Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : ابنا
Rabu

13 September 2023

18.12.05
1393506

Wawancara ABNA dengan Aktivis Muhammadiyah:

Dari Safar Arbain, Kita Bisa Optimis, Persatuan Islam itu Sangat Mungkin

Dengan jumlah peziarah yang sangat banyak, saling injak dan bersenggolan sangat memungkinkan menjadi alasan untuk adu mulut atau adu fisik. Tapi saya melihat tidak ada yang demikian. Ini menunjukkan bahwa persatuan Islam menjadi sesuatu yang sangat mungkin, dan itu bisa terlihat di safar Arbain ini, semua saling membantu dan saling pengertian. Dan ini menaikkan citra positif Islam.

Menurut Kantor Berita ABNA, Syahrul Ramadhan Yusuf, MA, alumni Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, ikut terlibat di dalam Arbaeen Walk atau Longmarch Arbaeen tahun ini. Ia aktif membagikan aktivitasnya selama di rute Najaf-Karbala melalui akun media sosialnya. Seperti saat berziarah di Haram Imam Ali as, di Masjid Kufah, makam Kumayl bin Ziyad dan saat bersama pejalan kaki lainnya. Syahrul mahasiswa studi S3 Pemikiran Islam Kontemporer di Universitas Internasional Almustafa Tehran saat ini menjabat sebagai Ketua PCI Muhammadiyah Iran. 

Dalam wawancaranya dengan ABNA ia mengungkapkan keinginannya untuk bisa setiap tahun ikut dalam safar Arbain, karena menurutnya ia mendapat banyak pelajaran dari ritus tahunan dalam rangka memperingati Hari Arbain tersebut.

Berikut wawancara lengkap ABNA dengan aktivis Muhammadiyah kelahiran Surabaya ini:

Apa agenda safar arbain yang anda ikuti ini, program kampus atau keinginan pribadi anda sendiri?

Ini adalah keinginan saya sendiri. Bukan kewajiban atau program dari kampus. Kampus hanya memfasilitasi atau mempermudah, bukan memaksa. Karena ada beberapa teman yang tidak ikut, dan juga tidak jadi masalah. Yang ikut pun tidak lantas mendapatkan keistimewaan atau nilai khusus. Semua murni atas pilihan sadar saya sendiri. 

Apa alasan mendasar anda untuk ikut dalam safar arbain ini?

Alasana yang mendasar adalah mungkin sejauh ini kita selalu mendakwahkan mencintai Rasul dengan salawat, merayakan maulid, terus meneladani perilaku beliau, itu sudah menjadi dakwah yang umum. Yang belum atau masih kurang yang saya lakukan, adalah menumbuhkan kecintaan kepada keluarga Nabi, khususnya kepada Imam Husain sebagai cucu Nabi. Kita semua meyakini, bahwa Nabi Muhammad saw pernah bersabda, bahwa siapa yang mencintai kedua cucunya, Hasan dan Husain, maka Nabi akan mencintainya. Praktik-praktik mencintai cucu Nabi ini, di Indonesia lebih sering dilakukan komunitas muslim Syiah. Muslim non Syiah bukan berarti tidak mencintai, tapi mengekspresikannya melalui praktik-praktik yang sangat terbatas. Saya melihat safar Arbain dalam konteks itu. Di depan saya kemudian ada kesempatan, kesempatan yang mudah, dengan biaya yang murah, dan saya tidak memiliki halangan. Jadi tidak ada salahnya saya mengikuti agenda ini.

Apa anda sudah mengetahui sebelumnya mengenai safar arbain ini? dan seperti apa yang anda ketahui?

Saya sudah mengetahui, bahkan sebelum ke Iran. Karena safar Arbain ini bukan sesuatu yang asing, bagi mereka yang mendalami ilmu-ilmu agama termasuk yang mempelajari perbandingan mazhab. Safar Arbain ini sesuatu yang masyhur. Hanya saja, bagi masyarakat awam, memang masih kurang dikenali. Yang membuatnya kurang populer, menurut saya, karena praktik safar Arbain ini selama ini diketahui hanya terbatas di koumunitas muslim Syiah. Padahal sewaktu saya mengikutinya, ternyata jalan kaki dari Najaf ke Karbala, bukan hanya muslim Syiah yang ikut. Perlu diketahui juga, bahwa ini bukan hajinya orang Syiah, sebagaimana yang selama ini dipublikasikan di media, bahwa muslim Syiah itu tidak merasa perlu naik haji ke Mekah, sebab hajinya mereka ke Karbala. Padahal kenyataannya tidak demikian. Ini murni melakukan ziarah. Dan itu yang saya lihat dari orang-orang Iran dan orang-orang Irak yang saya temui di perjalanan ini. 

Nilai-nilai pelajaran apa yang anda dapatkan selama safar Arbain, baik dari sesama pejalan kaki, maupun dari warga setempat yang memberikan pelayanan kepada para peziarah?

Mungkin bagi muslim non Syiah, safar Arbain ini hanya tradisi, bukan bagian dari praktik keagamaan. Tapi yang saya liat begitu menakjubkan dari safar Arbain ini yang mungkin sulit kita temukan pada praktik keagamaan yang lain, adalah perkhidmatan. Mereka mau mengeluarkan segala yang mereka punya, dengan menyediakan tempat tidur, makan, termasuk yang unik-unik seperti reparasi sepatu, reparasi tas, bahkan ada yang membagikan buku. Ada pijat gratis, dan lain sebagainya. 

Di momen itu semua orang ingin berkhidmat kepada peziarah, dari anak kecil sampai orang tua. Saya tidak bisa membayangkan, jika dikalkulasi, berapa total dana yang telah mereka keluarkan. Itu yang menurut saya sulit ditemukan di tempat lain. Dan ini menurut saya, sangat bermanfaat bagi umat Islam. Muncul pemikiran saya pribadi, bisakah haji yang merupakan kewajiban syar’i di semua mazhab Islam, secara tekhnis dilakukan sebagaimana Arbain. Yaitu penduduk Mekah itu berkhidmat, sehingga jamaah haji tidak lagi memikirkan makan, penginapan buat tidur dan sebagainya. Bayangkan jika semua penduduk Mekah, dengan dasar kecintaan kepada Rasulullah saw dan kepada Baitullah, mereka berkhidmat sebagaimana perkhidmatan warga Irak pada momen Arbain. Padahal di Irak itu kan yang diziarahi adalah cucunya Nabi. Sementara kalau ke Mekah itu, yang diziarahi adalah rumah nabi dulu, tanah kelahirannya dan rumah Allah, seharusnya bisa lebih atau minimal setara, yaitu orang-orang yang ke sana mendapatkan makan dan tempat tidur gratis, sehingga biaya haji itu semestinya tidak sampai semahal sekarang. Ini menurut saya kritik internal umat Islam, yang bermanfaat untuk menjadi pelajaran.




Yang kedua, selama safar Arbain ini saya melihat luapan kecintaan yang luar biasa dari para peziarah maupun yang berkhidmat kepada peziarah kepada Imam Husain, cucu Nabi. Tentu mereka juga memiliki kecintaan kepada Imam Hasan. Namun karena ini momennya mengenang Imam Husain maka itu yang terlihat dari mereka. Kita pada umumnya di Indonesia, masih sangat minim mengenal kedua cucu Nabi ini. KIta mengenalnya hanya saat keduanya masih kecil, dan bermain bersama Nabi. 

Di safar ini, saya melihat ada orang yang telah lanjut usia, yang sudah begitu sulit berjalan tapi memaksakan diri berjalan, ada difabel juga dengan kursi rodanya, maupun memakai tongkat, ada yang jalan dengan tidak mengenakan alas kaki, dan saya melihat itu sebagai satu kecintaan besar. Dan kecintaan ini berasal dari pengetahuan mereka mengenai keutamaan cucu Nabi. Jika kita sering diperhadapkan dengan isu semakin keroposnya peran agama dalam kehidupan modern atau semakin sekulernya masyarakat beragama, namun di safar Arbain, saya melihat realitas yang berbeda. Orang-orang yang melakukan safar Arbain ini memperlihatkan bahwa mereka masih begitu terikat kuat dengan agama mereka. 

Menurut anda apa urgensinya safar arbain ini bagi syiar Islam maupun bagi persatuan Islam?

Memang fitnah masih terus ada ya. Namun kebenaran akan terkuak juga nantinya mengenai safar Arbain ini. Sebab saya menjadi saksi mata, bahwa yang hadir di safar Arbain ini bukan hanya orang Irak ataupun orang Iran saja. Saya bertemu peziarah dari Australia, dari Georgia, dari Azerbaijan bahkan dari Indonesia. Artinya safar Arbain ini menghilangkan sekat-sekat geografis, sekat-sekat mazhab bahkan agama. Dan dengan pertemuan banyak orang ini, dari banyak negara merupakan momen penting untuk saling mengenal dan saling memperat silaturahmi satu sama lain. Setahu saya, di safar Arbain ini dengan jumlah orang yang sangat banyak, dengan kehadiran laki-laki perempuan, saya mellihat tidak ada tindakan pelecehan seksual, tidak ada tindakan pemukulan, padahal dengan jumlah yang sangat banyak, saling injak dan bersenggolan sangat memungkinkan menjadi alasan untuk adu mulut atau adu fisik. Tapi saya melihat tidak ada yang demikian. Ini menunjukkan bahwa persatuan Islam menjadi sesuatu yang sangat mungkin, dan itu bisa terlihat di safar Arbain ini, semua saling membantu dan saling pengertian. Dan ini menaikkan citra positif Islam.

Apakah anda ingin kembali melakukan safar arbain di tahun-tahun mendatang, apa alasannya?

Tentu sangat masih ingin mengulanginya kembali. Tapi bergantung pada faktor-faktor yang bisa mempermudah saya melakukannya. Misalnya jika tahun depan saya masih berada di Iran, tentu lebih mudah melakukannya dengan pengeluaran biaya yang minim, dibandingkan jika berangkat dari Indonesia. Yang untuk biaya transportasinya jauh lebih besar. Jadi dari sisi niat, saya berniat untuk bisa melakukannya setiap tahun. 

Arbain adalah memperingati 40 hari haul Imam Husain, dan ini adalah haul terbesar di dunia. Tapi masyarakat Indonesia masih minim yang mengetahui mengenai hari arbain ini. Menurut anda mengapa ini bisa terjadi? dan apa yang harus dilakukan agar tradizi ziarah Arbain ini jadi lebih banyak dikenal masyarakat muslim terutama di Indonesia?

Ini adalah pekerjaan yang berat. Berat karena pengetahuan masyarakat Indonesia terhadap Imam Hasan dan Imam Husain yang minim. Bahkan pengenalan terhadap keduanya dan bagaimana keduanya syahid tidak masuk dalam pelajaran agama di sekolah. Kita hanya dikenalkan secara umum mengenai sejarah Islam, dari Khulafaur Rasyidin, Bani Ummayah dan bani Abbasiyah. Sementara peristiwa terbantainya Imam Husain, sangat minim dibahas. Namun meski berat, tetapi sangat mungkin untuk dilakukan, sebab kecintaan pada Imam Husain menjadi titik temu semua mazhab Islam. Semua mazhab Islam meyakini mencintai keluarga Nabi termasuk cucu Nabi, yaitu Imam Husain adalah kewajiban syar’i. Jadi melalui kecintaan itu, safar Artbain ini bisa diterima semua kalangan. Untuk memperkenalkan Ziarah Arbain ini, tentu perlu peran media. Kenyataan bahwa yang berpartisipasi dalam safar Arbain ini bukan hanya dari muslim Syiah saja, adalah kenyataan yang akan membuat safar Arbain ini akan lebih banyak diikuti peziarah di tahun-tahun mendatang. 

Terimakasih atas waktu anda. 

Sama-sama

----

Tanggal 20 Safar, yang tahun ini jatuh pada hari Rabu, 6 September 2023 menjadi puncak peringatan Hari Arbain oleh Umat Muslim dan pecinta Ahlul Bait as di seluruh dunia.

Arbain adalah peringatan mengenang 40 hari Kesyahidan Imam Husain as, Cucu tercinta Baginda Nabi Muhammad Saw yang dibantai bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya oleh pasukan Yazid di padang Karbala pada tanggal 10 Muharram 61 H.

Peristiwa pembantaian Imam Hussein as, keluarga dan para sahabatnya pada 10 Muharam 61 Hijriah dikenal sebagai Tragedi Asyura. Meski telah berlalu berabad-abad, namun peristiwa heorik itu tidak pernah berkurang urgensi dan kedudukannya, bahkan semakin berlalu, pesan Asyura justru semakin tersebar luas.

Kebangkitan Imam Hussein as melawan pemerintahan tiran Yazid bertujuan untuk menjaga kelangsungan agama Islam yang terkena erosi kerusakan di berbagai sendi kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, motivasi perjuangan Imam Husein demi menjaga kesucian Islam dari berbagai penyimpangan yang dilakukan penguasa lalim di masanya.

Imam Husein as bangkit melawan Yazid bin Muawiyah bukan karena menghendaki kekuasaan, tapi karena ketulusannya membela ajaran agama Islam dan mengembalikan umat kakeknya dari berbagai penyimpangan ke arah Islam murni, yaitu Islam Muhammadi Saw.

Dalam rangka memperingati Hari Arbain, umat Islam khususnya umat Islam Syiah menziarahi makam Imam Husain as dengan berjalan kaki. Bagi penduduk Irak mereka ke kota Karbala diawali dari kota-kota tempat tinggal mereka sehingga jarak yang mereka harus tempuh mencapai ratusan kilo meter. Sementara peziarah asing, biasanya memulainya dari Najaf ke Karbala dengan jarak sekitar 90 km. Tradisi berjalan kaki ini tidak hanya diikuti warga muslim Syiah, umat Islam non Syiah juga ramai mengikutinya termasuk dari penganut agama lain. 

Sepanjang rute perjalanan menuju Karbala, warga setempat mendirikan tenda-tenda peristrahatan. Di tenda-tenda yang sediakan secara gratis buat peziarah beristrahat tersebut, warga setempat juga menyajikan dan membagikan makanan gratis.