3 Juni 2025 - 18:57
3 Juni: Mengenang Kepergian Imam Khomeini, Pemimpin yang Mengguncang Abad

Di bawah kepemimpinannya, sebuah imperium tua berusia 2500 tahun—dinasti Pahlevi, yang didukung oleh kekuatan barat dan dikenal memiliki angkatan bersenjata kelima terkuat di dunia—runtuh dalam waktu singkat. Kejutan demi kejutan terus ia hadirkan. Para pengamat dunia tak henti menjatuhkan prediksi, dan berkali-kali pula mereka dipermalukan oleh kenyataan yang Imam Khomeini ciptakan.

oleh: Ismail Amin

Tiga Juni 1989, dunia Islam kehilangan salah satu putra terbaiknya. Di usia 87 tahun, Imam Ruhullah al-Musawi Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran, menghembuskan napas terakhirnya. Ia adalah salah satu tokoh paling berpengaruh abad ke-20, seorang ulama renta yang mengguncang dunia dengan revolusi paling spektakuler di penghujung abad.

Di bawah kepemimpinannya, sebuah imperium tua berusia 2500 tahun—dinasti Pahlevi, yang didukung oleh kekuatan barat dan dikenal memiliki angkatan bersenjata kelima terkuat di dunia—runtuh dalam waktu singkat. Kejutan demi kejutan terus ia hadirkan. Para pengamat dunia tak henti menjatuhkan prediksi, dan berkali-kali pula mereka dipermalukan oleh kenyataan yang Imam Khomeini ciptakan.

Bahkan ketika wafat, ia masih menyisakan kejutan: lebih dari 10 juta rakyat Iran turun ke jalan-jalan, menghadiri pemakamannya. Di tengah populasi 50 juta jiwa, berarti 1 dari 5 orang Iran datang melepas kepergiannya. Sementara seluruh kota di Iran lumpuh bukan karena ketakutan, melainkan karena duka mendalam. Mereka mogok dari semua aktivitas selama berhari-hari—kecuali untuk menangisi kepergian sang Imam.

Mengapa seorang pemimpin yang negaranya dililit perang, embargo, dan sanksi bisa dicintai sedalam itu?

Imam Khomeini tidak meninggalkan Iran dalam keadaan makmur atau aman secara fisik. Ia tidak menjanjikan kekayaan atau stabilitas semu. Sebaliknya, ia menjerumuskan bangsanya ke dalam isolasi ekonomi dan perang delapan tahun dengan Irak. Ribuan syuhada, termasuk presiden dan perdana menteri, gugur dalam gelombang teror karena sikap kerasnya menolak tunduk pada kekuatan arogan dunia.

Namun, Imam Khomeini memberi bangsanya sesuatu yang lebih besar dari semua itu: harga diri. Ia mewariskan sebuah sistem politik yang tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat memperkaya keluarga dan kroni, tetapi sebagai sarana untuk menegakkan keadilan ilahi. Ia mendirikan Republik Islam Iran—sebuah sistem pemerintahan yang menggabungkan nilai-nilai spiritualitas Islam dengan keberanian politik yang merdeka dari intervensi asing.

Ia mengembalikan martabat bangsa Persia yang telah lama diinjak-injak oleh imperialis. Ia menyalakan obor perlawanan, yang hingga hari ini masih menyala, membuat kekuatan dunia kehilangan akal untuk menjatuhkan sistem yang ia tinggalkan.

Khomeini mungkin telah tiada. Tapi warisannya—sebuah republik yang merdeka, mandiri, dan terus berjuang melawan kezaliman dunia—tetap hidup. Dan karena itulah, kepergiannya terasa begitu menyayat, seakan rakyat Iran kehilangan segalanya... karena sesungguhnya, mereka telah kehilangan jiwa dari perjuangan mereka.

Your Comment

You are replying to: .
captcha