Menurut Kantor Berita ABNA, dalam rangka memperingati wafatnya Imam Khomeini yang ke 34 tahun ini, redaksi ABNA menurunkan hasil wawancara dengan Prof. Dr. Abad Badruzaman, Lc., M.Ag Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Penulis dan penerjemah puluhan buku keislaman ini adalah guru besar yang ke-18 dan sekaligus guru besar pertama bidang ilmu Tafsir di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung setelah dikukuhkan pada tahun 2021 silam. Abah panggilan akrabnya, mendapat gelar guru besar setelah menyampaikan orasi ilmiah, “Dialektika Al-Qur’an an Sejarah: Kajian atas Historisitas Makkiyyah-Madaniyyah dan Asbab al-Nuzul”.
Sejak kapan anda mengenal Imam Khomeini dan melalui apa?
Saya lupa persisnya kapan mengenal sosok Imam Khomeini. Tapi, kurang lebih seingat saya, saya mengenalnya di kisaran tahun 90-an ketika saya duduk di bangku Aliyah (1989-1992). Saya mengenalnya melalui beberapa buku, terutama karya-karya Alm. Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal). Masa-masa itu saya memang sedang gandrung-gandrungnya pada pemikiran progresif-revolusioner, dan dalam banyak karyanya Kang Jalal, seperti kita tahu, menawarkan pemikiran serupa itu.
Gus Dur pernah mengatakan Imam Khomeini adalah wali abad ini. Apa anda setuju? dan menurut anda mengapa Gus Dur mengatakan itu?
Saya tidak tahu persis kapan dan dalam konteks apa Alm. Gus Dur mengatakan demikian. Jika benar beliau mengatakan begitu, maka saya cukup sepakat dengannya. Bahwa Imam Khomeini merupakan salah satu wali abad ini. Tentu saja, kata "wali" di sini dalam pengertian yang saya pahami. Yaitu wali dalam arti seorang tokoh kharismatik dan visioner yang memiliki pengaruh dan kekuatan yang nyata dalam mengubah "tatanan" bangsanya lalu mengarahkannya pada tatanan yang diyakininya benar berdasar nilai-nilai ketuhanan dan keumatan.
Saya rasa, yang dimaksud oleh Gus Dur pun demikian. Yaitu bahwa Imam Khomeini adalah wali bukan dalam terminologi sufistik, melainkan lebih bernuansa sosial-politik dan keumatan dalam konteks bangsa Iran dengan segala dinamikanya saat Sang Imam berhasil menghembuskan revolusi Islam kala itu. Namun begitu, tidak tertutup kemungkinan juga Sang Imam adalah juga seorang wali dalam pengertian keagamaan-sufistik.
Menurut anda layakkah revolusi yang dipimpin Imam Khomeini di Iran disebut revolusi Islam? menurut anda apa bedanya dengan revolusi-revolusi lain di dunia?
Setidaknya saya percaya bahwa Revolusi itu mengusung dan memperjuangkan nilai-nilai yang diyakini sebagai nilai-nilai universal Islam tentang keadilan, kesetaraan, kemerdekaan dan kesejahteraan.
Secara substansi semua revolusi mengusung nilai perjuangan yang sama. Yang membedakan hanya kekhasan-kekhasan tertentu suatu bangsa di mana revolusi berkobar dan berhasil menumbangkan kekuatan lama. Kekhasan itu bisa berupa adat-istiadat, budaya dan agama. Namun demikian, revolusi sering menggali dan mengangkat nilai-nilai luhur dari adat-istiadat, budaya dan agama untuk dijadikan "bahan bakar"-nya.
Apa revolusi Islam Iran memberi pengaruh pada umat Islam di Indonesia? dalam bentuk apa? Dan menurut anda apa pemikiran Imam Khomeini yang relevan bagi umat Islam di Indonsia dan layak untuk diterapkan?
Jelas memberi pengaruh. Hanya saja harus dipilah: umat Islam segmen yang mana, dan dalam hal apa.
Saya kira tidak semua segmen atau elemen umat Islam Indonesia terpengaruh oleh Revolusi Islam Iran (RII). Pertama, belum tentu semua umat Islam tahu tentang RII. Paling-paling segmen tertentu saja yang mengetahuinya, yaitu--sebut saja--kalangan terdidik-terpelajar. Itu pun mungkin generasi 70-90 an. Generasi belakangan saya kira sedikit yang mengenal atau tahu tentang RII.
Kedua: keterpengaruhan kalangan terdidik-terpelajar umat Islam Indonesia oleh RII itu dalam hal apa? Hemat saya, keterpengaruhannya itu pada tataran pemikiran. Artinya. mereka terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran progresif-revolusioner para tokoh dan aktor intelektual yang ada di belakang RII itu, seperti Imam Khomeini dan Ali Shariati.
Bagi Anda yang seumuran saya dan agak melek percaturan pemikiran keislaman, baik lokal maupun global, mungkin bisa sepakat bahwa tahun 90-an merupakan "golden era" pemikiran keislaman. Dikatakan "era emas" karena kala itu belantara pemikiran keislaman sangat kondusif; mekar, bertumbuh dan warna-warna tanpa adanya resistensi berlebihan.
Di tingkat global, saat itu, kita disuguhi beberapa pemikir Muslim dari Iran. Beberapa nama dapat ditunjuk: Ali Shariati, Murtadha Muthahhari, Rafsanjani, Mohammad Ali Taskhiri, dan tentu saja Imam Khomeini. Kala itu, stigma bahwa Syiah sesat bukannya tidak ada. Tapi ketika nama-nama itu dikaji pemikirannya, yang mencuat bukan Syiah atau Iran, melainkan pemikiran-pemikiran progresif-revolusioner.
Membaca karya-karya Ali Shariati misalnya, kita disajikan elemen-elemen revolusioner dalam Islam. Bahwa Islam adalah kekuatan pembebas, alih-alih sebagai agama yang menganjurkan zuhud pasif yang menarik diri dari gelanggang kehidupan. Trio: Firaun-Qarun-Haman ditunjuk sebagai lambang tiga kekuatan thagut yang sering bahu-membahu; tirani politik-ekonomi-agama.
Membaca buku Shariati tentang haji, hati dan nalar kita secara bersamaan dibetot menyusuri lorong-lorong spiritualitas, lalu ditarik keluar melongok kehidupan sosial. Shariati berhasil menunjukkan bahwa seluruh rangkaian haji sarat akan pengalaman spiritual plus pesan-pesan sosial yang amat-sangat kental.
Di tahun-tahun itu, foto Imam Khomeini dengan tatapan kharismatiknya juga cukup mudah ditemukan di kost-kost mahasiswa, di rumah-rumah sewaan para aktivis. Pada diri beliau mereka menemukan makna perjuangan kaum tertindas yang berhasil menumbangkan arogansi penindas yang disokong kekuatan adi-daya sekalipun.
Stigma bahwa Syiah sesat, kala itu bukannya tidak ada. Tapi tokoh-tokoh dari Iran tersebut tampil memukau dalam menjelaskan Islam sebagai ajaran yang pro-pembebasan, kemerdekaan, keadilan, dan kesetaraan. Revolusi Islam Iran memberi bukti bagi makna-makna revolusioner itu. Kalau tidak salah, Imam Khomeini pernah mengkritik ulama yang tidak peduli nasib umat sebagai "Ulama haid dan nifas”.
Presiden Raisi baru saja dari Indnesia. Menurut anda apa yang perlu ditingkatkan kerjasama antara Iran-Indonesia dan apa harapan anda?
Pertama, Kerjasama politik luar negeri: Mendorong negara-negara di kawasan untuk secara aktif terlibat dalam pembahasan-pembahasan masa depan perdamaian Timur Tengah. Dalam hal ini terutama menyangkut nasib bangsa dan negara Palestina.
Kedua, Kerjasama ekonomi : Saya tidak banyak paham bidang ini. Saya hanya percaya bahwa masing-masing memiliki sumberdaya dan kekuatan ekonomi yang dapat dikerjasamakan dalam kerangka hubungan bilateral yang saling percaya dan saling menguntungkan.
Harapan saya. Bagi beberapa kalangan, bicara soal Iran tidak dapat dilepaskan dari soal mazhab keagamaan, yakni Syiah. Maka hubungan baik dan kondusif antara Indonesia dan Iran, kiranya dapat menjadi salah-satu pintu bagi terbukanya diskusi tentang mazhab-mazhab dalam Islam. Diskusi sebisa mungkin dibalut suasana persaudaraan serta penerimaan terhadap keragaman, dalam nafas persatuan.
Terimakasih atas waktunya.
——
Ayatullah Sayid Ruhullah Musavi Khomeini yang lahir pada 17 Mei 1900 adalah Pemimpin Agung Iran dan salah satu ulama Marja Syiah yang memimpin revolusi Iran dan setelah itu mendirikan Republik Islam melalui referendum dan memimpinnya sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 3 Juni 1989. Setiap tanggal wafatnya, oleh rakyat Iran maupun pengagum dan pecintanya di seluruh dunia menggelar majelis haul untuk memperingatinya. Prosesi pemakamannya yang melibatkan sepuluh juta lebih rakyat Iran tercatat sebagai pemakaman terbesar sepanjang sejarah.