7 Juli 2025 - 22:55
Source: Parstoday
Kereta Perang Gideon di Rawa Gaza; dari Bawah Reruntuhan Perlawanan Terlahir Kembali

Operasi "Kereta Perang Gideon" rezim Zionis di Gaza merupakan suatu kegagalan.

Saat perang genosida rezim Zionis terhadap Jalur Gaza memasuki bulan ke-21, tanda-tanda kegagalan total operasi militer yang dikenal sebagai "Kereta Perang Gideon" (Gideon's Chariots) menjadi lebih jelas dari sebelumnya.

Menurut laporan Pars Today, Operasi "Kereta Perang Gideon", yang digambarkan Tel Aviv sebagai operasi yang menentukan, tidak menghasilkan pencapaian tujuan, tetapi malah semakin terjerumus ke dalam kubangan politik, militer, dan kemanusiaan.

Pada awal Mei, kabinet keamanan rezim Zionis menyetujui rencana Operasi "Kereta Perang Gideon" dengan klaim mencapai kemenangan militer dan politik di Gaza, tetapi dalam praktiknya bertujuan untuk melanjutkan genosida dan kebiadabannya terhadap warga Palestina.

Kegagalan Militer dan Kekecewaan Angkatan Darat

Nahum Barnea, seorang analis terkemuka untuk surat kabar berbahasa Ibrani Yedioth Ahronoth, menulis dalam sebuah analisis bahwa operasi Gaza berakhir dengan kekalahan telak dan bahwa tentara, meskipun tidak mengakuinya secara terbuka, sangat kecewa.

Barnea menganggap keputusan untuk melaksanakan operasi ini sepenuhnya politis dan mengidentifikasi Benjamin Netanyahu sebagai orang utama yang bertanggung jawab atas perpanjangan perang.

Terkait hal ini, Amos Hariel, seorang analis militer untuk surat kabar Haaretz, menekankan bahwa Netanyahu secara artifisial melanjutkan perang untuk mempertahankan kelangsungan politiknya. Sebuah tindakan yang, menurutnya, bukan hanya meningkatkan penderitaan para tahanan dan keluarga mereka, tetapi juga telah menjerumuskan masyarakat Zionis ke dalam krisis.

Menurut jajak pendapat, lebih dari 60 persen warga Israel menginginkan diakhirinya perang dan pertukaran tawanan, meskipun itu harus dibayar mahal.

Penghancuran Gaza dan Kelahiran Kembali Perlawanan

Surat kabar Haaretz juga menulis, Gaza saat ini telah menjadi lahan subur bagi lahirnya bentuk-bentuk perlawanan baru, di mana itu tidak mesti Hamas atau Jihad Islam, tetapi kelompok-kelompok lokal, gerilya, dan lincah, yang akan terus-menerus mengancam para penjajah dengan menggunakan senjata ringan dan alat peledak rakitan.

Skenario ini mengingatkan kita pada pengalaman pahit pendudukan militer AS di Irak dan Afghanistan, serta kekalahan “Israel” di Lebanon selatan pada tahun 2000, di mana perlawanan rakyat akhirnya memaksa tentara untuk mundur.

Seruan Tentara untuk Mengakhiri Perang

Surat kabar Jerusalem Post mengutip sumber-sumber keamanan Israel juga melaporkan bahwa tentara telah menyerukan diakhirinya perang dalam dua hingga tiga minggu ke depan, karena pertempuran yang terus berlanjut, ditambah dengan meningkatnya ancaman dari Lebanon dan Iran, telah menguras kapasitas operasional tentara dan membuat front dalam negeri tidak stabil.

Rezim Pendudukan di Ambang Kehancuran

Rezim Zionis kini berada dalam kesulitan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Secara militer, ketidakmampuan untuk menghancurkan perlawanan atau mengonsolidasikan keamanan internal.

Secara kemanusiaan, bencana skala penuh dengan puluhan ribu syahid dan luka-luka serta ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal.

Secara politik, kemunduran legitimasi pemerintahan Netanyahu dan meluasnya perpecahan internal.

Di lapangan, Gaza telah menjadi pusat ledakan bagi pertumbuhan perlawanan permanen dengan metode-metode baru.

Semua faktor ini menjadi saksi kegagalan strategis rezim Zionis dalam Operasi “Kereta Perang Gideon”, sebuah operasi yang seharusnya membawa kemenangan, tetapi puing-puingnya runtuh di Tel Aviv.(sl)

Your Comment

You are replying to: .
captcha