Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : www.abna.ir
Selasa

28 Januari 2014

20.30.00
501392

Ayatullah Makarim Shirazi:

Kesuksesan adalah Mencapai Tujuan Tertinggi dengan Cara yang Termulia

Banyak yang menyebut orang yang sukses adalah orang yang mencapai tujuannya dengan sependek-pendeknya jalan dengan pengeluaran yang paling sedikit. Namun kesuksesan dalam pandangan saya, adalah yang mencapai tujuannya yang paling tinggi dengan cara-cara yang paling mulia.

Menurut Kantor Berita ABNA, selama ini dalam benak kita ketika menyinggung seorang ulama besar, maka kita selalu mengkaitkannya dengan orangtuanya atau leluhurnya yang juga sebelumnya memang seorang ulama besar. Bahwa kebanyakan ulama besar lahir dari lingkungan pesantren, dari orangtuanya yang ulama, khatib dan pembimbing ummat sehingga kemudian sang anak melanjutkan garis perjuangan dakwah para leluhurnya dan melanjutkan penyebaran ilmu-ilmu dan tradisi keilmuan yang diwariskan. Ayatullah Nashir Makarim Shirazi adalah ulama besar yang juga merupakan marja taklid sekian dari sedikit ulama yang lahir bukan dari lingkungan agamawan dan pesantren. Terlahir dan tumbuh  dari ayah dan kakek seorang saudagar, Makarim Shirazi justru dikemudian hari malah menjadi ulama besar yang disegani, dengan gelar Ayatullah al Uzhma dengan jutaan pengikut yang tersebar di seluruh dunia.

Berikut penuturan Ayatullah Makarim Shirazi sendiri mengenai dirinya, mulai dari kelahiran sampai beliau menjadi ulama besar. Penulis kitab tafsir Al Amtsal ini juga berbagi tips mencapai kesuksesan sejati dibagian akhir penuturannya. Selamat menyimak.

Masa Kelahiran

Saya lahir di bulan Esfand tahun 1305 HS [sekitar tahun 1926 M] di kota Shiraz di tengah-tengah keluarga yang mencintai agama. Meski ayah dan kakekku dikenal sebagai saudagar, namun keluarga kami sangat cinta dan memiliki kedekatan yang erat dengan ilmu-ilmu agama. Sekalipun bukan ulama dan pelajar agama, ayah saya sangat mencintai dan menggandrungi ayat-ayat Al-Qur’an. Sewaktu saya masih belajar di madrasah Ibtidaiyah, hampir setiap malam, ayah memintaku ke kamarnya dan berkata, “Nashir, bacakan untuk saya Kitab Ayat Muntajebeh dan terjemahannya”. Kitab tersebut adalah kitab kumpulan ayat-ayat pilihan yang dihimpun dan dikaji oleh sejumlah ulama dan di zaman Reza Khan di jadikan buku wajib untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Sayapun membacakan untuknya ayat-ayat pilihan itu dan terjemahannya, dan setiap membacakannya, meskipun telah berulang-ulang didengarnya, ayah selalu saja menunjukkan kekagumannya.

Saya memiliki nenek, yang tidak bisa membaca dan menulis. Namun beliau memiliki kecerdasan berpikir yang mengagumkan dan hafalan yang kuat. Beliau secara rutin mengikuti pengajian pekanan di masjid. Dan setiap kembali ke rumah ia dengan lancar mengulang kembali yang disampaikan ustad di mimbar kepada seluruh anggota keluarga, termasuk hadits-hadits dan riwayat yang sangat banyak.

Karena nenek begitu menyayangi saya, masa kecil saya banyak saya habiskan bersama beliau. Beliau sering menceritakan mengenai kisah para Nabi dan wali-wali Allah. Dan inilah yang kemudian membuat saya semakin hari semakin mencintai dan tertarik untuk mempelajari masalah agama dengan lebih detail. Nenek juga banyak mengetahui dan menguasai tekhnik pengobatan klasik dan sering mengajarkan kepada kami.

Nenek sering membawa saya ke masjid. Karena itu sejak kecil saya sudah terbiasa ke masjid. Seingat saya, saya sudah sedemikian aktif mendengarkan ceramah di usia 8 tahun. Apa yang disampaikan ustad di atas mimbar sangat mengagumkan bagi saya, ketertarikan sayapun pada ilmu agama semakin menjadi-jadi.

Masa Pendidikan

Saya dimasukkan ke sekolah diusia 5 tahun. Karena umur saya belum memenuhi syarat saya hanya dimasukkan di kelas persiapan. Sekolah saya bernama Zainat, dan sangat terkenal di kota Shiraz. Karena saya dinilai berprestasi di kelas dengan hasil-hasil ujian yang memuaskan, sayapun dikecualikan untuk tidak mengikuti tingkatan kelas sebagaimana pada umumnya. Dari kelas persiapan saya langsung digabungkan di kelas 2 dan sedemikian seterusnya sampai akhirnya saya menyelesaikan sekolah dasar dan menengah saya.

Selanjutnya saya melanjutkan pendidikan formal di Madrasah Khan, madrasah yang sudah sangat kuno, dalam artian memang berdirinya telah sangat lama, besar dan sangat terkenal. Tempat belajar dan mengajar Filosof terkenal Mullah Sadra Shirazi.

Salah seorang ustad saya, almarhum Ayatullah Rabbani Shirazi. Saya pernah berkata kepada beliau, “Saya mohon dipinjamkan kitab Jami’ al Muqadimat, kitab pelajaran tingkatan pertama Hauzah karena saya tidak memilikinya. Saya mohon diizinkan menggunakannya selama 24 jam, setelah itu akan saya kembalikan.” Beliau menanyakan alasannya, saya jelaskan bahwa esoknya saya minta ujian saja. Dia dengan penuh rasa takjub meminjamkannya kepadaku. Dalam sehari semalam, saya mempelajari kitab tersebut, dan kemudian berhasil mendapat nilai yang baik dalam ujian, dan selanjutnya melanjutkan ketingkatan yang lebih tinggi.

Saya di hari-hari pelajaran, siang-malam, musim panas dan dingin, di bulan Ramadhan, Muharram dan Shafar, kecuali hari Jum’at dan sebagian dari hari-hari libur resmi, semua hari saya isi dengan belajar dan setiap ke madrasah tidak ada waktu saya habiskan kecuali dengan belajar dan mubahasah [diskusi sambil mengulang pelajaran secara berkelompok, paling minimal dengan dua orang-pent], dan hari demi hari semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan belajar, saya semakin hanyut dan merasakan keasyikan yang luar biasa. Saya tidak pernah tenang dan merasa puas dengan pelajaran di kelas, sehingga saya selalu bertanya kepada setiap ustad diluar jam pelajaran, saya selalu meminta kepada mereka untuk memberikan pelajaran yang lebih. Awalnya mereka menolak dan mengacuhkan permintaan saya yang terkesan memaksa mereka. Karena menurut mereka, anak 13 tahun tidak boleh terlalu memaksakan diri belajar, sebab di kemudian hari akan merasa bosan dan bisa berdampak negatif kelak.

Meskipun saya telah berusaha dan memaksa untuk diberi kekhususan untuk belajar lebih, namun tetap tidak diizinkan. Dan akhirnya sayapun ikut dengan aturan resmi madrasah. Mungkin kalian akan sulit mempercayainya, bahkan sayapun terkadang sulit menerimanya betapa saya kala itu benar-benar dirasuki kegilaan belajar. Setiap hari di madrasah saya habiskan 8 jam di kelas, sisanya saya isi dengan mubahasah dan belajar sendiri. Meskipun jarak rumah saya dengan madrasah tidak begitu jauh, namun saya sangat jarang pulang, dan menghabiskan waktu siang dan malam di madrasah dengan menenggelamkan diri dalam pengkajian dan belajar.

Malam-malam saya isi dengan mengulangi pelajaran, sampai saya benar-benar terkantuk dan tertidur sendiri. Pernah suatu malam saya belajar sebagaimana biasanya. Lewat tengah malam saya mulai terkantuk dan akhirnya tertidur. Waktu itu dalam belajar, semua santri menggunakan lampu minyak. Karena tertidur, saya tidak sempat memadamkan api. Menjelang subuh saya temukan, lampu minyak tersebut dalam keadaan terjatuh, dengan minyak yang berceceran dan disekelilingnya terdapat tumpukan buku yang semalam saya baca. Saya bersyukur dan menyebut itu pertolongan Ilahi yang menujukkan Maha PenyayangNya. Lampu minyak dalam keadaan masih menyala, tertumpah dan disekelilingnya buku namun tidak menyebabkan kebakaran yang bisa mencelakakan saya, karena mungkin seketika itu juga tiba-tiba padam sendiri. 

Saya tidak pernah sekalipun berpikir mengenai makanan yang enak dan lezat. Saya makan apa saja yang ada dan yang disediakan. Bahkan karena tenggelam dalam asyiknya belajar, saya kadang sampai lupa makan sama sekali. Inilah yang menyebabkan tubuh saya kurus. Tapi justru dengan itulah saya lebih mengkonsentrasikan diri pada pelajaran dan tidak disibukkan dengan hal-hal yang tidak penting. Secara jasmani saya kurus namun secara batiniah, saya puas dan tidak merasa kekurangan.

Kesulitan Ekonomi

Sewaktu pertama kali hijrah dan menetap di Qom, secara materi saya didera kesulitan dan keprihatinan yang sangat.

Di bulan Ramadhan yang bertepatan dengan musim panas, saya dan teman sekamar saya menjalankan ibadah puasa.  Pernah suatu hari menjelang buka puasa, hatta sekerat rotipun kami tidak punya untuk kami makan. Saya berkata kepada teman saya, “Saya akan pergi sebentar, mencari orang yang akan memberi pekerjaan dan upahnya roti untuk kita makan.” Namun setelah berkeliling saya tidak menemukan satu orangpun yang mau memberi pekerjaan. Terpaksa sayapun menjual beberapa kitab pelajaran yang saya punyai dan sayangi untuk mendapatkan beberapa potong roti. Namun dengan kesulitan tersebut, saya tidak menyerah. Saya yakin bahwa kesulitan itu adalah ujian Ilahi yang pasti akan berlalu.

Sewaktu di Najaf, kesulitan hidup sebagaimana yang saya alami di Qom kembali berulang. Saya pernah mengalami kejadian yang tidak pernah akan saya lupakan. Sebenarnya peristiwa yang begitu memalukan. Suatu hari, saya terpaksa harus mandi, dan saat itu satu-satunya tempat mandi adalah permandian umum yang kita harus bayar dengan sejumlah uang. Dan saat itu, saya tidak memiliki uang sama sekali. Akhirnya terpaksa, saya menghadap ke pemilik permandian, dan hendak menyerahkan jam tangan murahan satu-satunya harta yang kupunya sebagai ganti untuk ongkos sewa kamar mandi. Si pemilik, memberi keringanan. Dia berkata, saya bisa menggunakan kamar mandinya, dan membayarnya ketika saya sudah punya uang. Semakin keras dan sulit kehidupan yang saya jalani di jalan ilmu, itu semakin meyakinkan saya akan semakin dekatnya pertolongan Allah SWT.

Saya pernah begitu menginginkan untuk selalu bisa terbangun di sepertiga malam untuk mengerjakan shalat malam, yang dengan itu saya bisa lebih mendekatkan diri pada Kekasih Hati. Namun selalu terbangun di penghujung malam diusia saya saat itu adalah sesuatu yang sangat berat dan sulit. Saya kemudian terpikir untuk bisa membeli sebuah jam meja yang memiliki alarm, yang bisa membangunkanku diwaktu yang saya inginkan. Namun ternyata harga satu jam meja mencapai 13 tuman, sementara uang bulananku saat itu hanya 3 tuman, yang pasti diakhir bulan selalu habis tak bersisa. Sehingga saya tidak bisa memilikinya.   

Berjalan tahun, masalah ekonomi tidak lagi menjadi persoalan bagiku. Saya mendapat sedikit imbalan dari dakwah dan tabligh yang saya jalankan di bulan Muharram, Safar dan Ramadhan. Dan juga sudah mulai mendapat sedikit bagian dari syahriah Hauzah, namun setelah saya mendapat honor dari tulisan-tulisanku yang dibukukan dan diterbitkan, itu menjadi jawaban dari kesulitan ekonomiku, dan secara total saya tidak lagi mengambil syahriah dari Marja.

Sampai saat ini [setelah menjadi ulama marja taklid, pent], saya menjalankan roda perekonomian keluarga dengan modal yang saya dapat dari penjualan buku-buku yang saya tulis. Bukan dari Baitul Mal, meskipun itu setiap bulannya lebih dari 2 milyar tuman yang masuk ke Baitul Mal yang diamanahkan kepada saya. Semua uang itu saya gunakan untuk membiayai aktivitas pendidikan, kerja-kerja amal dan sosial serta untuk syahriah para santri dan asatid Hauzah ilmiah.

Mencapai Derajat Mujtahid di Usia 24 Tahun

Di kota suci Najaf, saya mendapat pendidikan hauzah di bawah asuhan dan bimbingan Ayatullah al Uzhma Sayyid Abdul Hadi Shirazi, Ayatullah al Uzhma Hakim dan Ayatullah al Uzhma Amuli. Saya sering melakukan tanya jawab dengan para ulama besar tersebut, yang membuat lebih mudah dalam memahami pelajaran. Yang pada akhirnya diusia 24 tahun, melalui persaksian dua ulama besar marja taklid yang masyhur di masa itu, salah seorang diantaranya Syaikhul Fuqaha Ayatullah al Uzhma Ishthahbanati dan Ayatullah al Uzhma Haj Syaikh Muhammad Kashif al Ghita saya mendapat ijazah ijtihad.

Pujian atas Karya yang Dihasilkan

Se