Menurut Kantor Berita ABNA, KH. Luthfi Hakim, MA, Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR) Jakarta dalam pertemuannya dengan Hujjatul Islam DR. Barati pimpinan Lembaga Penelitian dan Pembelajaran Singkat Universitas Al Mustafa Qom di ruang kerjanya, ahad (23/2) menyatakan suka citanya akan keberadaannya di Iran. Beliau berkata, “Kami sangat berterimakasih atas undangan pihak Universitas, sehingga kami bisa berada di Iran, khususnya di kota Qom ini. Bisa mejalin silaturahmi dengan para ulama di sini dan melihat secara langsung aktivitas keilmuan para pelajar. Adalah kehormatan bagi kami, telah disambut sedemikian rupa, dan kami berharap dengan adanya silaturahmi seperti ini bisa mempeerat ukhuwah Islamiyah antar umat Islam.”
Tokoh Betawi yang juga pengasuh Pondok Pesantren Ziyadatul Mubtadi-ien tersebut dalam lanjutan penyampaiannya mengatakan, “Kedatangan saya disini mengatasnamakan Forum Betawi Rempug, yang memiiki anggota kurang lebih lima ratus ribu orang. Suku Betawi adalah penduduk inti kota Jakarta yang merupakan ibukota negara Indonesia. Yang alhamdulillah, sebuah kebanggaan bagi kami, semua masyarakat Betawi seratus persen adalah muslim, dan tidak seorangpun yang bukan muslim. Dan kultur dan tradisi keagamaan masyarakat Betawi sangat dekat dengan tradisi Syiah. Seperti kami juga mengadakan tahlilan, mauludan, tawassulan, Yasinan, dzikir berjamaah, ziarah kubur dan sebagainya, sehingga kami tidak memiliki alasan sedikitpun untuk phobia dengan ajaran Syiah.”
“Rempug itu dalam bahasa Betawi artinya bersatu, kompak dan solid. Dan tujuan FBR dalam skala luas adalah menjalin persaudaraan dan persatuan dengan sesama muslim. Karenanya FBR menyambut baik ajakan-ajakan dan seruan persatuan Islam” tambahnya lagi.
Ust. Muhammad Aziz Ghozay Dosen UIN Jakarta yang juga bergabung dalam FBR yang saat itu mendampingi KH. Luthfi Hakim menambahkan, “Dalam buku-buku pelajaran agama yang diajarkan kepada kami di sekolah-sekolah sangat sedikit mengenai Syiah , dan itupun banyak manipulasinya. Sehingga pengenalan kebanyakan kami yang Sunni mengenai Syiah khususnya Syiah Itsna Asyariah sering kali salah kaprah. Kami termasuk beruntung dan bersyukur bisa ke Iran, sehingga lewat ziarah dan silaturahmi ini, kami bisa mengenal mazhab Syiah lebih baik, sehingga bisa lebih mempermudah proses taghrib (pendekatan) antar mazhab.”
“Terung terang, keinginan untuk bisa ke Iran itu sudah ada sejak 8 tahun lalu, dan alhamdulillah hari ini, impian tersebut bisa terwujud.” Lanjutnya yang disahuti dengan bacaan shalawat oleh beberapa ulama dan muballigh Iran yang hadir.
Hadir juga dalam pertemuan tersebut, Sayyid Ali al Hamid dan Sayyid al Idrus yang memperkenalkan diri dari Front Pembela Islam (FPI) Jakarta. Sayyid al Idrus dalam pengantarnya sembari memperkenalkan FPI, mengatakan, “FPI adalah salah satu ormas Islam di Indonesia yang beranggotakan kurang lebih 8 juta orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Meskipun secara tegas kami memiliki sikap dan pendirian sendiri, namun kami tetap membuka ruang dialog selebar-lebarnya dengan siapapun, termasuk dari saudara-saudara muslim kami dari kalangan Syiah. FPI sebagaimana ditegaskan oleh Habib Rizieq Shihab pimpinan kami, bahwa FPI mendukung sepenuhnya hasil pertemuan di Qatar mengenai persatuan Islam, khususnya antara Sunni dan Syiah. FPI punya sikap tegas, bahwa dalam mewujudkan persatuan Islam, umat Syiah tidak boleh menciderai dan melakukan pelecehan terhadap keyakinan dan simbol-simbol yang diagungkan umat Sunni, demikian pula sebaliknya. Karenanya melalui kedatangan kami disini, kami sampaikan harapan kami, bahwa dengan silaturahmi semacam ini, kesepahaman bisa terwujud.”
Sementara Sayyid Ali al Hamid dalam penyampaiannya lebih banyak menyinggung keberadaan kelompok takfiri di Indonesia yang menurutnya sudah sampai pada level mengerikan. “Keberadaan kelompok takfiri dan semua fitnah-fitnah yang mereka sebar tidak bisa didiamkan. Kalau beberapa tahun sebelumnya mereka hanya pada tingkat mengecam dan melaknat dengan kata-kata kasar kepada yang mereka anggap kafir dan sesat, sekarang mereka bahkan sudah pada level melakukan aksi kekerasan dan pembunuhan. Salah seorang yang telah menjadi korban kebengisan mereka, adalah kakak kelas saya di pesantren dulu. Dan FPI secara tegas mengecam tindakan-tindakan semacam itu.”<!--[if !supportLineBreakNewLine]--><!--[endif]-->
Dalam penjelasalannya lebih lanjut, tokoh pemuda FPI Jakarta tersebut mengatakan, “Kami di FPI membedakan antara Wahabi dan Takfiri, meskipun banyak yang menyamakan keduanya. Bagi kami tidak semua Wahabi itu takfiri. Takfiri adalah bentuk sikap yang getol dan sedemikian mudah mengkafirkan muslim lain hanya karena alasan berbeda pandangan. Dan itu bisa berada dimazhab dan kelompok mana saja. Sangat kami sayangkan, sampai sekarang umat Islam masih berkutat dan disibukkan dengan persoalan intern beda sunni dan syiah, hukum tahlilan, mauludan dan sebagainya, sementara musuh-musuh Islam semakin menggerogoti kita. Karenanya yang harus dilakukan sekarang adalah percepatan untuk terwujudnya persatuan Islam melalui upaya-upaya pendekatan mazhab. Dan apa yang kami lakukan ini, jauh-jauh dari Indonesia ke Iran adalah salah satu upaya itu.”
Hujjatul Islam DR. Barati mengamini apa yang disampaikan para tamunya. Dalam kesempatan tersebut beliau turut bahagia dan menyampaikan terimakasih atas kesediaan K.H Luthfi beserta rombongan untuk memenuhi undangan mereka. “Lembaga yang kami kelola ini adalah bagian dari Universitas al Mustafa. Kami telah banyak kedatangan peneliti dan mahasiswa dari berbagai negara dan latar belakang. Kami menyediakan fasilitas untuk mereka melakukan penelitian dan belajar singkat di lembaga kami ini. Ada yang berlatar belakang muslim, kristiani bahkan atheis. Ditempat ini mereka mengadakan penelitian, dan kami menyediakan fasilitas penginapan, konsumsi, menyediakan bahan-bahan referensi, dosen, bahkan mengajak untuk mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Iran yang kesemuanya kami fasilitasi secara gratis.”
“Undangan kami untuk bapak-bapak yang terhormat, sekedar untuk pengenalan saja. Dan kami harap, dihari selanjutnya ada kerjasama dan kerja-kerja signifikan yang bisa kita lakukan untuk saling lebih mengenal dan mendekatkan diri. Kebanyakan permusuhan dan kebencian itu lahir karena tidak adanya upaya untuk saling mengenal. Kami di Iran membuka diri, untuk dikunjungi dan dipelajari secara dekat.” Lanjutnya.
Beliau melanjutkan, “Pelu kami sampaikan, lembaga kami ini bukan lembaga dakwah, melainkan lembaga penelitian dan belajar bersama. Kami hanya menyediakan fasilitas untuk kita bisa belajar bersama. Sama sekali dalam benak kami tidak ada upaya untuk mensyiahkan orang-orang sunni atau mengislamkan mereka yang non muslim. Yang kami lakukan adalah memberi ruang untuk mereka mengenal sendiri Islam dan kebenaran itu.”
Ketika ditanya oleh Sayyid Ali al Hamid, apakah lembaga penelitian Universitas al Mustafa juga menerima orang-orang Wahabi yang nota benenya memusuhi Syiah. Hujjatul Islam DR. Barati mengemukakan jawabannya, “Ya ada dari kalangan mereka yang datang memenuhi undangan kami. Tapi sangat sedikit sekali, khususnya dari Arab Saudi. Mereka lebih melihat ajakan dan undangan kami adalah upaya untuk mencuci otak mereka sehingga kemudian menjadi Syiah. Menjadi sunni ataupun syiah adalah pilihan sendiri yang harus dihormati.”
“Saya juga termasuk dalam anggota lembaga pendekatan mazhab-mazhab Islam, dan semasa masih hidup, kami pernah mengundang Syaikh Bin Baz untuk mengunjungi Iran. Namun beliau tidak pernah mau memenuhi undangan kami. Sampai pada akhirnya, kami yang bersilaturahmi ketempat beliau. Sayang, kami tidak mendapat sambutan yang baik. Kami justru merasa seperti berhadapan dengan tentara yang menodongkan senjata api ke wajah kami.” Ucapnya sembari tersenyum.
Pertemuan yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut berakhir dengan pemberian cindera mata berupa dua jilid buku karya Imam Khomeini dalam bahasa Arab oleh DR. Barati.