3 Desember 2025 - 11:27
A'idah Sarur; Kisah Ibu Dua Syahid Lebanon, dari Didikan Asyura hingga Kesabaran Zainabiyah

Pada hari wafatnya Sayyidah Ummul Banin, sosok yang namanya terkait dengan kesetiaan, pengorbanan, dan ibu para pahlawan, serta pada hari yang didedikasikan untuk menghormati ibu dan istri para syahid, ABNA mewawancarai seorang tokoh perempuan dari jalan panjang perlawanan: A'idah Sarur, wanita dari selatan Lebanon yang hidupnya adalah gambaran nyata “menjadi seorang ibu dalam garis perlawanan”.

Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- Pada hari wafatnya Sayyidah Ummul Banin, sosok yang namanya terkait dengan kesetiaan, pengorbanan, dan ibu para pahlawan, serta pada hari yang didedikasikan untuk menghormati ibu dan istri para syahid, ABNA mewawancarai seorang tokoh perempuan dari jalan panjang perlawanan: A'idah Sarur, wanita dari selatan Lebanon yang hidupnya adalah gambaran nyata “menjadi seorang ibu dalam garis perlawanan”.

A'idah Sarur, kelahiran 1971, tumbuh di masa Lebanon berada dalam bayang-bayang perang dan pendudukan, namun angin Revolusi Islam dari Iran meniupkan semangat baru di kalangan pemuda. Ia melihat cahaya kepemimpinan Imam Khomeini sebagaimana sebelumnya ia saksikan pada Imam Musa Sadr—cahaya yang mengarahkan hidupnya menuju perlawanan. Dari keluarga sederhana, ia memilih untuk hidup dalam iman dan keteguhan.

Ia menikah dengan seorang pejuang Hizbullah dan membesarkan anak-anaknya dalam nilai keberanian, kehormatan, dan loyalitas. Putranya yang paling muda, Ali Abbas Ismail, gugur pada usia 18 tahun dalam pembelaan terhadap tempat-tempat suci. Kini ia adalah ibu dari dua syahid dan berperan aktif dalam kegiatan budaya dan sosial perlawanan di Lebanon. Bagi banyak orang, A'idah adalah simbol generasi perempuan yang dengan kesabaran dan keteguhan menjadi pilar perlawanan.

Tentang pengalamannya sebagai ibu dua syahid, ia berkata: “Ini adalah anugerah Tuhan. Meski saya memiliki perasaan sebagai seorang ibu, ketika iman menguasai diri, saya berkata: biarlah perasaan keibuan menepi, karena panggilan agama lebih tinggi.” Ia menegaskan bahwa ia sendiri, dengan kesadaran penuh, merelakan putra-putranya untuk tujuan ilahi karena sejak kecil ia membesarkan mereka dalam cinta kepada Allah, Nabi Muhammad, dan Ahlulbait.

Tentang saat menerima kabar kesyahidan salah satu putranya, ia mengatakan bahwa ia berada di kompleks suci Imam Ridha ketika mendengar kabar itu. Dalam suasana haram yang penuh ketenangan, ia menyerahkan seluruh urusan kepada Tuhan dan menahan diri dari ratapan karena merasa berada di hadapan seorang Imam maksum.

Ia menggambarkan ciri paling menonjol dari kedua putranya sebagai “cinta yang mendalam kepada Allah”, dan menilai bahwa syahadah adalah buah alami dari pendidikan yang berlandaskan cinta Ilahi.

A'idah menegaskan bahwa kesabarannya bersumber dari ajaran Asyura, dan bahwa seorang ibu syahid harus menjaga agar jalan sang syahid tidak padam setelah kepergiannya. Ia menasihati para ibu syahid agar memikul tanggung jawab melanjutkan misi anak-anak mereka, sebagaimana ditekankan Imam Khomeini bahwa seluruh kekuatan umat berasal dari Asyura.

Tentang kondisi perlawanan Lebanon dan tekanan Amerika serta Israel, ia menyatakan keyakinan penuh pada kebijaksanaan para pemimpin perlawanan dan bahwa iman serta ketaatan kepada pemimpin adalah kekuatan terbesar mereka. Ia menegaskan bahwa perlawanan selalu siap menjalankan tugas kapan pun diperlukan.

Ia juga menceritakan pertemuannya dengan Pemimpin Tertinggi Iran bersamaan dengan kabar syahidnya putra keduanya—momen yang digambarkannya sebagai pengalaman ruhani yang sangat mendalam.

Menutup pernyataan, ia menegaskan keterikatan pada tanah Lebanon serta berpesan kepada rakyat Iran: “Berpeganglah pada kepemimpinan Ilahi. Bersabarlah, karena kemenangan selalu milik mereka yang bersabar.”

Your Comment

You are replying to: .
captcha