Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- Dr. Helya Dotaqi, dosen universitas dan doktor hukum internasional dari Universitas Carleton Kanada, dalam webinar internasional keempat bertajuk “Iran Islam; Front Kemuliaan Islam dalam Menghadapi Rezim Zionis”, menekankan pentingnya keterlibatan terstruktur poros perlawanan dalam arena hukum internasional.
Ia menyatakan bahwa konfrontasi antara Front Kemuliaan Islam dan rezim Zionis bukan semata konflik militer, melainkan pertarungan mendalam atas makna, legitimasi, hukum, dan narasi yuridis dalam sistem internasional.
Dotaqi menjelaskan bahwa sistem hukum internasional pasca-Perang Dunia II dibangun dengan klaim melindungi martabat manusia dan mencegah tragedi seperti Holocaust, namun sejak awal Palestina justru menjadi pengecualian paling mencolok dalam tatanan tersebut. Menurutnya, sistem yang mengklaim universalitas ini dalam praktiknya tunduk pada relasi kekuasaan dan mereproduksi dominasi.
Ia menilai bahwa Operasi Thufan al-Aqsa telah menyingkap kepalsuan legitimasi hukum Barat. Darah para syuhada Palestina menunjukkan bahwa masalahnya bukan ketiadaan hukum, karena secara yuridis genosida di Gaza telah diakui: Mahkamah Internasional (ICJ) mengonfirmasi kemungkinan genosida, memerintahkan penghentian operasi di Rafah, dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pejabat tinggi rezim Zionis. Namun persoalan utama adalah kegagalan penegakan hukum dan dominasi kekuasaan atas narasi hukum.
Dotaqi menegaskan bahwa poros perlawanan tidak boleh memandang hukum internasional semata sebagai alat musuh atau sistem yang sepenuhnya gagal. Bahkan dalam tatanan yang tidak adil, hukum tetap menjadi medan legitimasi, dan kekuatan bersenjata pun terpaksa membenarkan kekerasannya dengan bahasa hukum—sebuah celah strategis bagi perlawanan untuk melakukan intervensi sadar dan aktif.
Ia menyoroti prinsip imperatif (jus cogens) larangan genosida, yang mewajibkan semua negara untuk mencegah, menghalangi, dan menghukumnya. Berdasarkan itu, tindakan perlawanan di Palestina, Lebanon, Yaman, dan Iran dapat dirumuskan sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban hukum internasional untuk mencegah genosida.
Sebagai contoh, ia menyebut langkah Ansarullah Yaman dalam mendefinisikan ulang blokade maritim sebagai bagian dari hak bela diri dan upaya mencegah genosida, sebagai penggunaan cerdas bahasa hukum melawan tatanan imperialis.
Di akhir, Dr. Dotaqi menegaskan bahwa masa depan hukum internasional tidak ditentukan di ruang-ruang diplomasi, melainkan di medan perlawanan. Front Kemuliaan Islam, katanya, tengah membentuk ulang konsep hukum, legitimasi, dan tatanan dunia—dan di titik inilah masa depan perjuangan akan berpihak pada bangsa-bangsa tertindas.
Your Comment