Kantor Berita Internasional Ahlulbait – ABNA – Kajian atas perkembangan terbaru di Amerika Latin menunjukkan bahwa kebijakan intervensi Amerika Serikat terhadap pemerintahan-pemerintahan independen di kawasan ini memiliki rekam jejak panjang, dan contoh-contoh historisnya terus direproduksi dalam kebijakan luar negeri Washington hingga hari ini.
Invasi Panama; Titik Balik Intervensi Militer AS
Pada Desember 1989, Presiden George H. W. Bush memerintahkan pelaksanaan operasi militer yang dikenal dengan nama “Just Cause” (Alasan yang Dibenarkan) di Panama. Dalam operasi tersebut, sekitar 30.000 pasukan militer AS dikerahkan untuk menggulingkan Jenderal Manuel Noriega, penguasa Panama saat itu. Noriega sebelumnya merupakan mitra Badan Intelijen Pusat Amerika (CIA), namun kemudian menjadi target serangan militer dengan tuduhan perdagangan narkoba.
Data resmi Amerika Serikat menyebutkan jumlah korban sipil Panama sebanyak 202 orang. Namun sumber-sumber independen—termasuk organisasi hak asasi manusia dan lembaga lokal—memperkirakan jumlah korban berkisar antara 300 hingga beberapa ribu orang. Kawasan permukiman seperti El Chorrillo hampir sepenuhnya hancur akibat pengeboman dan kebakaran besar-besaran.
Kecaman Internasional dan Rekam Jejak Kudeta
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan invasi tersebut sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. Majelis Umum PBB dengan 75 suara setuju mengecam agresi Amerika Serikat terhadap Panama. Peristiwa ini berada dalam rangkaian panjang intervensi AS di Amerika Latin—mulai dari “Perang Pisang” hingga kudeta-kudeta yang didukung Washington di Guatemala (1954), Chili (1973), dan Nikaragua—yang semuanya bertujuan menekan pemerintahan independen dan menguasai sumber daya strategis.
Dari Panama 1989 ke Venezuela 2025; Pola yang Sama
Pada tahun 2025, pemerintahan Donald Trump menerapkan pendekatan serupa terhadap Venezuela. Pengepungan laut menyeluruh, penyitaan dua kapal tanker minyak Venezuela di perairan internasional, serta tuduhan terhadap Presiden Nicolás Maduro sebagai pemimpin “kartel narkoteroris”, merupakan bagian dari kebijakan tersebut—tuduhan yang hingga kini belum didukung bukti yang meyakinkan.
Tekanan ini menyebabkan penurunan tajam ekspor minyak Venezuela dan munculnya laporan gangguan sinyal GPS di kawasan Karibia, yang menimbulkan kekhawatiran serius terkait keselamatan penerbangan dan pelayaran.
Pola Tetap dalam Kebijakan Luar Negeri AS
Pendekatan ini tidak terbatas pada Amerika Latin saja. Dalam konflik besar lain yang dipimpin Amerika Serikat, pola serupa juga terlihat. Perang Vietnam (1955–1975), menurut berbagai estimasi, menewaskan sekitar dua juta warga sipil Vietnam. Sementara dalam invasi Irak tahun 2003, basis data Iraq Body Count mencatat lebih dari 200.000 korban sipil akibat kekerasan langsung.
Kepentingan Strategis vs Kedaulatan Nasional
Perbandingan peristiwa-peristiwa ini menunjukkan adanya konsistensi yang mencolok dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat: penggunaan dalih seperti perang melawan narkoba atau promosi demokrasi untuk membenarkan tindakan yang tujuan utamanya adalah akses terhadap sumber daya strategis dan penggulingan pemerintahan independen. Terusan Panama pada dekade-dekade sebelumnya dan cadangan minyak raksasa Venezuela saat ini merupakan contoh nyata kepentingan tersebut.
Intervensi-intervensi ini, yang berulang kali menuai kecaman komunitas internasional, telah menghasilkan dampak berupa ketidakstabilan berkepanjangan, pelanggaran HAM secara luas, serta pelemahan kedaulatan nasional negara-negara terkait. Hal ini kembali menegaskan urgensi penghormatan terhadap hukum internasional dan perlunya melawan unilateralisme yang mengancam perdamaian kawasan.
Your Comment