Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : ابنا
Minggu

17 Maret 2024

09.58.42
1445050

Ayatullah Ramezani:

Filosofi Puasa yang Sebenarnya adalah Untuk Mencapai Ilmu dan Cahaya Ilahi

Filosofi puasa yang sebenarnya adalah mencapai tahap ketakwaan Ilahi hingga akhirnya mencapai ilmu Tuhan dan kemudian cahaya Ilahi.

Menurut Kantor Berita Internasional ABNA, majelis akhlak yang dihadiri Sekretaris Jenderal Lembaga Internasional Ahlulbait as Ayatullah Reza Ramezani terselenggara pada Kamis (14/3),  di auditorium gedung Lembaga Internasional Ahlulbait as di Qom, Republik Islam Iran.

Filosofi puasa yang sebenarnya adalah mencapai tahap ketakwaan Ilahi

Pada awal pertemuan, dalam rangka mengawali bulan suci Ramadhan, Ayatullah Ramezani dalam penyampaiannya menyinggung tentang falsafah puasa dan mengatakan: “Kita harus melalui tahapan puasa lahiriah dan fikih, yang artinya syariat tidak bisa ditinggalkan sebab memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Semakin seseorang memperoleh ilmu dan mencapai puncak ilmu, maka semakin ia membutuhkan Tuhan. Filosofi puasa yang sebenarnya adalah mencapai tahap ketakwaan Ilahi hingga akhirnya mencapai ilmu Tuhan dan kemudian cahaya Ilahi. Kesalehan mempunyai tingkatan-tingkatan yang menimbulkan ciri-ciri pada subjeknya, dan semakin tinggi kemampuan tersebut maka semakin besar pengaruh subjek didalamnya.”

Pengaruh puasa: memberi kebijaksanaan, pengetahuan dan keyakinan

Ayatullah Ramezani membahas filosofi puasa dalam Hadits Mi'raj dan berkata: “Nabi Muhammad saw bertanya kepada Allah: "Ya Allah apakah kami mewarisi puasa?" Dia berfirman: “Puasa adalah warisan hikmah, hikmah adalah warisan ilmu, dan ilmu adalah warisan keyakinan. Dan apabila seorang hamba mencapai keyakinan, tidak menjadi soal baginya bagaimana ia menghabiskan siang dan malamnya. Jika manusia dibekali dengan senjata keyakinan, maka ia akan menjadi penakluk ladang luas.”

Sekretaris Jenderal Lembaga Internasional Ahlulbait as ini menambahkan: “Kita harus menggunakan puasa sebagai perisai, seperti yang dikatakan dalam hadis kita bahwa "puasa itu seperti perisai bagi seseorang, selama ia melakukannya, bukan menghancurkannya". Ada pula yang tidak mendapat manfaat dari bulan Ramadhan selain lapar, haus, atau bangun subuh; Meskipun bangun subuh membuat seseorang tunduk dan membawa kedamaian dan rezeki spiritual, namun hal itu saja tidak cukup.”

Puasa hati lebih baik dari pada puasa lidah

Dengan merujuk pada hadits Imam Ali as tentang puasa yang sebenarnya, Ayatullah Ramezani mengatakan: “Amirul Mukminin as berkata: “Puasa hati lebih baik dari puasa lidah, dan puasa lidah lebih baik dari puasa perut. Ada yang mungkin tidak bisa berpuasa perut, namun bisa berpuasa lidah dan hati, dan keberkahan Ramadhan akan didapat dari kedua hal tersebut. Puasa hati dan lidah, berbeda dengan puasa luar dan perut, tersedia bagi semua orang dan tidak ada seorang pun yang mempunyai alasan dalam hal ini.”

Puasa sejati dari sudut pandang Sayidah Zahra sa

Ayatullah Ramezani menambahkan: “Sayidah Fatimah az-Zahra sa berkata: "Apa yang hendak dilakukan oleh orang yang berpuasa dengan puasanya, padahal ia tidak menjaga lidah, telinga, mata, dan anggota badannya (dari dosa)? Hasil dari puasa yang benar adalah suasana hati yang baik dan kegembiraan, dan Allah juga akan menjawab doa orang tersebut dan bahkan mencatat tidurnya sebagai pahala. Guru saya, Allamaah Hasan Zadeh Amuli ra berpesan bahwa "manusia harus selalu berhati-hati terhadap apa yang masuk dan keluar dari dirinya.” yaitu jika masukan dari hati tidak dikendalikan, maka tidak mungkin mengontrol apa yang keluar dari lisannya. Lidah adalah salah satu bagian tubuh yang terhitung dosanya mencapai 200, dan terkadang dengan satu kata saja, ia menghancurkan seluruh tabungan pahala manusia.”