Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : Pars Today
Minggu

9 Juni 2019

06.25.09
948446

Pendekatan Arab Saudi dan UEA terhadap Krisis Sudan

Krisis di Sudan semakin parah sejak 3 Juni lalu seiring dengan serangan militer terhadap para demonstran yang berunjuk rasa di depan pusat komando militer negara ini dan tewasnya lebih dari 100 demonstran.

(ABNA24.com) Krisis di Sudan semakin parah sejak 3 Juni lalu seiring dengan serangan militer terhadap para demonstran yang berunjuk rasa di depan pusat komando militer negara ini dan tewasnya lebih dari 100 demonstran.

Transformasi Sudan selama satu dekade terakhir menunjukkan bahwa para pemain asing di urusan internal negara ini memainkan peran nyata. Salah satu contohnya adalah peran Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel atas pemisahan Sudan Selatan dan Sudan. Di krisis Sudan saat ini, para pemain asing khususnya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) juga memainkan peran signifikan dan ada banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan dua negara ini di krisis Sudan.

Pertama, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab selama sembilan tahun terakhir telah membuktikan bahwa mereka melawan kebangkitan rakyat yang menuntut demokrasi di dunia Arab, bahkan Riyadh dicap sebagai pemimpin anti revolusi Arab.

Rakyat Sudan sejak Desember 2018 memulai aksi demo mereka menentang penguasa dan pada akhirnya 11 April lalu mereka berhasil memaksa Omar al-Bashir lengser setelah berkuasa selama tiga dekade. Pasca pelengseran al-Bashir, Dewan Transisi Militer Sudan memegang kekuasaan dan banyak bukti atas dukungan Arab Saudi dan UEA terhadap dewan ini.

Arab Saudi dan UEA termasuk negara pertama yang mengakui secara resmi Dewan Transisi Militer Sudan (TMC). Koran al-Quds al-Arabi terkait hal ini menulis, "Raja Arab Saudi setelah tiga hari pelengseran Omar al-Bashir, yakni pada 14 April lalu menginstruksikan pengiriman makanan dan obat-obatan ke Sudan."

Kedua, Arab Saudi pada 30-31 Mei 2019 di Mekkah menjadi tuan rumah KTT pemimpin Arab dan OKI di mana Abdel Fattah al-Burhan, ketua Dewan Transisi Militer Sudan juga diundang di pertemuan tersebut. Selama di Mekkah, al-Burhan bertemu dan berunding dengan Raja Salman serta Pangeran Mahkota Mohammad bin Salman. Tujuan dari undangan tersebut adalah pengiriman pesan bahwa Arab Saudi mengakui al-Burhan sebagai pemimpin legal Sudan, padahal di Sudan sendiri tengah berlangsung protes warga menentang al-Burhan.

Hanya selang dua hari setelah kembalinya al-Burhan ke Sudan, militer yang selama ini menghindari berbuat kekerasan terhadap demonstran dilaporkan menyerang para demonstran dan membantai lebih dari 100 orang. Berbagai sumber Sudan menyatakan, pembantaian pada Senin lalu di bundaran Khartoum, lokasi konsentrasi para demonstran dilakukan dengan lampu hijau Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Dr. Taj al-Sir Osman, cendikiawan Sudan di akun twitternya seraya mengisyaratkan partisipasi ketua Dewan Transisi Militer di sidang Mekkah menulis, "Mereka membantai demonstran yang berkonsentrasi di bundaran Khartoum dengan uang minyak Arab Saudi."

Ketiga, sejumlah sumber hari Jumat lalu mengkonfirmasikan kunjungan rahasia Khalid bin Salman, saudara Mohammad bin Salman, Anwar Gargash, menteri negara untuk urusan luar negeri UEA dan Mohammad Dahlan, penasihat Mohammad bin Zayed ke Sudan.

Disebutkan bahwa ketiganya disambut Mohamed Hamdan Dagalo, komandan pasukan reaksi cepat Sudan di bandara udara Khartoum. Kunjungan ini dimaksudkan untuk menyelamatkan militer khususnya Abdel Fattah al-Burhan dari krisis saat ini, yang muncul pasca pembantaian hari Senin lalu.

Poin terakhir adalah banyak pengamat yang meyakini bahwa Arab Saudi tengah mengulang kembali teladan berkuasanya Abdel Fattah el-Sisi, presiden Mesir terhadap Abdel Fattah al-Burhan di Sudan.

Sami Kamaluddin, wartawan dan pengamat Mesir menyamakan pembantaian hari Senin lalu di Khartoum dengan pembantaian bulan Agustus 2013 di bundaran Rabaa Kairo.




/129