata kepada saya dan masih
terus saya ingat dan masih akan saya
ingat, kata beliau: “Saya tidak rela mati
sebelum kamu menjadi gubernur. Anakku,
jadilan gubernur yang melayani rakyat
kecil."
Ternyata Tuhan mengabulkan doa Ibu
angkat saya.
Beliau berpulang tanggal 16 Oktober 2014,
setelah ada kepastian Bapak Jokowi
menjadi Presiden, dan saya juga sudah
dipastikan menjadi Gubernur,
menggantikan Bapak Jokowi. Pesan dari
Ibu angkat saya selalu saya camkan ,
dalam menjalankan tugas saya, sebagai
Gubernur DKI Jakarta.
Majelis Hakim yang saya muliakan.
Sebelum menjadi pejabat, secara pribadi,
saya sudah sering menyumbang untuk
pembangunan mesjid di Belitung Timur, dan
kebiasaan ini, tetap saya teruskan saat
saya menjabat sebagai Anggota DPRD
Tingkat II Belitung Timur, dan kemudian
sebagai Bupati Belitung Timur. Saya sudah
menerapkan banyak program membangun
Masjid, Mushollah dan Surau, dan bahkan
merencanakan membangun Pesantren,
dengan beberapa Kyai dari Jawa Timur.
Saya pun menyisihkan penghasilan saya,
sejak menjadi pejabat publik minimal 2,5%
untuk disedekahkan yang di dalam Islam,
dikenal sebagai pembayaran Zakat,
termasuk menyerahkan hewan Qurban atau
bantuan daging di Hari Raya Idul Fitri dan
Idul Adha.
Saya juga mengeluarkan kebijakan-
kebijakan, termasuk untuk menggaji guru-
guru mengaji, dan menghajikan Penjaga
Masjid/Musholla (Marbot atau Muadzin)
dan Penjaga Makam.
Hal-hal yang telah saya lakukan di Belitung
Timur, saat menjabat sebagai Bupati, saya
teruskan ketika tidak menjadi Bupati lagi,
sampai menjadi anggota DPR RI daerah
pemilihan (dapil) Bangka Belitung, sebagai
Wakil Gubernur dan juga, sebagai Gubernur
DKI Jakarta saat ini pun tetap saya
lakukan.
Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, saya
juga membuat banyak kebijakan,
diantaranya kebijakan agar di bulan Suci
Ramadhan, para PNS dan honorer, bisa
pulang lebih awal, dari aturan lama jam
15.00 WIB saya ubah menjadi jam 14.00
WIB, agar umat Muslim dapat berbuka
puasa bersama keluarga di rumah, sholat
magrib berjamaah, dan bisa tarawih
bersama keluarganya.
Saya juga ingin melihat Balaikota
mempunyai Masjid yang megah untuk PNS,
sehingga bisa melaksanakan ibadahnya,
ketika bekerja di Balaikota. Karena itu,
Pemda membangun Masjid Fatahillah di
Balaikota.
Di semua rumah susun (rusun) yang
dibangun PEMDA, juga dibangun Masjid.
Bahkan di Daan Mogot, salah satu rusun
yang terbesar, kami telah membangun
Masjid besar, dengan bangunan seluas
20.000 m2, agar mampu menampung
seluruh umat muslim yang tinggal di rusun
Daan Mogot. Kami jadikan masjid tersebut
sebagai salah satu Masjid Raya di Jakarta.
Kami akan terus, membangun Masjid Raya/
besar, di setiap rusun, kami akan terus
membantu perluasan Masjid yang ada,
dengan cara PEMDA akan membeli lahan
yang ada di sekitar Masjid, sebagaimana
beberapa kali telah saya sampaikan dalam
pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh
Islam maupun Pengurus Dewan Masjid
Indonesia di Balaikota.
Para Marbot dan penjaga makam juga
PEMDA Umrohkan. Kami juga membuat
kebijakan bagi PNS, menjadi pendamping
Haji kloter DKI Jakarta.
Saya berharap bisa melaksanakan amanah
orang tua dan orang tua angkat saya
untuk melanjutkan tugas saya sebagai
Gubernur di periode yang akan datang,
sehingga cita-cita saya untuk
memakmurkan umat Islam di Jakarta dapat
terwujud.
Majelis Hakim yang saya muliakan.
Saya berani mencalonkan diri sebagai
Gubernur, sesuai dengan amanah yang saya
terima dari almarhum Gus Dur, bahwa
Gubernur itu bukan pemimpin tetapi
pembantu atau pelayan masyarakat.
Itu sebabnya, dalam pidato saya setelah
pidato almarhum Gus Dur pada tahun 2007,
saya juga mengatakan bahwa menjadi
calon Gubernur, sebetulnya saya melamar
untuk menjadi pembantu atau pelayan
rakyat.
Apalagi, saya melihat adanya fakta, bahwa
ada cukup banyak partai berbasis Islam,
seperti di Kalimantan Barat, Maluku Utara,
dan Solo juga mendukung calon Gubernur,
Bupati, Walikota non-Islam di daerahnya.
Untuk itu, saya mohon ijin kepada Majelis
Hakim, untuk memutar video Gus Dur yang
meminta masyarakat memilih Ahok sebagai
Gubernur saat Pilkada Bangka Belitung
tahun 2007, yang berdurasi sekitar 9
(Sembilan) menit.
Majelis Hakim yang saya muliakan.
Saya ini hasil didikan orang tua saya,
orang tua angkat saya, Ulama Islam di
lingkungan saya, termasuk Ulama Besar
yang sangat saya hormati, yaitu Almarhum
Kyai Haji Abdurahman Wahid.
Yang selalu berpesan, menjadi pejabat
publik sejatinya adalah menjadi pelayan
masyarakat. Sebagai pribadi yang tumbuh
besar di lingkungan umat Islam, tidaklah
mungkin saya mempunyai niat untuk
melakukan penistaan Agama Islam dan
menghina para Ulama, karena sama saja,
saya tidak menghargai, orang-orang yang
saya hormati dan saya sangat sayangi.
Majelis Hakim yang saya muliakan.
Apa yang saya sampaikan di atas, adalah
kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi.
Dan saya juga berharap penjelasan saya
ini, bisa membuktikan tidak ada niat saya,
untuk melakukan penistaan terhadap Umat
Islam, dan penghinaan terhadap para
Ulama. Atas dasar hal tersebut, bersama
ini saya mohon, agar Majelis Hakim yang
Mulia, dapat mempertimbangkan Nota
Keberatan saya ini, dan selanjutnya
memutuskan, menyatakan dakwaan
Saudara Jaksa Penuntut Umum tidak dapat
diterima, atau batal demi hukum. sehingga
saya dapat kembali, melayani warga
Jakarta dan membangun kota Jakarta.
Majelis Hakim yang Mulia, terima kasih
atas perhatiannya. Kepada Jaksa Penuntut
Umum, serta Penasehat Hukum, saya juga
ucapkan terima kasih.


Jakarta, 13 Desember 2016
Hormat saya,
Basuki Tjahaja Purnama