Kantor Berita Internasional - ABNA- Untuk memahami topik ini dengan lebih baik, kita harus terlebih dahulu menjawab pertanyaan apa yang dimaksud dengan kebahagiaan? Apakah kebahagiaan hanya berarti kesenangan sesaat dan sementara, atau berarti ketenangan batin dan kepuasan hidup? Agama memperhatikan jenis kebahagiaan yang mana?
Kebahagiaan dalam pandangan agama
Sebagian besar agama, terutama Islam, memberikan perhatian besar pada kebahagiaan dan kegembiraan. Dalam Al-Qur'an, kata-kata seperti "farah", "suroor", "bahjat", dan "nasyaat" sering diulang. Selain itu, dalam hadis-hadis Islam, ditekankan pentingnya kebahagiaan dan keceriaan dalam hidup.
Dalam hadis-hadis Islam juga banyak anjuran mengenai kebahagiaan dan menciptakan kebahagiaan, sehingga disarankan agar seorang Muslim membagi waktunya menjadi empat bagian, dan satu bagian di antaranya harus diperuntukkan bagi kebahagiaan dan hiburan yang sehat! Seperti yang dikatakan oleh Imam Ridha a.s.: "Usahakan agar waktu kalian terbagi menjadi empat bagian: waktu untuk berdialog dengan Allah, waktu untuk urusan kehidupan, waktu untuk bergaul dengan teman-teman dan orang-orang yang mengenal kekurangan kalian dan mencintai kalian dalam hati dan satu bagian untuk menikmati kesenangan kalian, dan dengan satu waktu ini kalian akan mampu menjalani tiga waktu lainnya." [1]
Selain anjuran untuk menikmati kesenangan yang halal, menciptakan kebahagiaan dari perspektif Rasulullah saw. adalah salah satu tanda orang beriman! Sebagaimana beliau bersabda: «المؤمنُ دَعِبٌ لَعِبٌ ، و المُنافقُ قَطِبٌ غَضِبٌ» [2] «Orang beriman itu ceria dan riang, sedangkan orang munafik itu muram dan penuh amarah».
Kebahagiaan yang sejati dalam agama
Namun, kebahagiaan yang ditekankan oleh agama bukanlah kebahagiaan yang berasal dari dosa dan pelanggaran. Melainkan kebahagiaan yang diperoleh dari ketaatan kepada Allah Swt. dan mengikuti perintah-Nya. Kebahagiaan ini, berbeda dengan kesenangan yang sementara dan sekejap, adalah kebahagiaan yang abadi dan memberikan ketenangan serta kepastian hati kepada manusia. Pemimpin para muttaqin, Imam Ali a.s. bersabda: «سُرورُ المؤمنِ بطاعَةِ رَبِّهِ ، و حُزنُهُ على ذَنبِهِ» [3] «Kebahagiaan orang beriman adalah ketika ia taat kepada Tuhannya, dan kesedihannya adalah ketika ia berbuat dosa».
Allah Yang Maha Tinggi tidak menghalangi kita dari kebahagiaan dengan yang halal dan haram, tetapi dengan sistem yang bijaksana ini, Dia mengelola kebahagiaan dan kesenangan kita agar kita mendapatkan kesenangan yang paling banyak, terbaik, dan paling abadi.
Alasan salah dalam pemahaman tentang penolakan agama terhadap kebahagiaan
Tafsiran yang salah dari beberapa ajaran: Beberapa orang menafsirkan beberapa ajaran agama secara dangkal dan tanpa memperhatikan konteks sejarah dan budaya mereka, dan menarik kesimpulan yang salah.
Perhatian terhadap beberapa batasan: Agama, untuk menjaga ketertiban sosial dan mencegah kerugian bagi orang lain, telah menetapkan beberapa batasan. Batasan ini bukan berarti menolak kebahagiaan, tetapi bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dan mencegah ekstrim.
Prasangka pribadi: Beberapa orang, karena alasan pribadi atau budaya, memiliki pandangan negatif terhadap agama dan menganggap setiap batasan sebagai penolakan terhadap kebebasan dan kebahagiaan.
Kesimpulan: Agama, alih-alih menjadi penghalang bagi kebahagiaan, menunjukkan jalan menuju kebahagiaan yang sejati dan berkelanjutan. Kebahagiaan yang diperoleh dari ketaatan kepada Tuhan, melakukan perbuatan baik, dan membantu orang lain adalah kebahagiaan yang tidak hanya akan menyertai manusia di dunia ini, tetapi juga di akhirat. Agama memberikan perhatian pada kebahagiaan, tetapi kebahagiaan yang tidak disertai dengan dosa dan pelanggaran serta sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ilahi. Batasan-batasan agama bertujuan untuk menjaga ketertiban sosial dan mencegah kerugian bagi orang lain. Kebahagiaan yang sejati adalah kebahagiaan yang diperoleh dari ketaatan kepada Tuhan dan melakukan perbuatan baik.
Catatan kaki
[1] Fiqh al-Ridha, Imam Ridha a.s, Lembaga Al al-Bayt, halaman 337
[2] Tuḥaf al-‘Uqūl, Ali bin Shobah Harani, Penerbit Komunitas Pengajar Qom, halaman 49
[3] Gharar al-Hikam wa Durar al-Kalim, Abdul Wahid Tamimi Amidi, Jilid 4, halaman 136, Hadis 5594