31 Mei 2025 - 18:27
Source: Parstoday
Tuan Presiden Jangan Salah Paham, Ide Dua Negara di Palestina Bukan Solusi

Presiden Indonesia, baru-baru ini mengaku akan mengakui secara resmi negara Israel, segera setelah Rezim Zionis mengakui Palestina sebagai sebuah negara merdeka.

Dikutip Middle East Monitor, Presiden Prabowo Subianto, Rabu (28/5/2025) mengumumkan satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian di Asia Barat, adalah two state solution atau solusi dua negara. Namun dengan segala hormat ide ini milik masa lalu.

Solusi dua negara sudah usang, itu pun kalau memang benar-benar ada. Apa yang tersisa hari ini adalah sebuah kenyataan mengerikan dan tidak bisa dihindarkan, keadilan di Palestina hanya bisa diwujudkan lewat satu negara tunggal dari sungai hingga laut tanpa Israel, seperti yang kita kenal saat ini.Janji pembentukan dua negara selalu menjadi instrumen untuk meredam kemarahan dunia, menunda jawaban, dan mempertahankan kondisi yang ada. Hal ini sama sekali bukanlah prakarsa nyata untuk membebaskan rakyat Palestina, tapi sebuah fatamorgana diplomatik, dan pengalihan, bukan tujuan.

Selama berabad-abad para pemimpin negara dunia mendukung ide solusi dua negara yang memberi kesempatan kepada Israel, untuk melenyapkan segala bentuk potensi terwujudnya ide itu dengan membangun distrik-distrik Zionis di wilayah yang diduduki, pemindahan paksa masyarakat Palestina, dan blokade Gaza serta menerapkan sistem Apartheid, di seluruh Wilayah pendudukan.

Hari ini lebih dari 700.000 pemukim Zionis, melampaui kehadiran ilegal seluruh Zionis di tanah Palestina, menempati wilayah Tepi Barat dan Baitul Maqdis Timur, dan jumlah ini terus meningkat. Ini bukan tinggal sementara, tapi realitas-realitas permanen yang didukung secara militer dan rekayasa aturan sehingga Zionis unggul dari orang Palestina pribumi.

Tidak ada satu pun pemerintahan Israel, baik itu di bawah Benjamin Netanyahu, maupun orang lain, yang menunjukkan itikad politik untuk mengubah kondisi ini. Sebaliknya, mereka justru mengukuhkan kondisi tersebut. Pada situasi seperti ini negara seperti apa yang tersisa bagi rakyat Palestina?

Berapa jumlah wilayah yang terpisah-pisah, terkurung di antara pos-pos pemeriksaan, tembok-tembok pembatas, dan distrik-distrik Zionis bersenjata? Apakah yang dimaksud negara itu adalah sebuah Bantustans (wilayah yang dikhususkan bagi warga kulit hitam Afrika Selatan, menurut kebijakan Apartheid) tanpa kendali atas perbatasan, zona udara atau sumber alamnya?

Ini bukanlah sebuah hipotesa, tapi kenyataan sehari-hari yang terjadi dalam kehidupan jutaan orang Palestina.Presiden Prabowo, bukan orang pertama yang menggulirkan ide solusi dua negara. Banyak pemimpin dunia lain, baik karena kejujuran ataupun hipokrit, melakukan hal yang sama, karena mengira sepertinya ide tersebut masuk akal. Tapi kejujuran saja tidak cukup.

Idealisme semata juga tidak cukup. Setiap jalan keluar harus dibenturkan dengan realitas, dan relitasnya adalah sudah tidak ada tempat lagi secara geografi, politik maupun moral bagi sebuah negara Palestina merdeka dan berkelanjutan di sisi Israel.

Lebih penting dari semua ini adalah tidak adanya kesetaraan moral di antara penjajah dan yang dijajah. Kerangka solusi dua negara menggambarkan pertarungan ini sebagai sebuah kesalahpahaman tragis di antara kedua pihak yang setara.

Akan tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Israel adalah tiran yang menerapkan sistem Apartheid, penjajah, dan pelaku pembersihan etnis. Israel bukanlah sebuah demokrasi dengan perhatian keamanan, tapi sebuah rezim penjajah yang berdiri di atas pemindahan paksa masyarakat lain, dipertahankan dengan kekerasan, dan dipaksakan dengan aturan militer.Lalu dalam kondisi semacam ini apa faedahnya solusi dua negara? Apakah itu mengakui sebuah entitas yang selama 75 tahun mengerahkan upaya untuk menghapus Palestina? Ataukah memberikan hadiah kepada sebuah rezim yang tidak pernah mengakui hak kembalinya para pengungsi Palestina?

Apakah maksudnya membebaskan jutaan orang Palestina, yang berada di dalam perbatasan tahun 1948 Rezim Zionis sebagai warga kelas dua atau hidup di pengasingan? Atau bermakna permintaan atas sebuah bangsa tertindas yang selamanya menerima pembagian wilayah mereka, dengan imbalan sebuah kedaulatan fiktif atas gedung-gedung runtuh yang tersebar luas?

Tidak ada keadilan dalam solusi dua negara ini, dan tentunya, tanpa keadilan tidak akan pernah dicapai perdamaian.Sebalinya kita harus menghadapi masa depan bahwa hanya ada satu negara di antara Sungai Jordan dan Laut Mediterania. Satu-satunya pertanyaan adalah bagaimana bentuk negara ini, apakah ia merupakan sebuah negara rasis Apartheid yang di dalamnya orang-orang Zionis memerintah dengan pemaksaan dan menyingkirkan orang-orang Palestina? Atau sebuah negara yang berlandaskan kesetaraan bagi seluruh warga, terlepas dari suku bangsa dan agamanya, yaitu sebuah Palestina yang bebas dari penjajahan?

Jawaban pertanyaan ini tidak akan ditemukan dalam perundingan kekuatan-kekuatan kolonialis. Jawabanya harus ditemukan di dalam masyarakat Palestina sendiri. Mereka dari hari ke hari semakin menentang ilusi solusi dua negara ini.

Sejumlah jajak pendapat menunjukkan bahwa dukungan terhadap sebuah negara tunggal terutama di antara para pemuda, terus mengalami peningkatan. Gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia mulai dari kampanye Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) hingga desakan untuk memboikot senjata, dan tuntutan hukum di Mahkamah Pidana Internasional, ICC, semuanya mengakui bahwa perjuangan dilakukan bukan demi perbatasan, tapi demi kemerdekaan.

Keinginan bersyarat Presiden Prabowo, untuk mengakui secara resmi Israel, menunjukkan tekadnya untuk berperan di arena internasional. Tapi seorang pemimpin sejati tidak hanya sekadar mempertahankan keseimbangan secara seremonial, tapi diperlukan transparansi secara moral.

Jika Indonesia, bermaksud mempertahankan dukungan bersejarahnya atas hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Palestina, maka ia harus terang-terangan mengemukakan statemen yang ditakuti banyak pihak yaitu solusi dua negara adalah sebuah dongeng, dan melanjutkan ide itu hanyalah melanjutkan penderitaan rakyat Palestina.

Daripada bertanya apakah Palestina akan diakui di sisi Israel atau tidak, lebih baik bertanya apakah Palestina akan menggantikan Israel atau tidak, bukan dengan mengusir warganya, tapi dengan mengubah wilayah ini menjadi sebuah negara tunggal yang di dalamnya seluruh masyarakat termasuk Yahudi, hidup sejajar di bawah naungan hukum. Ini bukan ekstremisme. Ini adalah hasil tak terhindarkan dari penolakan Apartheid.

Tidak ada solusi dua negara. Tidak ada perdamaian apa pun dalam pembagian wilayah. Satu-satunya solusi yang ada adalah sebuah negara Palestina yang bebas, merdeka, dan bersatu, tanpa Zionisme, tanpa penjajahan, dan tanpa Apartheid, dan tentu saja tanpa Israel. Sekarang tiba saatnya dunia menerima kenyataan ini. 

342/

Your Comment

You are replying to: .
captcha