28 Januari 2025 - 02:59
Hari Bitsah: Menghidupkan Momentum Penting di Tengah Lupa

Ada satu hari yang seharusnya menjadi lentera besar bagi umat Islam, tetapi sering kali hanya sekadar lewat dalam gulungan waktu: hari bitsah. Inilah hari yang menandai momentum agung di mana Nabi Muhammad saw diangkat sebagai Rasul.

oleh: Ismail Amin Pasannai

Ada satu hari yang seharusnya menjadi lentera besar bagi umat Islam, tetapi sering kali hanya sekadar lewat dalam gulungan waktu: hari bitsah. Inilah hari yang menandai momentum agung di mana Nabi Muhammad saw diangkat sebagai Rasul. Dalam tradisi Islam, peristiwa ini dikenal sebagai titik awal pengangkatan Muhammad menjadi pembawa risalah ilahi, tugas yang mengubah arah sejarah manusia.


Peristiwa itu terjadi di Gua Hira, sebuah tempat sunyi di Jabal Nur yang menjadi saksi lahirnya perjalanan besar. Di sana, Nabi Muhammad saw menerima wahyu pertama melalui Malaikat Jibril. Ayat-ayat suci Al-Qur’an dimulai dengan seruan penuh makna: Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq (Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan). Kalimat itu bukan sekadar instruksi untuk membaca, tetapi sebuah panggilan kepada kemanusiaan untuk mengenali Tuhannya, menyadari dirinya, dan membaca dunia dengan perspektif yang baru.


Namun, ironisnya, hari besar ini jarang sekali mendapatkan perhatian yang setimpal. Jika perayaan Maulid Nabi atau Isra Mi’raj diperingati dengan gegap gempita di banyak belahan dunia Islam, hari bitsah seolah menjadi anak tiri dalam kalender spiritual umat. Kenapa demikian?


Peristiwa yang Terlupakan


Hari bitsah bukan hanya sebuah penanda sejarah. Ia adalah simbol transformasi manusia dari kegelapan menuju cahaya. Sebelum Nabi Muhammad saw diutus, masyarakat Jazirah Arab terjebak dalam apa yang disebut Al-Qur’an sebagai jahiliyah: sebuah zaman yang ditandai oleh kesewenang-wenangan, penindasan terhadap perempuan, pengabaian moral, dan keruntuhan spiritual. Bitsah menjadi awal dari proyek besar pembebasan manusia, baik secara spiritual maupun sosial.


Lebih jauh, hari itu juga menegaskan kembali pentingnya wahyu sebagai panduan hidup. Dalam konteks modern yang dipenuhi hiruk-pikuk teknologi dan individualisme, peringatan hari bitsah seharusnya menjadi momen untuk kembali bertanya: apakah manusia masih memegang panduan yang jelas dalam menjalani hidup?


Urgensi Memperingatinya


Menghidupkan hari bitsah berarti menghidupkan kembali semangat transformatif Islam. Ia mengingatkan kita bahwa risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw bukan hanya kumpulan teks atau ritual kosong, tetapi sebuah panduan hidup yang relevan sepanjang masa.


Di tengah dunia yang menghadapi berbagai tantangan—ketidakadilan sosial, krisis lingkungan, dan dehumanisasi akibat materialisme—peringatan hari bitsah dapat menjadi momentum untuk merenung. Apa yang sebenarnya diajarkan Nabi tentang keadilan? Bagaimana Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam? Apa peran spiritualitas dalam menghadapi masalah-masalah besar ini?


Sayangnya, mayoritas umat Islam terlalu sibuk dengan hiruk-pikuk keseharian. Hari bitsah luput dari ingatan karena kita terlalu sibuk merayakan simbol-simbol, sementara esensi risalah Islam sering kali terabaikan.


Akibat dari Kelalaian


Mengabaikan hari bitsah sama saja dengan mengabaikan salah satu fondasi terpenting dalam Islam. Jika umat Islam lupa pada momen ini, mereka berisiko kehilangan koneksi dengan akar spiritualitas Islam yang paling otentik.


Kelalaian ini juga bisa berujung pada distorsi pemahaman agama. Tanpa kembali ke awal risalah, ada risiko bahwa Islam akan dipahami secara parsial, hanya sebagai identitas budaya atau alat politik. Padahal, hari bitsah mengajarkan kita untuk melihat agama sebagai misi pembebasan, misi yang melampaui sekat-sekat identitas dan melibatkan seluruh kemanusiaan.


Menyalakan Kembali Lentera


Mengingat kembali hari bitsah berarti menyalakan lentera yang lama redup. Ini bukan tentang seremonial belaka, tetapi tentang refleksi mendalam. Bayangkan jika setiap umat Islam memperingati hari bitsah dengan merenungkan esensi wahyu: keadilan, cinta kasih, dan tanggung jawab sosial. Dunia yang penuh konflik dan ketidakadilan mungkin akan menemukan secercah harapan dari pesan-pesan Al-Qur’an yang diturunkan pada hari itu.


Menghidupkan hari bitsah adalah tugas bersama, tidak hanya bagi ulama atau cendekiawan, tetapi juga bagi setiap individu Muslim. Di tengah kebisingan dunia modern, hari bitsah mengingatkan kita untuk kembali membaca. Membaca diri, membaca sejarah, dan membaca kehidupan dengan panduan wahyu.


Sebab, seperti pesan yang terpatri dalam wahyu pertama, membaca adalah jalan pertama menuju pencerahan. Dan hari bitsah adalah pengingat abadi bahwa pencerahan itu dimulai dari sebuah gua sunyi di Jabal Nur, tempat cahaya pertama kali diturunkan untuk menerangi dunia.


~ Mahasiswa S3 Universitas Internasional Almustafa Iran, program studi Ilmu Pendidikan Berbasis Al-Qur'an