Dini hari, Rabu 31 Juli 2024, melalui laman resminya, Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) menuliskan pernyataan, Ketua Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh beserta pengawal pribadinya, tewas dalam sebuah serangan yang menargetkan kediaman mereka di Teheran, ibukota Iran. Seketika informasi tersebut menghebohkan dunia. Meski IRGC menyebutkan sedang melakukan investigasi dan tidak ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, namun dugaan terkuat, Israel berada dibalik serangan tersebut.
Hamas, dalam pernyataannya, bersumpah untuk membalas dendam atas pembunuhan pengecut terhadap pemimpinnya tersebut. Haniyeh secara luas dianggap sebagai pemimpin yang karismatik, populer, dan pragmatis dalam gerakan Hamas. Ia dihormati oleh banyak warga Palestina. Ketika ia menjadi perdana menteri Palestina pertama untuk gerakan Hamas, ia menolak meninggalkan rumahnya yang sederhana di sebuah kamp pengungsi di Jalur Gaza.
Haniyeh berada di Teheran untuk menghadiri upacara pelantikan presiden Iran yang baru terpilih, Masoud Pezeshkian, yang diambil sumpah jabatannya di parlemen pada hari Selasa (30/8). Ismail Haniyeh adalah pemimpin Hamas terkemuka kedua yang dibunuh oleh rezim Israel sejak Operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, setelah pembunuhan Salah al-Arouri di Beirut selatan pada 2 Januari.
Haniyeh lahir tahun 1962 di kamp pengungsi al-Shati di sebalah barat kota Gaza. Di kamp itu pula ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya. Ia lulus dari Universitas Islam Gaza pada tahun 1987, memperoleh gelar dalam bidang sastra Arab. Setelah lulus, ia bekerja sebagai asisten pengajar di universitas tersebut, dan kemudian mengambil alih urusan administrasi setelah itu. Ia menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Islam tersebut pada tahun 2009.
Haniyeh memulai aktivitas politiknya di dalam Islamic Bloc yang mewakili sayap mahasiswa Ikhwanul Muslimin, tempat munculnya Gerakan Perlawanan Islam Hamas. Akhir tahun 1987 Hamas berdiri, ia langsung bergabung di dalamnya. Keterlibatannya dalam gerakan Intifadah Pertama membuatnya ia dijatuhi hukuman penjara singkat oleh pengadilan militer Israel. Ia ditahan lagi oleh Israel pada tahun 1988 dan dipenjara selama enam bulan. Pada tahun 1989, ia dipenjara selama tiga tahun.
Setelah dibebaskan, ia tidak menghentikan aktivitas perlawanannya. Bersama beberapa pemimpin senior Hamas dan 400 aktivis lainnya, ia diasingkan ke Lebanon. Justru selama keberadaannya di Lebanon, Hamas menerima liputan media yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menjadi terkenal di seluruh dunia. Sekembalinya di Gaza, ia dipercaya menjadi dekan di Universitas Islam Gaza. Kedekatannya dengan Ahmed Yassin, pendiri Hamas, membuatnya dipercaya mengepalai kantor Ahmed Yassin, sejak 1997. Gugurnya Ahmed Yassin pada tahun 2003 melalui serangan Israel membuatnya diangkat menjadi pemimpin tertinggi Hamas.
Di bawah kepemimpinannya, Hamas memenangkan pemilihan legislatif Palestina pada tahun 2006 dan ia menjadi Perdana Menteri Negara Palestina, namun, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas memecatnya pada tahun 2007 karena desakan Israel. Israel menuduh Perdana Menteri Haniyeh saat itu menganut perjuangan bersenjata melawan Israel. Kementerian Luar Negeri Israel mengutip pernyataan Haniyeh, "Kami berkonsentrasi pada politik tetapi tidak meninggalkan senjata kami.”
Haniyeh mempimpin Hamas sampai 2017, setelah itu ia digantikan oleh Yahya Sinwar, seorang komandan militer Hamas berpangkat tinggi. Pada tanggal 6 Mei 2017, Haniyeh terpilih sebagai ketua biro politik Hamas, menggantikan Khaled Mashal. Kerap mendapat percobaan pembunuhan oleh agan-agen Israel, ia kemudian meninggalkan Gaza dan tinggal di pengasingan sejak 2019 di Qatar.
Pasca operasi Badai al-Aqsa 7 Oktober 2023, Haniyeh menggunakan kantor politiknya untuk membela operasi perlawanan Palestina terhadap pendudukan ilegal Israel. Ia tampak melakukan sujud syukur di tempat kediamannya di Doha bersama pemimpin Hamas lainnya setelah ia menyaksikan melalui layar kaca keberhasilan sayap militer Hamas menjebol pertahanan Israel.
Dalam salah satu pidatonya merespon Operasi Badai al-Aqsa, ia menegaskan bahwa rakyat Palestina di Gaza memiliki kesediaan untuk mengorbankan semua yang berharga demi kebebasan dan martabat mereka dan memperingatkan bahwa rezim akan membayar harga yang mahal atas kejahatan dan terorisme mereka terhadap warga Palestina.
Pada tanggal 1 November 2023, Haniyeh mengecam rezim Israel karena melakukan pembantaian biadab terhadap warga sipil tak bersenjata setelah serangan keji di kamp pengungsi Jabalia. Pada bulan Desember, sebuah jajak pendapat menunjukkan bahwa Haniyeh akan mengalahkan Mahmoud Abbas dengan selisih suara yang besar untuk posisi Presiden Negara Palestina – 78 persen untuk Haniyeh dan 16 persen untuk Abbas – yang menunjukkan semakin populernya pemimpin perlawanan Hamas tersebut.
Tidak hanya mengorbankan harta, waktu dan pikirannya untuk perlawanan Palestina, Haniyeh juga mempersembahkan pengorbanan pribadi, dengan sedikitnya 14 anggota keluarga dekatnya tewas dalam serangan udara Israel di rumah keluarganya di Kota Gaza pada bulan Oktober.
Pada November 2023, anak perempuan dan cucunya juga tewas. Pada April 2024, dalam tragedi besar, Haniyeh kehilangan tiga putra dan tiga cucunya dalam serangan udara Israel di Jalur Gaza. Pada Juni 2024, sepuluh anggota keluarga dekatnya, termasuk saudara perempuannya yang berusia 80 tahun, tewas dalam serangan udara Israel di kamp pengungsi al-Shati di Gaza.
Pada akhirnya, proyektil peluru yang ditembakkan melalui udara menghentikan langkahnya sekaligus mengakhiri pengorbanannya. Pukul 2 dini hari, di tempat ia menginap di Teheran yang mendapatkan pengamanan ketat IRGC, ia terbunuh bersama pengawal pribadinya. Meski tidak lagi bernafas, namun perjuangan tetap hidup dan warisannya akan terus menjadi mercusuar inspirasi bagi pasukan perlawanan terhadap pendudukan Israel, yang sudah berada di ambang kepunahan.
Dalam wawancara dengan Press TV pada bulan April tahun lalu, Haniyeh menegaskan bahwa Israel hidup dalam situasi terburuknya yang pernah ada. Sepuluh bulan setelah Operasi Badai Al-Aqsa, rezim tersebut kini menatap kehampaan setelah gagal mencapai tujuan militernya meskipun telah membantai hampir 40.000 warga Palestina.
Kematian Ismail Haniyeh, justru tidak memberi keuntungan apapun bagi Israel. Gerakan Hamas selama bertahun-tahun kehilangan puluhan pemimpinnya dalam pembunuhan Israel di Gaza, Tepi Barat, dan luar negeri, tetapi kematian tersebut tidak melemahkan gerakan tersebut. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei merespon kematian Ismail Haniyeh dengan mengatakan, Haniyeh adalah tamu negara, dan wajib bagi Iran sebagai tuan rumah membalaskan darahnya. Panglima IRGC, Mayor Jenderal Salami dalam pernyataannya menyebutkan, pasukannya akan membuat rezim Zionis menyesal atas tindakan pengecutnya. Selamat jalan pejuang Al-Quds.
Ismail Amin, MA
Ketua Umum KKS-Iran 2023-2025/Mahasiswa S3 Universitas Internasional Almustafa Iran
*Artikel ini pertamakali dimuat di Harian Tribun Timur, Sabtu, 3 Agustus 2024