Kantor Berita Internasional Ahlulbait - ABNA - Sidang pertama periode baru Dewan Perwakilan Rakyat Irak untuk memilih ketua dan dua wakil ketua hari ini digelar di Baghdad, di tengah situasi ketika kubu politik Sunni menghadapi perpecahan dan perselisihan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kondisi ini membuat proses mencapai konsensus atas kandidat ketua parlemen menjadi sangat rumit dan meningkatkan risiko terjadinya kebuntuan politik sejak dini.
Perselisihan internal dalam koalisi-koalisi besar Sunni—khususnya dalam kerangka “Dewan Politik Nasional”—telah mendorong fraksi-fraksi bersikukuh pada kandidat masing-masing. Akibatnya, perhatian kini semakin tertuju pada sikap Kerangka Koordinasi Syiah dan partai-partai Kurdi sebagai aktor penentu.
Perpecahan dalam koalisi Sunni
Menurut laporan Al-Ain, dalam salah satu perkembangan paling penting, koalisi “Al-Hakimiyyah – Tasyri’” yang dipimpin Khamis al-Khanjar mengalami pukulan serius. Dua anggota parlemen berpengaruh, Salim Matar al-Issawi dan Ziyad al-Janabi, secara resmi mengumumkan keluar dari koalisi tersebut, sehingga mengubah peta internalnya menjelang sidang parlemen. Langkah ini—mengingat bobot politik dan jaringan relasi kedua tokoh—memberi dampak signifikan terhadap kohesi kubu Sunni.
Sumber-sumber yang dekat dengan arus ini menyebutkan bahwa pengunduran diri tersebut merupakan bentuk protes terhadap mekanisme pengambilan keputusan yang bersifat personalistik serta pemaksaan pencalonan Haybat al-Halbousi sebagai ketua parlemen—pencalonan yang dilakukan tanpa konsensus internal dan, menurut para pengkritik, tanpa mempertimbangkan keseimbangan kekuatan dalam koalisi.
Persaingan kandidat dan sikap tegas “Al-Azm”
Sebaliknya, koalisi “Al-Azm” melalui pernyataan resmi menolak segala bentuk mundur atau penggantian kandidatnya, dan menegaskan bahwa Mutsanna al-Samarrai adalah satu-satunya pilihan final koalisi tersebut untuk kursi ketua parlemen. Al-Azm menilai pilihan ini sejalan dengan hak konstitusional dan kesepahaman politik, serta menegaskan kelanjutan persaingan.
Al-Samarrai sendiri, dalam konferensi pers, menyatakan bahwa tidak semua kandidat yang diajukan mencerminkan kehendak seluruh Dewan Politik Nasional; sebagian hanya mewakili partai-partai tertentu. Meski demikian, koalisi Al-Azm secara resmi mengumumkan pencalonannya untuk sidang hari ini.
Peran penentu Syiah dan Kurdi
Para pengamat politik menilai bahwa fragmentasi dan perpecahan di kubu Sunni telah memberi ruang manuver yang lebih besar bagi Kerangka Koordinasi Syiah dan partai-partai Kurdi. Kerangka Koordinasi lebih menekankan pada perolehan jaminan politik yang jelas dari para kandidat ketimbang fokus pada figur tertentu; dalam konteks ini, sejumlah analisis menunjukkan pandangan yang relatif lebih “berbiaya rendah” terhadap al-Samarrai dibanding opsi lainnya.
Di kubu Kurdi, partai-partai Kurdistan dipandang sebagai penentu keseimbangan. Partai Demokrat Kurdistan mendukung kandidat yang menjamin keberlanjutan kesepahaman dengan Erbil, sementara Uni Patriotik Kurdistan mengambil pendekatan yang lebih fleksibel dan realistis terhadap isu kursi ketua parlemen.
Secara keseluruhan, ketika kubu Sunni belum mampu mencapai konsensus atas satu kandidat, nasib kepemimpinan Parlemen Irak kini—lebih dari sebelumnya—terikat pada keputusan dan pertimbangan politik kelompok Syiah dan Kurdi; sebuah keputusan yang berpotensi sangat memengaruhi arah interaksi politik pada periode baru Dewan Perwakilan Rakyat.
Your Comment