Menurut Kantor Berita ABNA, Zuhairi Misrawi adalah salah seorang intelektual muda Nahdlatul Ulama yang sangat produktif menulis dan melakukan riset mengenai pendekatan moderasi dalam pembangunan Indonesia terutama dalam hal toleransi keagamaan dan keadilan sosial di dalam masyarakat yang plural (beragam) dan demokratis. Cendekiawan yang lahir 5 Februari 1977 di Sumenep Jawa Timur ini menjadi direktur Moderate Modern Society Jakarta sejak tahun 2008 dan saat ini diamanahkan Presiden Joko Widodo menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Tunisia.
Ia menamatkan pendikan sarjananya di Departemen Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1995-2000) dan studi pascasarjananya (post-graduate) di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta tahun 2006.
Zuhairi Misrawi telah berkali-kali melakukan perjalanan dan kunjungan ke Iran, termasuk pada tahun 2019 yang dalam rencana perjalanannya akan mengikuti longmarch Arbain di Najaf-Karbala Irak sehabis dari Iran. Pada kesempatan kunjungan di kota Qom setelah sebelumnya berada di kota Masyhad untuk menziarahi makam Imam Ridha as, redaksi ABNA berhasil melakukan wawancara pada Senin Malam, 14 Oktober 2019 di restoran Hotel Al-Zahra Qom seusai makan malam. Pada Selasa pagi (15/10), intelektual NU yang lebih kerap disapa Gus Mis ini melanjutkan perjalanan ke Najaf Irak untuk melihat dan terlibat langsung dalam salah satu pagelaran keagamaan terbesar di dunia yang melibatkan jutaan manusia pada peringatan Arbain yang telah menjadi tradisi tahunan.
Berikut hasil wawancara yang sebelumnya telah pernah dipublikasikan oleh ABNA pada 16 Oktober 2019 lalu:
Assalamu alaikum Gus. Maaf mengganggu waktunya. Oh iya Gus, ini yang keberapa kalinya anda ke Iran?
Wa alaikum salam. Dengan sekarang sudah kesembilan kali. Pertama kali tahun 2014 dan pernah dalam setahun saya tiga kali ke Iran.
Sampai sesering itu Gus?
Iya, saya merasakan betul kenyamanan setiap ke Iran, dan selalu ada kerinduan untuk bisa ke sini.
Apa ada perbedaan yang anda lihat dan rasakan dengan yang sebelumnya terakhir kali ke Iran dengan yang sekarang?
Iya, saya melihat ada pembangunan yang terus Iran lakukan secara fisik, tetapi memang yang menjadi kekhasan dari Iran adalah solidaritas yang kuat antar warganya, yang didasari kecintaan yang besar pada Rahbar, Pemimpin Tertinggi Iran. Itu yang menjadikan Iran sebagai negara yang terus melakukan suatu perubahan-perubahan dan transformasi yang sangat revolusioner, bahkan kalau kita lihat posisi Iran di Timur Tengah semakin kuat, seperti di Lebanon, di Irak, di Suriah, di Yaman dan Qatar. Sehingga dunia akhirnya mengakui Iran sebagai negara yang sangat kuat secara politik dan secara militer.
Kemudian termasuk perkembangan yang pesat dari sisi sains dan ilmu pengetahuan. Kita tahu Iran sekarang melesat hampir sejajar dengan Australia dan negara-negara Eropa dan Amerika. Riset-riset dari Iran menjadi rujukan bagi akademisi dan intelektual dalam mengembangkan riset-riset ilmu pengetahuan terutama yang saya tahu tekno pad, yang saya pernah lihat langsung sebuah lembaga riset yang sangat maju kalau tidak salah pada salah satu jalan di arah menuju Qom.
Juga kesan-kesan orang Indonesia, bahwa Iran menjadi salah satu destinasi wisatawan. Saya beberapa kali mendapat kesan yang positif dari sejumlah traveler dan backpackers Indonesia tentang Iran. Jadi memang kecenderungannya, Iran sedang mengalami pertumbuhan yang sangat baik jika dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah lainnya, yang sedang dilanda musim semi konflik internal. Di Iranpun tidak lepas dari adanya aksi-aksi demonstrasi, namun itu tidak menghambat pertumbuhan Iran dalam berbagai sektor kehidupan.
Menurut Gus dengan pengamatan Gus sendiri secara langsung apakah Iran layak menyandang nama Republik Islam dan apakah benar kehidupan masyarakat di Iran telah mencerminkan kehidupan yang Islami?
Islam itu kan sebenarnya akhlak. Jadi sebagaimana sabda Nabi bahwa ia diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dengan ini saya pahami, bahwa berIslam itu ya berakhlak baik. Dan saya merasakan akhlak yang tinggi yang diperlihatkan orang-orang Iran. Mereka jujur, ramah, menjaga kebersihan, disiplin, pekerja keras, persahabatan yang hangat. Dan itu nilai-nilai Islam yang saya rindukan, yang hilang di dunia Islam, dan mungkin juga di Indonesia karena terlalu heboh dengan pertarungan politik.
Saya melihat bahwa akhlak orang-orang Iran ini sangat baik. Saya tidak melihat ada sikap-sikap dari warga Iran yang mencerminkan jauh dari akhlak. Karena itu jujur, mengapa saya suka ke Iran, karena saya menemukan akhlak Islam di Iran. Saya lama belajar di Mesir, selalu ke Turki, ke Lebanon, ke Qatar, ke Dubai, ke Arab Saudi, dan justru saya menemukan akhlak itu di Iran. Dimana kehangatan, ketulusan dan bagaimana mereka menghargai tamu, sebagaimana hadis Nabi, jika kamu mengimani Allah dan hari akhi akhir, hendaklah kamu menghormati tamumu. Dan cara Iran menghormati tamu menurut saya suatu cerminan akhlak yang sangat tinggi, sehingga mohon maaf, saya ini Sunni dari NU, dan disini orang-orang Iran dari Syiah, dengan melihat dari luar seolah-olah perbedaan yang ada antara Sunni dan Syiah menjadi sesuatu yang menakutkan karena narasi politik Arab Saudi dan Israil, tetapi ketika saya hadir disini persaudaraan antara Sunni dan Syiah itu sangat luar biasa.
Saya biasa salat dengan mereka, di Masjid Tehran University saat Jumatan, di Masyhad, di Esfahan dan di Qom, di tengah lautan ribuan manusia yang bermazhab Syiah dan saya salat dengan tradisi NU, tidak pernah saya diperlakukan secara diskriminatif atau mendapatkan sikap yang tidak sopan. Kenapa? karena orang-orang Iran punya akhlak, bahwa perbedaan mazhab adalah sebuah keniscayaan karena memang sudah jadi kenyataan banyak mazhab dalam khazanah Islam. Akhlak itulah yang membuat orang-orang Iran tetap memperlakukan saya dengan baik dan bersahabat meski saya berbeda dengan mereka. Akhlak mereka itu membuat saya jatuh hati dan berkesimpulan, bahwa Syiah atau Ahlulbait itu adalah satu kelompok yang sangat mengedepankan akhlak, dan itu adalah inti dari ajaran Islam.
Jadi Gus bukan melihat cerminan kehidupan Islami itu dari jilbab yang dikenakan semua muslimah Iran atau masjid-masjid yang penuh dengan jamaah? Sebab di Indonesia kan kehidupan Islami itu selalu diidentikkan dengan busana Islami yang dikenakan atau ramainya masjid.
Tidak, saya melihat kehidupan Islam itu dari cerminan akhlak yang dipantulkan. Kita bisa berbeda cara pandang terhadap fiqih, atau bahkan hukum Islam, tapi hendaklah akhlak harus dikedepankan. Saya tadi beruntung membeli buku yang ditulis ulama Ahlulbait mengenai Nabi Muhammad saw. Betapa yang dikedepankan dari Rasulullah itu adalah akhlak. Karena akhlak itu yang menjadikan kita dapat menghargai dan memberi penghormatan pada orang yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan kita.
Kalau sudut pandang kehidupan Islami itu masjid yang penuh, di Iran pun memang saya melihat hal itu. Dibanding masjid di Jakarta yang tidak sedikit masjidnya kosong saat waktu salat. Di Iran bahkan masjid melakukan salat berjamaah berkali-kali untuk memberikan kesempatan salat berjamaah bagi yang terlambat. Ada bacaan Alquran yang sangat indah sebelum salat dilakukan, ada ceramah-ceramah yang menyejukkan disela-sela itu. Dan tradisi ziarah warga Iran yang benar-benar membangun spritualitas, bahwa kita yang masih hidup ini harus tetap berhubungan dengan yang telah mati, terutama untuk mengenang kebaikan orang-orang yang sudah meninggal dunia. Secara umum, saya melihat Islam itu di Iran, karena dimensi akhlak yang ditonjolkan itu.
Gus kan tadi menyinggung mengenai perbedaan pandangan keislaman, nah terkait hal ini, di Indonesia kan sedang menjamur kelompok takfiri, yang mengkampanyekan gaya hidup yang intoleran, menyebarkan ujaran kebencian dan permusuhan termasuk pada Syiah yang merupakan mazhab mayoritas warga Iran bahkan sampai dilembagakan dengan nama ANAS (Aliansi Nasional Anti Syiah), menurut Gus apakah ini ada manfaatnya bagi kehidupan beragama di Indonesia?
Ya menurut saya memang ini masalah serius yang kita hadapi. Munculnya takfiri atau kelompok-kelompok yang mudah mengkafirkan kelompok-kelompok yang berbeda, atau kelompok yang melakukan tindakan kekerasan terhadap mereka yang berbeda. Maka ini adalah tantangan serius yang sedang kita hadapi bersama. Oleh karena itu, NU dalam fatwa terakhir yang merupakan hasil kajian dari lembaga kajian keagamaan NU, sebaiknya kita tidak menggunakan istilah kafir. Karena istilah kafir itu bisa dijadikan instrumen untuk melakukan tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Jadi kita sekarang harus banyak hati-hati, karena masih banyak kelompok-kelompok yang mengusung ideologi takfiri bahkan mereka memaksakan kehendak, terakhir malah melakukan penusukan kepada Bapak Wiranto. Ini menunjukkan bahaya takfiri itu telah di depan mata. Dari sini, kita bisa belajar dari Iran. Dimana semua pihak harus terlibat secara langsung untuk melakukan edukasi, terutama pemerintah. Semua pihak harus terlibat secara serius dalam berbagai program penanganan, diantaranya program deradikalisasi, pengarus-utamaan Pancasila, dan yang terpenting melalui jalur kebudayaan.
Sebagaimana yang kita lihat di Iran, kebudayaannya kan tinggi sekali. Kebudayaan itulah yang membentuk karakter dan cara pandang melihat dunia yang tidak penuh dengan kegelapan, tapi penuh dengan mimpi, harapan dan cita-cita. Ada tujuan bersama yang hendak dicapai sebuah bangsa. Karena itu, saya dan kawan-kawan di Indonesia, mencoba untuk membongkar nalar dari takfiri itu, sehingga kita semua terselamatkan dari fitnah dan bahaya-bahaya yang bisa ditimbulkan takfirisme.
Sebagai politisi, Gus kan bisa dibilang berada dalam lingkaran kekuasaan, bagaimana pandangan Gus Mis terhadap Presiden Jokowi di periode keduanya, terkait isu intoleransi yang makin marak di masa kepemimpinannya pada periode pertama? Dan bagaimana komitmen Presiden Jokowi menghadapi makin maraknya aksi intoleransi terhadap kelompok-kelompok marjinal dan apa yang akan dilakukan Presiden untuk mencegah makin meluasnya aksi-aksi intoleran di periode keduanya?
Pertama, pemerintah sedang semaksimal mungkin melakukan penegakan hukum. Pemerintah sadar, negara harus hadir menegakkan hukum, terutama pada hate speech (ujaran kebencian). Dan harus diakui penanganan ujaran kebencian itu tidak mudah, terutama di era media sosial sekarang ini yang diramaikan munculnya akun-akun anonim yang melakukan ujaran kebencian sehingga aspek penegakan hukum itu sangat penting.
Kedua, melakukan edukasi yang efektif. Sekarang sudah mulai dilakukan yaitu menjalankan kurikulum pendidikan moral Pancasila, yang insya Allah tahun ini sudah mulai, sebab itu penting sekali melibatkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat sipil untuk membangun suatu narasi bersama.
Ketiga, memunculkan kembali kebudayaan-kebudayaan kita yang sangat kaya. Karena kebudayaan-kebudayaan kita pada hakikatnya menyadarkan kita bahwa kita ini satu nusa satu bangsa, sebagaimana yang telah dipatrikan pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Jadi pemerintah sedang bekerja, sedang membuat langkah-langkah yang efektif, bagaimana mengatasi intoleransi ini, dan memang tidak mudah, karena kita hidup di alam demokrasi yang masih desentralistik, terutama pada level bawah. Tidak semua persoalan bisa dihandle oleh pemerintah pusat, sehingga diserahkan ke pemerintah daerah. Disinilah terkadang muncul persoalan, ketika pemerintah daerah cenderung dekat dengan kelompok intoleran, maka disitulah lahir kebijakan-kebijakan yang berpotensi merusak alam demokrasi.
Pemerintah disemua level harus menyadari, bahwa negara harus berada di tengah. Menjamin kebebasan setiap kelompok, untuk berpendapat, berserikat dan berorganisasi. Dan ini tentu harus diatasi dengan cara untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang menjamin kebebasan setiap kelompok untuk berkeyakinan dan menyatakan pendapat.
Selalu saya mengatakan, mengatasi persoalan intoleransi tidak bisa satu malam, sebab tidak bisa instant. Dia harus ada proses yang jelas dan menyediakan perangkat-perangkat hukum, sehingga tidak ada kelompok yang mengatasnamakan mayoritas dan kebenaran absolut dengan seenaknya kemudian mempersekusi kelompok minoritas. Itu tidak boleh, itu prinsip, maka harus ada payung hukum yang kuat. Dan yang harus terpenting perlu keterlibatan masyarakat secara luas. Dan juga Kepolisian harus tegas, dengan memberikan kesempatan pada siapapun untuk berserikat dan berkumpul.
Karenanya saya kira, teman-teman Ahlulbait, tidak ada salahnya melakukan peringatan Asyura. Terus terang saja, ketika teman-teman Ahlulbait tidak bisa melakukan peringatan Asyura dibeberapa daerah, saya merasa sedih teriris-iris, merasa negara ini belum hadir. Saya kira kelompok-kelompok yang selama ini getol melakukan tindakan kekerasan, itu harus ditindak secara hukum, dan kita punya perangkat hukum yang kuat untuk itu.
Kita pindah topik Gus. Gus kan ke Iran untuk selanjutnya ke Irak mengikuti longmarch ke Karbala dalam rangka peringatan Arbain, Gus tahu adanya pagelaran tahunan ini dari mana dan mengapa sampai Gus tertarik untuk mengambil bagian didalamnya?
Dari teman-teman Ahlulbait di Indonesia banyak menceritakan tentang suasana kesakralan, suasana kebersamaan, dalam peringatan Arbain. Sehingga saya akhirnya tertarik ingin ikut merasakan langsung. Saya tertarik, karena bagi saya kisah Imam Husain itu penuh makna, penuh pelajaran yang harus kita ambil, dan dengan ikut dalam peringatan Arbain ini, saya ingin belajar dari peristiwa wafatnya Imam Husain, sehingga kita umat Islam ini punya satu pemahaman yang sama. Kita sadari terjadi polarisasi dan keterpecahan dalam tubuh umat Islam, yang menurut saya itu bisa dipersatukan melalui pemahaman yang sama mengenai Imam Husain. Karena itu saya ingin belajar lebih banyak mengenai Imam Husain, ingin mengenal Imam Husain, dan apa yang terjadi pada Imam Husain itu tidak boleh terjadi lagi.
Ketika cucu Rasulullah, orang yang suci, dan dicintai Rasulullah, sampai Nabi bersabda, Husain dariku dan aku dari Husain, itu artinya ketika peristiwa Karbala dimana saat itu Imam Husain dibunuh dengan cara yang menyedihkan, ini menunjukkan pada kita, bahwa kepada orang seperti Imam Husain saja mendapat perlakuan yang sangat kejam bagaimana dengan umat ini. Jadi ada makna besar dibalik peristiwa Arbain ini, dan saya harus terlibat di dalamnya. Dan saya mengatakan, saya selalu berdoa, ya Allah sebelum saya meninggal saya ingin punya kesempatan untuk ikut Arbain dan ini adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh saya.
Saya sudah tidak sabar, walaupun waktu yang harus dihabiskan cukup lama, 17 hari meninggalkan Jakarta, meninggalkan tugas bersamaan dengan pelantikan Presiden. Tapi saya memilih untuk berada di Karbala. Insya Allah, saya akan mendoakan Indonesia dari Karbala dan saya akan menulis di salah satu portal besar untuk mengabarkan kepada dunia bahwa ada peristiwa besar dalam Islam yang kita harus mengambil makna, sehingga kesalahan itu jangan sampai diulangi lagi.
Kata Bung Karno, jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dan saya kira kita juga umat Islam, jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah Islam. Itu adalah tanggungjawab kita bersama. Kita sebagai pengikut Rasulullah yang mencintai Imam Husain, harus melakukan sesuatu untuk kebaikan Islam, untuk kebaikan kemanusiaan. Apalagi kita tahu revolusi Imam Husain itu banyak menginspiriasi pemimpin dunia, termasuk Bung Karno sendiri. Kalau tokoh besar saja seperti Mahatma Ghandi, Bung Karno, belajar dari Imam Husain apalagi Zuhairi Misrawi yang bukan siapa-siapa, saya kira memang harus belajar dari Imam Husain.
Setahu saya di sunni pun apalagi di masyarakat NU ada tradisi untuk menziarahi makam wali-wali Allah, dan tidak bisa dipungkiri Imam Husain adalah juga waliyullah, menurut Gus Mis, kurang populernya makam Imam Husain menjadi tujuan ziarah dalam masyarakat sunni disebabkan apa?
Ini karena tidak banyak yang mengenal peristiwa Karbala ini. Karena sejarah tentang Imam Husain tidak dipelajari secara sempurna. Insya Allah saya ingin menulis tentang Imam Husain agar memunculkan kembali memori kolektif kita sebagai umat Islam. Ini sejarah ya, sangat kelam di masa lalu. Dan kita tidak boleh mengabaikan begitu saja. Ajaran cinta dalam Islam harus dikedepankan terlebih kepada keluarga Rasulullah saw. Menziarahi makam Imam Husain, bukan urusan mazhab Sunni atau Syiah, melainkan umat Islam. Dan harapan saya, kecintaan pada Imam Husain menjadi poros persatuan umat Islam. Persatuan dan persaudaraan itu, harus menjadi ruh bagi umat Islam. Saya teringat dengan pesan Imam Besar al Azhar, bahwa Sunni dan Syiah itu ibarat dua sayap, yang kalau salah satu sayapnya itu tidak berfungsi, maka umat Islam tidak akan bisa berbuat untuk kemajuan dalam peradaban manusia. Karenanya antara satu dengan yang lain harus saling mendukung untuk mewujudkan kekuatan bersama. Sehingga umat Islam berada dalam rel yang sama untuk memberi manfaat pada dunia.
Saya berharap, peristiwa Imam Husain mempersatukan kita sebagai umat Islam.
Seruan Gus Mis agar Sunni dan Syiah bersatu yang dengan itu umat Islam menjadi kuat bertentangan dengan seruan sebagian kelompok yang mengklaim Syiah dapat mengancam keutuhan NKRI dan berbahaya bagi aqidah kaum muslimin Indonesia yg mayoritas Ahlusunnah sehingga harus dihalangi. Menurut Gus?
Justru yang mengatakan itu yang mengancam NKRI. Karena dia sudah menuduh. Saya berkali-kali mengatakan, hoax paling besar itu adalah hoax terhadap Syiah. Syiah digambarkan begitu rupa. Kita lupa Syiah itu adalah pecinta Ahlulbait. Saya melihat ajaran-ajaran dari Syiah itu, adalah ajaran-ajaran yang semata-mata ingin membangun kecintaan pada Rasulullah dan keluarganya, dan mengambil sari pati inti dari Islam. Sebagaimana saya katakan tadi, kalau kita melihat Iran, yang mayoritas adalah Syiah Jakfariyah, sesungguhnya kita melihat mereka sebuah kelompok yang sangat baik, karena mereka membangun tidak hanya aspek moral tapi juga ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik luar negeri yang disegani Amerika bahkan sampai bisa menjatuhkan drone Amerika, dan ini sangat membanggakan.
Terakhir Gus. Pesan-pesan Gus Mis untuk masyarakat muslim di Indonesia terkait mengenai pentingnya mengembangkan kehidupan moderasi dalam masyarakat muslim.
Saya kira Islam itu adalah moderat. Maka kita bertanggungjawab untuk terus mempelajari Islam dengan baik terutama bagaimana membumikan akhlak itu dalam semua aspek kehidupan kita. Orang yang mengatakan bahwa Syiah mengancam NKRI adalah orang itu tidak berakhlak menurut saya. Mengapa? karena dia dengan kesombongannya sudah memvonis orang lain seolah-olah orang lain itu menjadi ancaman untuk dia apalagi ancaman pada NKRI. Saya bisa membuktikan bahwa yang menjadi ancaman justru yang mengatakan Syiah adalah ancaman. Karena dia sudah mengeksekusi warga Indonesia yang berada dalam kelompok Ahlulbait, Saya sendiri lebih menyukai menyebut Ahlulbait daripada menyebut Syiah. Karena Syiah itu adalah istilah yang jauh lebih pejuratif. Istilah Ahlulbait jauh lebih adem, menyejukkan dan lebih diterima. Di Iran sendiri saya dengar lebih sering menyebut Ahlulbait daripada Syiah.
Terimakasih Gus atas waktunya.
Sama-sama.