Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : ابنا
Minggu

11 September 2022

03.49.39
1305015

Wawancara dengan Dr. Muhsin Labib:

Membangun Pola Dakwah yang Menghargai Mayoritas Harus Terus Dijaga dan Dipraktikkan secara Kolektif

Terkait kecintaan dan pengagungan pada Habaib sebagai bagian dari masyarakat Indonesia membuat Syiah otomatis diterima, ya tidak juga. Sebab kecintaan pada Ahlulbait bukan hanya di Indonesia, di Mesir juga ada, tapi penentangan terhadap Syiah juga ada. Membangun pola dakwah yang menghargai mayoritas, ini yang harus dijaga komunits Syiah di Indonesia dan harus dipraktikkan secara kolektif dan penuh kesadaran.

Menurut Kantor Berita ABNA, Sidang Ketujuh Majelis Umum Lembaga Internasional Ahlulbait as telah digelar dari Kamis (1/9) dan ditutup pada Sabtu (1/9) di Tehran, ibukota Republik Islam Iran. Sidang ketujuh Majelis Umum ini melibatkan 300 lebih peserta dari 115 lebih negara, termasuk dari Indonesia. 

Dr. Muhsin Labib cendekiawan muslim Indonesia diantara peserta yang berasal dari Indonesia. Reporter ABNA berhasil mengambil wawancara dengan dosen filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Sadra Jakarta ini. 

Dalam wawancara tersebut, Dr. Muhsin Labib menyebutkan karakteristik dan kekhasan pengikut Ahlulbait di Indonesia yang membedakannya dengan negara lain. 

Berikut teks lengkap wawancara dengan intelektual muslim yang mengambil gelar doktor filsafatnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:

ABNA: Ini kehadiran yang keberapa kali anda dalam Sidang Majelis Umum Lembaga Internasional Ahlulbait as?

Dr. Muhsin Labib: Ini untuk pertamakalinya saya diundang oleh lembaga ini dan tampaknya saya hanya sebagai delegasi tambahan sebab pada dasarnya saya bukan bagian resmi dari organisasi ini. Konferensi-konferensi semacam ini yang bertema keagamaan itu banyak, terutama digelar secara internasional, namun saya secara pribadi tidak tahu bagaimana kriteria orang-orang yang diundang. Kalau majma ini secara umum adalah lembaga yang sengaja dibuat untuk mengkonsolidasi tokoh-tokoh Ahlulbait yang dianggap berpengaruh di seluruh dunia baik dari negara-negara yang komunitas Syiahnya organik, sejak awal sudah ada, meski tidak mayoritas seperti di Pakistan, India dan lainnya. Atau komunitas Syiah yang menjadi minoritas tapi di tengah-tengah masyarakat non muslim, seperti di Kanada, di negara-negara Eropa, atau muslim Syiah diminoritas masyarakat muslim Sunni. Nah, delegasi Indonesia termasuk kategori yang ketiga ini. Hanya saja keterwakilan kita sangat kurang, padahal Indonesia adalah negara yang sangat besar, baik secara luas wilayah tiga kali lipat Iran termasuk jumlah penduduknya. 

ABNA: Menurut anda sejauh mana Lembaga Internasional Ahlulbait as telah menjalankan misinya dan apakah program-program yang telah dijalankan memberi efek luas terhadap semakin dikenalnya mazhab Ahlulbait as di seluruh dunia?

Dr. Muhsin Labib: Saya bisa dibilang masih baru di lembaga ini, dan bukan termasuk anggota tetap, sehingga saya belum punya cukup pengalaman yang bisa saya jadikan data untuk menilai. Tapi dari pengamatan saya, terhadap banyak konferensi dan pertemuan-pertemuan dengan tema-tema yang beragam dan tematik, saya melihat pertemuan ini semacam silaturahmi dan memberi kesempatan kepada peserta untuk bertemu dengan Ayatullah Sayid Ali Khamanei, mencerap aura dan hikmah-hikmah yang disampaikannya sekaligus mendapat kesempatan menziarahi Imam Ridha as di Masyhad. Mengenai efektif tidaknya keberadaan lembaga ini, saya melihat, adanya lembaga ini atau tidak, kita semua sudah sadar taklif, baik sebagai individu atau sebagai komunitas. Kita kan selama ini berjalan secara natural dan telah menyampaikan juga problem dan tantangan dakwah kita, yang memang setiap negara memiliki tantangan problem masing-masing. Itu juga lembaga ini tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali dalam bentuk bantuan anggaran yang tidak besar, karena mereka juga sedang mengalami masalah dengan embargo yang mereka hadapi. 

Menurut saya kita harus bergerak, dan berharap komunitas punya ciri keindonesiaan yang khas dan mandiri, dan saya telah menekankan dalam aspek ini. Jadi kita bukan lagi berbicara tentang keluhan, perlu bantuan atau yang lain, tapi yang kita sampaikan, adalah apa yang bisa kita lakukan. Bahkan usulan-usulan tekhnis dalam kongres tersebut, rasanya kita sudah lakukan semua. Seperti misalnya melakukan pengkaderan dan penataran-penataran, yang semua itu telah kita lakukan dari dulu. Bahkan secara ekspilisit ada pengakuan, yang paling rapi manajemen keorganisasiannya adalah Indonesia. Pada intinya, secara umumnya pertemuan ini lebih banyak aspek spritualnya dibanding aspek intelektualnya. Sebab pembahasan yang sedemikian banyak dan rumit tidak bisa dibicarakan hanya dalam tempo 2-3 hari, sehingga dengan waktu yang sedemikian terbatas tersebut terkendala dengan pemberian jatah waktu yang bicara yang kadang tidak proporsional. Meskipun saat persiapan, perencanaan untuk setiap agenda tampak begitu rapi, namun di lapangan sulit terwujud secara maksmial.

ABNA: Menurut anda mengapa idiom Ahlulbait ini perlu diperkenalkan dan apakah tidak cukup dengan penyebutan Islam saja?

Dr. Muhsin Labib: Sebetulnya untuk konsolidasi sesama umat Islam, mereka sudah punya lembaganya tersendiri, namanya Majma Tagrib, sementara lembaga ini khusus untuk konsolidasi sesama pengikut Ahlulbait, dan ini sah-sah saja. Menurut saya ketika lembaga ini bertujuan memperkenalkan mazhab Ahlulbait, tentu ini tujuan yang mulia, asal saja tidak dimaksudkan agar sengaja berdakwah untuk mengajak dan menjadikan orang lain menjadi Syiah. Saya berkali-kali menyampaikan, bahwa Syiah di Indonesia itu beda dengan Syiah pada umumnya di negara lain. Pertama Syiah di Indonesia itu bukan Syiah sejak lahir, tidak sebagaimana Syiah organik di Iran, Pakistan yang memang lahir di lingkungan keluarga muslim Syiah. Kedua, umat muslim Syiah di Indonesia itu hidup minoritas di tengah umat muslim Sunni, yang jumlahnya sangat banyak. Beda dengan di Kanada dan negara-negara Eropa yang komunitas Syiahnya hidup di tengah umat non muslim. Ketiga, mayoritas Syiah di Indonesia itu menjadi Syiah dipengaruhi oleh Revolusi Islam Iran. Sehingga pendekatan kesyiahan kita bersifat keintelektualan dan semangat keberislaman yang revolusioner. Inilah yang membuat muslim Syiah di Indonesia sulit untuk dihitung populasinya. Sebab apa setiap yang mengaku Syiah apa perlu diregistrasi atau perlu ada membershipnya?. Sehingga setiap ada pertanyaan, berapa jumlah Syiah di Indonesia? ini adalah pertanyaan yang paling repot dijawab. Sebab menyebut satu juta jiwa, juga rasanya tidak sampai. Karena itu Syiah di Indonesia tidak pernah peduli dengan target kuantitatif, sebab sejak awal kita tidak pernah berupaya mensyiahkan muslim Sunni. Di tengah mayoritas umat Sunni, kita hanya berusaha bagaimana agar kita yang minoritas bisa diterima dan hidup bersama secara harmonis. 

Sebelum insiden 911, umat muslim Syiah di Indonesia itu cukup diterima, bahkan dihormati dengan dianggap sebagai khazanah keilmuan yang megah.  Tapi sejak munculnya gelombang takfirisme, kelompok mayoritaspun cukup terpengaruh dengan stigma sesat yang secara massif disematkan pada kelompok Syiah. Sehingga tentu dengan ini, upaya mensyiahkan menjadi tidak realistis, sehingga yang diperlukan hanya bagaimana agar pihak lain menerima kehadiran kita sebagai Syiah. Untuk mengaku diri sebagai muslim Syiah di Indonesia resikonya cukup besar, karena itu sangat sedikit yang terbuka mengakui dirinya Syiah. Ini tidak lepas dari upaya global yang ingin menjauhkan Iran dari dunia Islam. Iran yang mayoritas Syiah disesatkan bahkan dikafirkan, sehingga oleh negara-negara Islam yang merupakan proxy AS menjadikan Iran sebagai musuh bersama. Target besarnya adalah menggantikan musuh bersama umat Islam yang sebelumnya Israel menjadi Iran. Setelah Syiah disesatkan dan dikafirkan maka langkah selanjutnya menimpa Syiah dengan timpukan fitnah. Sebab menurut mereka, memfitnah mereka yang sesat dan kafir untuk dimusuhi itu berpahala. Disebarlah secara massif berita-berita hoax mengenai Iran dan Syiah untuk menyulut kebencian dan permusuhan pada keduanya. Kendala inilah yang dihadapi komunitas muslim Syiah di Indonesia. 

Disinilah ketidaksinkronan kita dengan pihak-pihak yang mengukur keberhasilan dakwah dan berkembangnya Syiah di Indonesia dengan seberapa banyak jumlah hauzah dan seberapa banyak yang hadir dalam majelis-majalis pengajian Ahlulbait. Dan ini pemikiran yang materialistik. Buat apa kita berkembang secara kuantitatif tapi secara kualitatif tidak. Kan percuma?. Yang seharusnya menjadi parameter adalah outputnya, yaitu seberapa banyak yang telah kita hasilkan buat kemanusiaan dan sosial, seberapa banyak orang-orang yang telah kita kader untuk hadir memberi kontribusi di lini-lini penting masyarakat kita. Inilah yang seharusnya diukur bahwa sejauh mana kita telah terintegrasi dengan masyarakat. 

Yang juga ingin saya sampaikan, bahwa umat Islam Syiah di Indonesia menghadapi dua tantangan. Tantangan internalnya yaitu yang didapat dari sesama masyarakat, Syiah mendapat penyesatan. Sehingga yang dikenal atau mendapat stigma Syiah akan sulit berkembang di tengah-tengah masyarakat. Tantangan eksternalnya, dan ini lebih berat, sebab berhadapan dengan pemerintah, yaitu Syiah dituduh sebagai gerakan transnasional. Tuduhan ini harus dijawab tidak hanya secara naratif, tapi juga aplikatif. Dan harus dikerjakan bersama-sama dan terorganisir, tidak bisa sendiri-sendiri. Suka tidak suka kita harus memiliki etalase kehadiran yang bersifat kolektif, terorganisir dan sistematis. Salah satu caranya adalah menunjukkan sikap kita terhadap isu-isu kenegaraan dan kebangsaan yang harus satu. Seperti mengklarifikasi kesalahpahaman mengenai Wilayatul Fakih dan sebagainya. 

Karena itu, ada atau tidaknya Lembaga Internasional Ahlulbait ini, kita harus menyusun identitas keindonesiaan kita sendiri. Iran itu sebuah negara, dan kita sebagai warga negara Indonesia, bukan menjadi bagian dari Iran. Keterikatan kita dengan Iran itu karena otoritas keagamaan yang kita yakini kebetulan berada di Iran dan keyakinan kita itu tidak ada kaitannya dengan struktur politik Iran sama sekali. Sebab otoritas keagamaan yang berada di Iran juga tidak berada di bawah pemerintah Iran. 

ABNA: Terkait dengan tema Sidang Ketujuh Majelis Umum Lembaga Internasional Ahlulbait as, “Ahlulbait: Poros Rasionalitas, Keadilan dan Kemuliaan” menurut anda mengapa tema ini perlu diangkat dan relevankah dengan kebutuhan dunia saat ini terutama bagi umat Islam?

Dr. Muhsin Labib: Ya tentu saja ini tema yang sangat bagus. Cuman alasan filosofisnya ya kita tidak mengetahui detail, sebab kita tidak termasuk yang menyusunnya. Namun tentu narasi-narasi rasionalitas, keadilan dan kemuliaan adalah narasi yang diperlukan dunia saat ini. Dan kita tentu berharap bahwa itu tidak berhenti hanya pada narasi saja, tapi juga bagaimana mengimplementasikannya. Misalnya, dalam membangun kesadaran rasionalistik, yaitu bagaimana kita harus menjauhkan diri pada hal-hal yang bersifat khurafat dan kisah-kisah yang tidak tepat dengan semangat rasionalitas yang dibangun Murtadha Muthahari, Ayatullah Jawadi Amuli dan Allamah Thabathabai harusnya tidak lagi tidak tersebar di kalangan komunitas.

ABNA: Terakhir, kecintaan dan penghormatan umat Islam Indonesia pada Ahlulbait as sangat tinggi dan itu bisa kita lihat pada pengagungan dan penghormatan yang dilakukan pada masyarakat muslim pada kalangan Habaib di Indonesia. Menurut anda apakah itu merupakan peluang ajaran Ahlulbait as yang selama ini didakwahkan kelompok Syiah bisa diterima di Indonesia dan memang tidak akan menjadi ancaman bagi kerukunan umat dan keutuhan NKRI?.

Dr. Muhsin Labib: Syiah tidak akan pernah menjadi ancaman, selama caranya bagus dan menyadari diri sebagai minoritas. Terkait kecintaan dan pengagungan pada Habaib sebagai bagian dari masyarakat Indonesia membuat Syiah otomatis diterima, ya tidak juga. Sebab kecintaan pada Ahlulbait bukan hanya di Indonesia, di Mesir juga ada, tapi penentangan terhadap Syiah juga ada. Membangun pola dakwah yang menghargai mayoritas, ini yang harus dijaga dan harus dipraktikkan secara kolektif dan penuh kesadaran.  

ABNA: Terima kasih telah memberi kami waktu berharga Anda untuk wawancara ini.