Menurut Kantor Berita Internasional Ahlulbait –ABNA- Dalam rangkaian acara Konferensi Internasional tentang Pendidikan Sains Islam di Iran, kami berkesempatan mewawancarai salah satu ilmuwan Muslim terkemuka dari Indonesia, Prof. Tono Saksono, Ph.D, seorang pelopor riset fajar dan penggagas Kalender Islam Global. Dengan latar belakang multidisiplin yang mencakup remote sensing hingga astronomi, Prof. Tono telah mengabdikan dirinya untuk memperbaiki pemahaman umat Islam terkait waktu subuh dan kalender hijriyah. Berikut adalah hasil wawancara eksklusif redaksi ABNA dengan beliau di kantor redaksi ABNA pada Senin (27/1).
---
Assalamu alaikum. Selamat datang, Prof. Tono, di Kantor Berita ABNA. Bisa Anda perkenalkan diri Anda kepada pembaca kami?
Wa alaikum salam, dan tTerima kasih atas kesempatannya. Nama saya Tono Saksono, dan saya mewakili organisasi Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam modern terbesar di dunia. Saat ini, saya menjabat sebagai direktur di Islamic Science Research Institute (ISRI)Network, sebuah lembaga penelitian yang fokus pada sains Islam.
Latar belakang saya sebenarnya adalah di bidang remote sensing, yaitu teknologi untuk mengambil citra satelit atau foto udara dan memprosesnya secara akurat. Namun, setelah bertahun-tahun bekerja di bidang itu, saya merasa ada sesuatu yang kurang, yaitu kurangnya sentuhan manusia (human touch). Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mengarahkan keahlian saya ke dalam penelitian sains Islam, khususnya terkait masalah waktu shalat dan kalender Islam. Kebetulan, saya sudah sekitar 2015 tahunan meneliti sains Islam, sejak tahun 2005. Ini saya lanjutkan ketika Sejak saya mengajar di Malaysia pada tahun 2008-2015.
Kemudian saya selesai di Malaysia. 7 tahun saya di Malaysia. Saat Kembali ke Indonesia, Kemudian pindah ke Indonesia. Ssaya mengajar di Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka di Jakarta. Saya juga meneliti dan memimpin sebuah lembaga penelitian Islam, Islamic Science Research Network (ISRN). Namun, pada tahun 2022, kontrak saya berakhir dengan UHAMKA.
Anda kemarin menjadi salah satu pembicara utama di konferensi yang digelar di Universitas Qom di Iran ini. Apa yang Anda sampaikan kepada para peserta?
Saya menyampaikan dua program unggulan yang sedang kami kembangkan di Muhammadiyah. Pertama, adalah pengembangan Kalender Islam Global, dan kedua, adalah penelitian tentang waktu subuh yang tepat.
Mengapa Kalender Islam Global begitu penting? Masalahnya dimulai ketika kita tidak memiliki kalender Islam global yang berlaku global dan tunggalseragam. Misalnya, karena tiadanya Kalender Islam, sistem akuntansi bank syariah di seluruh dunia saat ini menggunakan kalender Masehi, yaitu 1 Januari hingga 31 Desember. Padahal, kalender Islam seharusnya mengikuti siklus bulan, yaitu 354 hari. Yang terakhir inilah referensi haul dalam Islam. Jika menggunakan Kalender Masehi sebagai basis akuntansinya, Pperbedaan 11,5 hari antara kalender hijriyah dan Masehi ini menyebabkan zakat, dividen, dan bonus yang dibagikan tidak terbayarkan sesuai dengan prinsip syariah. Kekurangan bayar zakat selama 11.5 hari per tahun.
Bayangkan, jika selama 1.200 tahun kita tidak menggunakan kalender Islam global, kerugian zakat yang tidak terbayarkan mencapai sekitar 10 triliun dolar AS. Ini jauh lebih besar daripada total utang negara-negara Islam kepada Bank Dunia, IMF, dan USAID, yang hanya sekitar 1 triliun dolar. Jadi, dampak ekonominya sangat besar. Saya melakukan penelitian tentang ini ketika mengajar di Malaysia. Pada tahun 2014, saya menulis laporan penelitian ini ke dalam sebuah buku berjudul “Pseudo Shariah Economy and Muslims’ Civilization Debt.” Buku ini tersedia di Amazon[1]. Selama proses penulisannya, saya memenangkan tiga best paper awards dalam konferensi tentang Shariah Economy, Islamic Finance, dan Islamic Banking.

Kalender Islam
Global juga akan mengakhiri perbedaan waktu puasa dan Idul Fitri di berbagai
negara. Misalnya, di Indonesia, ada yang mulai berpuasa pada hari Rabu,
sementara di Amerika mereka justru sudah puasa pada hari
Selasa.baru mulai Kamis. Ini adalah sebuah
bukti kekeliruan yang sangat jelas
karena seharusnya umat Islam Indonesia melaksanakan ibadahnya selalu di depan Muslim
Amerika karena kita berada di timur. Ini terjadi karena
kekeliruan dalam mentafsir hadis yang
mengakibatkan tafsirnya justru bertentangan dengan ayat Al-Qur’an,
yaitu Ya-Sin: 39-40.perhitungan fajar
belum seragam. Dengan Kalender Islam Global, semua umat Islam di
dunia akan berpuasa dan merayakan Idul Fitri pada hari yang sama, sesuai
prinsip "As-saumu yauma tasumuun” (puasa itu adalah
di hari kalian semua berpuasa).

Bagaimana dengan penelitian tentang waktu subuh yang anda rintis dan kembangkan?
Ini adalah proyek yang sudah saya kerjakan sejak 2016. Selama ratusan tahun, umat Islam menggunakan standar fajar astronomis, yaitu ketika matahari berada di posisi 18 derajat di bawah ufuk sebagai titik kehadiran fajar. Dengan kata lain, Fajar Shodiq itu adalah sama dengan Fajar Astronomis. Namun, setelah mengumpulkan data dari lima benua, termasuk wilayah Arktik, saya menemukan bahwa fajar shodiq (fajar yang menandakan masuknya waktu subuh) sebenarnya terjadi ketika matahari berada di posisi 12,5 derajat di bawah ufuk. Jumlah data yang saya miliki saat ini sekitar 2200 hari. Data ini diambil menggunakan puluhan sensor moderen termasuk drone, webcam, dan DMSS (digital mobile surveillance system). In syaa Allah, tidak ada institusi lain di dunia yang memiliki data selengkap yang saya miliki saat ini. Dari 2200 data tersebut, sekitar 1200 di antaranya adalah berupa video sehingga kehadiran fajar akan tampak jelas dan dapat disaksikan bahkan oleh orang awam. Selain itu, teknik pemrosesan datanya juga, in syaa Allah, yang paling canggih di dunia karena saya Ph.D holder dalam Remote Sensing.
Artinya, waktu subuh yang kita gunakan saat ini terlalu awal. Di Indonesia, misalnya, waktu subuh biasanya terlalu cepat sekitar 30 menit. Di Amerika, bahkan bisa lebih awal hingga 1 jam. Ini tentu berdampak pada ibadah kita. Bayangkan, jika kita shalat subuh sebelum fajar muncul, maka ibadah kita tidak sah.
Untuk menjelaskan temuan ini, saya telah menulis empat buku. dan semuanya tersedia di Amazon[2].

Selain itu, saya juga telah dan memproduksi 160 video di YouTube melalui channel “World Twilight Project”[3]. Dua program unggulan inilah yang saya tawarkan pada para peserta konferensi di University of Qom. Saya dapat bagikan data tersebut secara gratis. Namun harus diingat, agar dapat memanfaatkannya, orang harus belajar juga bagaimana memproses data yang tersedia tersebut. In syaa Allah, saya dapat juga memberikan pelatihan untuk pemrosesan datanya. Inilah yang telah saya tawarkan pada konferensi yang lalu tersebut. Semua materi ini tersedia secara gratis untuk umat Islam di seluruh dunia.
Bagaimana tanggapan delegasi internasional terhadap presentasi Anda?
Alhamdulillah, tanggapannya sangat positif. Saya merasa ini adalah momentum yang sangat penting karena belum ada negara lain yang benar-benar mengundang saya untuk membahas topik seperti ini. Bahkan, selama konferensi, saya mendapat banyak apresiasi dari delegasi 17 negara. Mereka menganggap penelitian ini sangat relevan dan mendesak untuk diimplementasikan.
Kami juga telah mendeklarasikan pembentukan sekretariat tetap di KUM (Komunitas Universitas Muslim) untuk melanjutkan kerja sama internasional ini. Insya Allah, ini akan menjadi langkah awal menuju standardisasi waktu subuh dan Kalender Islam global.

Bagaimana pandangan Anda tentang Iran setelah kunjungan ini?
Iran adalah pusat peradaban yang luar biasa. Saya melihat harmoni yang sangat indah antara komunitas Sunni dan Syiah di sini. Misalnya, kemarin saya shalat berjamaah di sebuah masjid, dan tidak ada yang mempermasalahkan cara saya shalat. Mereka sangat menghormati perbedaan, dan saya pikir ini adalah contoh yang harus ditiru oleh umat Islam di seluruh dunia.
Sayangnya, kebanyakan masyarakat Indonesia memiliki pandangan negatif terhadap Iran, terutama karena informasi yang tidak seimbang atau bias yang beredar di media. Namun, setelah saya berada di Iran, saya menyadari bahwa pandangan ini tidak mencerminkan realitas di lapangan. Iran adalah salah satu pusat peradaban besar yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Peradaban ini bukan hanya milik Syiah, tetapi juga menjadi bagian penting dari sejarah umat manusia secara keseluruhan.
Saya melihat Iran sebagai pusat pengetahuan yang sangat kaya, baik dari segi ilmu pengetahuan modern maupun tradisi keislaman. Misalnya, dalam konferensi internasional ini, saya melihat betapa Iran sangat terbuka terhadap dialog lintas mazhab dan bahkan lintas agama. Ini adalah sesuatu yang jarang dibahas di Indonesia, di mana perbedaan sering kali diperbesar hingga menjadi sumber konflik.
Bagaimana pengalaman Anda selama berada di Iran?
Selama berada di Iran, saya merasakan harmoni yang luar biasa antara komunitas Sunni dan Syiah. Misalnya, kemarin saya mengunjungi sebuah makam suci yang banyak diziarahi, ternyata yang berziarah tidak hanya umat Syiah tapi juga oleh kaum Sunni. Di masjid-masjid pun, saya melihat bagaimana komunitas Sunni dan Syiah saling menghormati. Ketika saya shalat berjamaah di sebuah masjid, saya melakukan shalat dengan cara Sunni dan tidak ada seorang pun yang mempermasalahkannya. Mereka sangat menghormati cara saya beribadah, dan saya pun merasa dihormati.
Ini adalah contoh nyata bahwa perbedaan fiqih tidak harus menjadi penghalang untuk hidup berdampingan secara damai. Pengalaman saya di sini membuktikan bahwa perbedaan mazhab bukanlah penghalang untuk hidup berdampingan secara damai. Umat Islam di Indonesia harus belajar dari contoh ini dan mulai memprioritaskan persatuan daripada perpecahan. Dengan pendekatan ilmiah dan sikap saling menghormati, kita bisa bersama-sama memperbaiki pemahaman kita tentang ajaran Islam dan menjadikannya sebagai sumber kebaikan bagi seluruh umat manusia.

Apakah ada perbedaan signifikan antara Sunni dan Syiah yang anda lihat di Iran?
Perbedaan antara Sunni dan Syiah di Iran memang ada, tetapi itu lebih pada aspek fiqih (hukum Islam), seperti halnya perbedaan antara Muhammadiyah dan NU di Indonesia. Misalnya, ada yang menggunakan kunut dalam shalat subuh, ada yang tidak. Ada yang menggunakan metode hisab untuk menentukan awal bulan Islamwaktu shalat, ada yang mengandalkan rukyat. Namun, perbedaan semacam ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk memperbesar jurang pemisah antar umat Islam.
Di Indonesia, kita sering melihat perbedaan kecil seperti ini diperdebatkan hingga menjadi konflik. Padahal, setiap kelompok pasti memiliki dalil yang diyakini. Yang penting adalah kita saling menghormati, bukan malah menjadikan perbedaan sebagai sumber perpecahan. Saya percaya bahwa perbedaan politiklah yang sering kali memperkeruh suasana, membuat perbedaan fiqih tampak lebih besar daripada yang sebenarnya.
Menurut Prof, mengapa perbedaan sering kali diperbesar?
Menurut saya, perbedaan sering kali diperbesar karena faktor politik. Ada pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan perbedaan untuk kepentingan mereka sendiri. Misalnya, isu tentang kunut atau arah kiblat sering kali dibesar-besarkan hingga menjadi sumber konflik. Padahal, jika kita melihat secara rasional, masalah utama umat Islam saat ini bukanlah soal kunut atau tidak kunut, melainkan soal waktu shalat subuh yang ternyata masih salah di banyak tempat.
Bayangkan, di Indonesia, ketika adzan subuh berkumandang, banyak orang sudah selesai shalat, berzikir, bahkan berselawat. Padahal, berdasarkan penelitian saya, waktu subuh yang tepat seharusnya 30 menit lebih lambat dari jadwal yang berlaku saat ini. Ini adalah masalah yang jauh lebih penting untuk diselesaikan daripada memperdebatkan apakah kita harus melakukan kunut atau tidak.

Apa pesan Anda untuk umat Islam di Indonesia?
Pesan saya adalah agar umat Islam di Indonesia tidak mudah terpengaruh oleh narasi-narasi negatif tentang Iran atau kelompok lain. Kita harus belajar untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan, bukan sebagai ancaman. Jangan sampai perbedaan kecil seperti kunut atau metode penentuan awal bulan Islamwaktu shalat menjadi alasan untuk berkonflik. Dialog dalam bingkai saintifik memang tetap harus dilakukan karena sains itu independen. Jadi, hilangkan bias kelompok dan berdialoglah secara terbuka dalam bingkai kaidah saintifik yang independen dan transparan.saling menyalahkan.
Sebagai contoh, jika kita berbicara tentang waktu shalat, kita harus berdasarkan data ilmiah yang akurat. Saat ini, banyak jadwal shalat abadi yang beredar di masyarakat, tetapi sebagian besar tidak didukung oleh data yang valid. Saya memiliki 2.200 data yang membuktikan bahwa waktu subuh seharusnya ditentukan ketika matahari berada di posisi 12,5 derajat di bawah ufuk, bukan 18 derajat seperti yang selama ini digunakan. Namun, banyak pihak yang masih menggunakan angka-angka lama tanpa dasar yang kuat.
Di era modern seperti sekarang, kita harus menggunakan teknologi dan data untuk memperbaiki pemahaman kita tentang ajaran Islam. Jangan sampai kita masih bergantung pada metode yang sudah usang tanpa mau memverifikasi kebenarannya. Mari kita fokus pada hal-hal yang lebih substansial, seperti memperbaiki waktu shalat subuh yang salah ini, sehingga ibadah kita benar-benar sesuai dengan tuntunan syariat.
Pertanyaan terakhir Prof, apa harapan Anda untuk masa depan riset anda?
Saya berharap generasi muda dapat melanjutkan penelitian ini. Saya sudah tua, dan saya ingin ada orang-orang yang lebih muda yang bisa mengambil alih tongkat estafet ini. Kita butuh jaringan internasional untuk mengumpulkan data, memprosesnya, dan menyebarkannya ke seluruh dunia.
Jika ada pihak yang tertarik, saya siap berbagi teknologi dan metode pengambilan data sampai pemrosesan datanya. Misalnya, saya bisa mengajarkan bagaimana mengambil data fajar di Norwegia langsung dari kamar tidur saya di Indonesia. Tidak kalah pentingnya, saya bisa mengajarkan bagaimana cara memproses datanya secara akurat. Bagaimana cara memverifikasinya, dan sebagainya. Ini adalah era teknologi, dan kita harus memanfaatkannya untuk kepentingan umat Islam.
---
Disebutkan Konferensi internasional para pengelola pusat-pusat pendidikan dan riset di bidang sains dan studi Islam diselenggarakan oleh Organisasi Kebudayaan dan Hubungan Islam Iran, dengan dihadiri oleh 80 orang pejabat dan perwakilan dari pusat-pusat universitas dan departemen sains dan studi Islam di Iran dan dari 16 negara, pada tanggal 25 dan 26 Januari di Universitas Qom, Republik Islam Iran. Tiga delegasi Indonesia turut hadir dalam konferensi ini.
Untuk informasi lebih lanjut tentang penelitian Prof. Tono Saksono, silakan kunjungi channel YouTube-nya: World Twilight Project.
[1]https://www.amazon.com/PSEUDO-SHARIAH-ECONOMY-MUSLIMS-CIVILIZATION
[2] https://www.amazon.com/s?k=Tono+Saksono
[3] https://www.youtube.com/@TonoSaksono/videos
