Kantor Berita Internasional Ahlulbait – ABNA – surat kabar The New York Times menerbitkan kesaksian-kesaksian yang mengguncang dari para penyintas pembantaian di kota Al-Fasher, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara, Sudan; kisah-kisah yang menceritakan pelarian dari neraka perang dan perjalanan menuju kamp-kamp pengungsi di Chad bagian timur.
Laporan The New York Times merupakan hasil dua pekan kerja lapangan jurnalis Ivor Prickett di kamp-kamp Tiné dan Kariari di Chad timur, dekat perbatasan Sudan. Surat kabar tersebut menulis bahwa tragedi Al-Fasher—ibu kota Darfur Utara—merupakan salah satu bab paling mengerikan dalam perang Sudan yang telah mengungsikan lebih dari 12 juta orang.
Setelah pengepungan selama 18 bulan, pada Oktober 2024 (Mehr 1403), kota tersebut berubah menjadi lokasi pembantaian terorganisasi oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Laporan-laporan dari kamp-kamp pengungsi di Chad menunjukkan bahwa Al-Fasher telah berubah menjadi sebuah penjara raksasa, dengan pembunuhan tanpa pandang bulu, pemerkosaan yang meluas, dan eksekusi di tempat.
Sebuah video yang telah diverifikasi keasliannya oleh The New York Times memperlihatkan seorang anggota Pasukan Dukungan Cepat mengeksekusi seseorang yang tengah memohon. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) memperkirakan bahwa 100 ribu orang telah melarikan diri dari Al-Fasher, sementara lebih dari 150 ribu orang dinyatakan hilang.
Manahil Ishaq (35 tahun) mengatakan bahwa anaknya yang berusia 14 tahun tewas saat mencari makanan; ia sendiri menjadi sasaran tembakan penembak jitu dalam perjalanan menuju kamp Abu Khasuni, dan saudara laki-lakinya terbunuh. Mustafa (16 tahun) menyatakan bahwa setelah menyaksikan eksekusi terhadap keluarga tetangganya, ia berusaha melarikan diri bersama teman-temannya, namun ditangkap oleh Pasukan Dukungan Cepat dan diikat pada sebuah pohon selama dua hari hingga akhirnya dibebaskan oleh penduduk desa.
Hossam Taher berhasil melarikan diri dari apa yang disebutnya sebagai “pembantaian di Rumah Sakit Saudi” yang menewaskan 400 pasien; namun dalam perjalanan pelarian, ia dan ibunya disandera dan dibebaskan setelah membayar 20 juta pound Sudan (sekitar 5.600 dolar AS). Ali Ishaq kehilangan kakinya akibat serangan udara, dan sahabatnya Yahya Rizq menggendongnya selama tujuh hari hingga mereka mencapai kamp pengungsian.
Saat ini, kamp Abu Khasuni menampung lebih dari 100 ribu pengungsi, dan jumlah tersebut terus bertambah setiap hari, sementara bantuan internasional masih sangat terbatas.
Your Comment