Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : IRIB Bahasa Indonesia
Minggu

11 Desember 2011

20.30.00
283455

Wawancara IRIB dengan Dr. Sabara Nuruddin

Kebangkitan Islam dari Kacamata Dr. Sabara

Sementara bila di lihat dari arahnya, saya pribadi, arah kebangkitan Islam di Indonesia tidak mesti membentuk negara atau daulat Islam. Karena bisa ini menjadi masalah baru. Daulat Islam secara formal akan menjadi masalah baru bagi Indonesia. Jadi, kebangkitan Islam di Indonesia buat saya mestinya memberikan semangat agar dalam percaturan Islam di dunia Internasional punya pengaruh dan diperhitungkan dunia.

Kebangkitan rakyat di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara dewasa ini telah berhasil menumbangkan sejumlah rezim depotik semacam Ben Ali di Tunisia, Mubarak di Mesir dan Gaddafi di Libya. Kini, bola salju perlawanan rakyat itu terus menggelinding kencang menggoyang negara-negara monarki Arab.

Hingga kini perlawanan di negara-negara muslim itu menuai pertanyaan besar, apakah kebangkitan tersebut murni tuntutan rakyat mewujudkan demokratisasi ataukah kebangkitan Islam?  Peneliti bidang kehidupan beragama dari Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (Balitbang) Makassar menilai kebangkitan Islam dan demokratisasi sama-sama bermain dominan.

 Doktor Pemikiran Islam jebolan UIN Alauddin Makassar itu memandang kebangkitan rakyat Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim-rezim despotik boneka Washington.

Selengkapnya simak wawancara Purkon Hidayat dari IRIB Bahasa Indonesia dengan Dr. Sabara berikut ini.

 Bagaimana pandangan Anda sebagai peneliti agama dan doktor pemikiran Islam menyikapi fenomena perlawanan rakyat di Timur Tengah dan Afrika Utara? Saya melihat tampaknya ada dua tesis besar yang menyeruak; pertama, memandang perlawanan rakyat murni sebagai tuntutan mereka mewujudkan demokratisasi, dan kedua memandang fenomena itu sebagai Kebangkitan Islam. Nah bagaimana Anda melihat dua persoalan ini?

Saya melihat dua tesis antara Kebangkitan Islam dan demokratisasi bermain dominan terutama dengan melihat masyarakat Timur Tengah karena mereka berada di bawah dominasi Amerika. Mereka hendak melawan ini.

Semangat demokratisasi buat saya masih dominan, namun tidak berarti mengabaikan Kebangkitan Islam. Kalau menurut saya, apa yang terjadi di Bahrain dan Suriah juga sama dengan yang terjadi di Mesir sekalipun dalam skala yang lebih kecil. Bila melihat keadaan Mesir, apa yang terjadi di sana lebih dominan tuntutan untuk diterapkannya demokratisasi. Hal itu karena mereka selama sekian puluh tahun berada di bawah kekuasaan Hosni Mubarak. Rezim Mubarak selama bertahun-tahun memberangus demokrasi di sana.

Hal yang sama juga terjadi di Bahrain. Di negara ini semangat demokratisasi masih sangat dominan. Semangat melawan imperialis juga cukup dominan bermain. Begitu juga dengan kasus Suriah. Namun demikian, semangat Kebangkitan Islam juga tidak dapat diabaikan.

Doktrin Kebangkitan Islam di hadapan negara-negara Barat atau negara-negara imperialis itu sangat kuat. Apa yang kita saksikan muncul dari semangat demokratisasi dan Kebangkitan Islam, sehingga memunculkan perubahan di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara.

Untuk kasus Mesir misalnya, ada tuntutan penutupan Kedutaan Besar Israel dan pemutusan hubungan. Apakah hal itu tidak dapat dibaca sebagai Kebangkitan Islam? Begitu juga kasus gugatan terhadap Hosni Mubarak terkait penjualan gas ke Israel? Bagaimana Anda melihat persoalan itu?

Mencermati transformasi yang terjadi di Timur Tengah perlu ketelitian. Apakah yang muncul ini mengatasnamakan warga Arab atau umat Islam. Jadi pertanyaannya, mereka dendam kepada Israel sebagai orang Islam ataukah kebencian ini lahir dari pribadi mereka sebagai orang Arab. Sekalipun dari satu sisi tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan menutup Kedubes Israel di Mesir itu dipengaruhi juga oleh kelompok-kelompok Islam yang bermain di bawah tanah di Mesir seperti Ikhwanul Muslimin dan lain-lain. Mereka ini juga pengaruh, tapi kita tidak bisa langsung menggeneralisir bahwa ini muncul dari semangat Kebangkitan Islam.

 

Tuntutan menutup Kedubes Israel di Mesir bisa saja muncul dari sentimen Arab, bukan hanya dikarenakan mereka orang Islam. Tapi ini bisa saja terjadi karena mereka adalah orang Arab.

Sementara untuk kasus Bahrain, bagaimana Anda melihatnya?

Bila membandingkan Bahrain dengan negara-negara Afrika Utara memang punya kekhasan sendiri. Hal itu kembali pada mayoritas pendudukannya yang bermazhab Syiah, tapi dipimpin oleh minoritas monarkhi Sunni. Di sini, selain ada semangat melawan monarki, juga ada semangat melawan imperialis. Ada satu lagi pemicu perubahan di Bahrain dimana adanya semangat politik Islam yang cukup tinggi di Bahrain, terilham dari yang di Iran dan Hizbullah Lebanon. Jadi unsur ini juga punya peran, tanpa menutupi kemungkinan adanya unsur lain.

Kalau saya pribadi melihat kondisi Bahrain ada semangat untuk menjadi seperti saudara-saudara mereka yang ada di Iran, Lebanon dan Irak. Itulah mengapa Arab Saudi marah dan berusaha sekuat tenaga menghalang-halangi terwujudnya perubahan di Bahrain.

Di luar persoalan perbedaan mazhab Syiah dan Sunni, apakah ada persoalan yang lebih substansial di Bahrain bila dihubungkan dengan kehadiran Amerika di Bahrain?

Sebenarnya ada gejala umum di Timur Tengah, bahkan boleh dikata di seluruh dunia ketiga, semangat melawan imperialis itu muncul dengan intensitas yang berbeda-beda. Ekspresinya mengambil bentuk sesuai dengan pemantik yang ada di setiap negara. Jadi kebangkitan rakyat Bahrain juga dipicu oleh semangat melawan kekuatan imperialis yang ada di Bahrain. Buat saya, ini menjadi salah satu faktor utama yang menyulut rakyat Bahrain melakukan aksi perubahan di negaranya.

Bagaimana Anda melihat signifikansi perlawanan rakyat di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara ini terhadap pengaruh Amerika di kawasan itu?

Saya melihat Amerika sangat lihai dalam permainannya dan segalanya tergantung situasi siapa yang akhirnya akan berhasil mengkondisikan situasi. Untuk saat ini, saya melihat perubahan-perubahan yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara bisa menjadi potensial untuk melemahkan kekuatan-kekuatan Amerika di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, khususnya di negara-negara yang tidak lagi menganut sistem monarki.

Hanya saja harus diakui bahwa Amerika masih sangat lihai mengkondisikan situasi, sehingga bisa saja yang tadinya berawal dari perlawanan rakyat, tapi belakangan menjadi berbalik malah mendukung Amerika. Tapi kalau saya melihat tanda-tanda kelemahan Amerika dan itu dapat disaksikan dalam kasus Mesir, Bahrain, Suriah dan Tunisia.

Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, di negara-negara Timur Tengah dan secara umum di negara-negara dunia ketiga ada kemuakan terhadap imperialis yang menumbuhkan semangat perlawanan terhadap imperialis. Sehingga memantik perlawanan terhadap imperialis, dan pasti yang namanya imperialis pemimpinnya pasti Amerika. Jadi bila melihat lebih luas, maka sebenarnya yang terjadi dari gerakan-gerakan di Timur Tengah dan Afrika Utara ini adalah kelemahan negara Amerika yang dikenal sebagai kekuatan imperialis. Tentu saja fenomena ini sangat mempengaruhi kekuatan Amerika itu sendiri.

 

Ada dua tesis besar yang kita diskusikan di ranah teoritis. Samuel Huntington pernah menggulirkan The Clash Cilivization yang menekankan tabrakan antara demokratisasi dengan Islam, namun tampaknya dibantah oleh Robert W. Herfner yang menolak adanya bentrokan tersebut. Sebagai seorang peneliti agama, bagaimana Anda melihat dua masalah ini?

Bila kita melihat gerakan-gerakan politik Islam sendiri, ternyata apresiasi mereka terhadap demokratisasi dan pemerintahan Islam itu berbeda. Bila melihat masalah demokratisasi, jelas bahwa gerakan Ikhwanul Muslimin lebih akomodatif dengan demokrasi, sedangkan Jamiah Islam menalak tiga isu demokrasi. Republik Islam Iran juga termasuk yang akomodatif terhadap demokrasi. Terjadi pertentangan dalam kelompok-kelompok Islam terkait masalah ini kembali pada pemahaman mereka akan demokrasi itu sendiri. Hizbut Tahrir termasuk yang memandang masalah ini dengan pandangan ekstrim dan menolak demokrasi.

Umumnya di negara-negara dunia Islam memandang demokratisasi minus liberalisme sebagai masalah yang dapat diakomodasi oleh masyarakat muslim. Yang ditolak oleh masyarakat muslim adalah demokrasi ala Amerika. Demokrasi yang ada embel-embel liberalisme. Bila dilihat di Iran, demokrasi itu sendiri telah diadaptasi sedemikian rupa sehingga menjadi bagian dari kenegaraan. Bahkan bila dilihat, para cendekiawan muslim dunia dan Iran menolak demokrasi dengan catatan ada tambahan demokrasi liberalisme ala Amerika.

Masalah demokratisasi di negara-negara muslim akan menjadi benturan bila demorasi itu sesuai dengan yang di Barat. Karena demokratisasi itu akan mengarah pada demokratisasi sekuler. Sementara demokrasi tidak akan mengalami benturan dengan Islam bila minus liberalisasi dan bahkan dalam banyak hal mengambil bentuk baru di dunia Islam.

Ada satu hal yang menarik, karena ternyata Herfner mengajukan satu tema lain bernama kearifan lokal. Sekaitan dengan hal ini, tadi Anda telah menjelaskan tentang model-model demokrasi di berbagai negara, termasuk Iran. Nah saya ingin mencoba lebih jauh menanyakan, apakah mungkin demokrasi yang ditolak oleh masyarakat muslim Timur Tengah dan Afrika Utara adalah demokrasi kapitalisme yang memang ditanamkan oleh kekuatan-kekuatan hegemoni, negara-negara kuat yang memiliki kepentingan dengan pasar. Bagaiman Anda menilainya?

Benar, yang ditolak oleh mereka adalah demokratisasi sekuler dan kapitalis yang bersandar pada kaidah Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Sementara demokrasi sejati sebenarnya sudah ada di negara-negara muslim dalam bentuk kearifan lokal. Seperti masalah Syura atau musyawarah itu bila dikatakan identik dengan demokrasi, maka masalah ini sudah ada di negara-negara muslim.

Kembali pada bangsa Timur Tengah dan Afrika Utara. Bagaimana Anda melihat peran dan pengaruh Revolusi Islam Iran pada revolusi Timteng dan Afrika Utara?

Revolusi Islam tahun 1979 di Iran itu memantik kepercayaan umat Islam akan dirinya sendiri. Saya melihat ada transformasi semangat sebagai dampak pertama dari kemenangan Revolusi Islam Iran yang akhirnya menjalan ke negeri-negeri muslim, khususnya yang ada di sekitar Iran, Timur Tengah dan Afrika Utara. Jadi pada tahap pertama, dapat dikatakan bahwa semangat untuk kembali pada jati diri sebagai umat Islam menjadi pesan pertama yang ditangkap masyarakat muslim dari Revolusi Islam Iran.

 

Sementara untuk berbicara mengenai ideologi revolusi, tampaknya terlalu dini untuk membicarakannya di sini bahwa ideologi Revolusi Islam Iran telah mempengaruhi revolusi yang terjadi di negara-negara Timteng dan Afrika Utara. Tapi harus diakui bahwa Revolusi Islam Iran menjadi semangat yang mengilhami revolusi dan kebangkitan bagi gerakan-gerakan perlawanan rakyat di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Jadi, posisi Republik Islam Iran sangat sentral dalam memberikan semangat bagi munculnya gerakan-gerakan perlawanan itu.

Sebagai orang Indonesia, pesan apa yang dapat kita ambil dari kebangkitan rakyat muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara. Apakah Anda dapat memberikan sedikit ulasan tentang karakteristik dan model serta arah yang dapat digali dari apa yang terjadi di Timur Tengah dan dikembangkan sesuai dengan kebudayaan lokal Indonesia?

Indonesia diakui sebagai negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia. Namun dari sisi pemikiran, politik dan lain-lain, negara Indonesia kurang dianggap. Sementara yang menjadi inspirasi bagi rakyat muslim Indonesia adalah perlunya memupuk kepercayaan diri sebagai negara muslim terbesar di dunia. Sehingga diharapkan muslim Indonesia mampu tampil sejajar dengan negara-negara Islam lainnya.

Sementara bila melihat peta dunia Islam kita mengenal ada Islam Arab, Persia, India, Afrika dan Islam Melayu. Di antara peta Islam yang ada di dunia ini, Islam Melayu terlihat cenderung berada pada posisi marjinal. Sehingga Islam Melayu menjadi bagian yang dipengaruhi. Nah, kita berharap dari kebangkitan rakyat muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara, Islam Melayu dan umat Islam di Indonesia dapat tampil sejajar dengan umat Islam yang ada di Timur Tengah. Di sini yang ingin saya tekankan perlu adanya kepercayaan diri sebagai bangsa muslim yang terbesar di dunia.

Berbicara tentang karakteristik keislaman di Indonesia harus kita gali pada dua hal. Pertama perlu kita gali dari pertama kalinya Islam masuk ke Nusantara dan kedua, kembali pada karakteristik bangsa Melayu sebagai etnis. Masalah pertama perlu dipahami mengenai Islam masuk ke Nusantara. Islam memasuki Indonesia dari banyak jalur, baik jalur politik, kultural, jalur ekonomi dan jalur mistisisme. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia itu terbuka menerima pengaruh luar, baik dari sisi politik maupun pemikiran. Artinya, sebagai bangsa Indonesia kita memiliki budaya Nusantara yang cukup terbuka dan mengapresiasi hal-hal yang datang dari agama Islam.

Sementara masalah kedua terkait etnis Melayu yang menjadi identitas. Islam di satu sisi menjadi satu bagian dari kultural dari masyarakat Indonesia. Bila kita mengatakan seseorang itu orang Melayu, maka hampir dapat dipastikan bahwa ia adalah orang Islam. Jadi sebagian besar masyarakat Indonesia, identitas mereka adalah Islam. Artinya, Islam dapat dilihat sebagai agama dan juga bisa dilihat sebagai kultur. Nah, ini sebenarnya satu kekuatan bagi kebangkitan Islam. Karena ketika berbicara tentang Islam, bukan hanya pada level agama, tapi juga pada level kebudayaan, bahkan sudah berbicara tentang etnis.

Saya melihat karakteristik dan arah ini lebih pada upaya memanfaatkan Islam sebagai agama dan budaya dalam kebangkitan Islam. Sehingga kebangkitan Islam itu tidak hanya dipahami terjadi pada level agama, tapi juga masuk lebih dalam pada perubahan sosio-kultural masyarakat.

 Islam dan kebudayaan di tengah-tengah bangsa Indonesia tidak pernah berpisah dari awal, kecuali setelah datang Wahabi dan mencoba melakukan politisasi. Islam di Indonesia selama sebelum datangnya Wahabi hampir dikata tidak pernah terjadi persinggungan dan selalu menunjukkan sikap akomodatif satu sama lain. Ini dari sisi karakteristik Islam di Indonesia bila dihubungkan dengan kebankitan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Sementara bila di lihat dari arahnya, saya pribadi, arah kebangkitan Islam di Indonesia tidak mesti membentuk negara atau daulat Islam. Karena bisa ini menjadi masalah baru. Daulat Islam secara formal akan menjadi masalah baru bagi Indonesia. Jadi, kebangkitan Islam di Indonesia buat saya mestinya memberikan semangat agar dalam percaturan Islam di dunia Internasional punya pengaruh dan diperhitungkan dunia. Sebagai contoh, ketika bangsa Indonesia berbicara tentang Palestina, maka itu didengar oleh dunia. Untuk saat ini, kebangkitan Islam di Indonesia hendaknya lebih substantif, ketimbang yang formalitik. (IRIB Indonesia/SL/PH)