Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : ابنا
Rabu

3 April 2024

10.54.01
1448677

Prof. Dr. Hossein Mottaghi:

Zionisme adalah Tumor Ganas Mematikan yang Harus Ditolak Kehadirannya

"Mari meningkatkan kesadaran dan pemahaman kita mengenai isu Palestina dan tidak hanya membatasi pada isu kemanusiaan, melainkan sampai pada tahap lapisan-lapisan ideologisnya. Bahwa rezim Israel, tidaklah sah untuk disebut sebagai negara, melainkan tumor ganas mematikan, yang harus kita tolak.”

Menurut Kantor Berita Internasional ABNA, Direktur Al-Musthafa Internasional University perwakilan Indonesia Prof. Dr. Hossein Mottaghi dalam sambutannya pada Seminar Internasional dan Buka Puasa Bersama dengan tema “Memerdekakan Palestina Menuju Dunia Multipolar” pada Rabu (3/4) menegaskan Zionisme adalah tumor ganas mematikan yang harus ditolak kehadirannya. Menurutnya, Zionisme bukan hanya berbahaya bagi dunia Islam dan kawasan Timur Tengah, tapi juga dunia dan kemanusiaan secara umum. 

Mengawali sambutannya, guru besar Filsafat STAI Sadra ini menyebutkan, dalam kajian akademis ada dua bentuk zionisme, yaitu zionisme religius dan zionisme politis.  

“Zionisme religius adalah bentuk zionisme yang digagas dan tumbuh berkembang sejak kali dikenal Yahudi, dan tentu saja ini adalah murni gerakan keagamaan, yang namanya pun berasal dari nama sebuah bukit, yang dianggap suci oleh agama Yahudi. Dalam zionisme religius ini mereka meyakini mengenai tanah yang dijanjikan, yang juga kita mengenalnya dari berbagai literatur keagamaan Yahudi. Sejak mereka terusir dari Babilonia, bangsa Yahudi dan para rabi sangat merindukan kembali tanah mereka, dan mereka berharap suatu waktu bisa kembali ke tanah Zion tersebut, untuk menjalankan dengan baik ritual-ritual berdasarkan ajaran agama mereka. Sehingga pada tahapan pertama, kedatangan mereka ke tanah Palestina, sekedar untuk memenuhi dahaga spritual mereka, tanpa mereka bermaksud untuk melakukan kooptasi dan pengusiran di sana. Beratus-ratus tahun mereka hidup harmonis di sana, berdampingan dengan penganut agama lain, dari Islam dan Nasrani.” Jelas Mottaghi. 

“Sementara zionisme politis adalah bentuk zionisme yang merupakan gerakan politik. Mereka melegitimasi penjajahan, perampasan dan pengusiran atas nama agama Yahudi demi menguasai kembali tanah yang dijanjikan. Kehadiran mereka di tanah Palestina telah menjadi bencana kemanusiaan. Hari ini dunia berhadapan dengan kebrutalan rezim yang berideologi zionisme politis ini.” Tambahnya. 

Lebih lanjut ilmuan dan akademisi yang berasal dari Iran ini berkata, “Para pakar telah meneliti, bagaimana zionisme politis ini tumbuh dan berkembang. Setidaknya ada tiga pandangan. Yang pertama menyebut, zionisme politis ini berlindung pada kitab suci untuk melegitimasi kejahatan mereka. Pandangan ini menyebut, zionisme politis tidak ada kaitannya dengan agama Yahudi, tetapi dia menggunakan agama Yahudi sebagai alat justifikasi dan legitimasi.”

“Pandangan kedua menyebut, zionisme politis benar-benar terinspirasi dari ajaran Yahudi yang telah disimpangkan dari ajaran aslinya. Apa yang terjadi hari ini yang disaksikan dunia Islam di kawasan khususnya di Palestina dan Gaza adalah kejahatan yang memang didorong oleh semangat keyahudian mereka. Pandangan ketiga menyebutkan, bahwa zionisme religius dan politis benar-benar berbeda, dan tidak bersumber dari akar yang sama. Dalam sejarah Yahudi kita bisa mengamati bahwa Yahudi mengalami penyimpangan, yaitu berupa upaya penyesatan yang dilakukan Samiri. Dia mengajak umat Yahudi untuk menyimpang dari ajaran tauhid Nabi Musa. Sehingga pada hari ini, yang terjadi pada zionisme politis, kurang lebih sama, yaitu upaya menyimpang dari agama Yahudi, dengan melakukan penjajahan di Palestina. Banyak peneliti Yahudi, terutama yang obyektif, mereka percaya bahwa zionisme politis tidak ada kaitannya dengan zionisme religius, termasuk ketersambungan historis.” Tambahnya. 

Prof. Mottaghi melanjutkan pemaparannya, “Kita percaya, bahwa ajaran Nabi Musa as yang bersumber dari ajaran hanif Nabi Ibrahim as, tidak akan memberikan pembenaran terhadap apa yang dilakukan Zionisme hari ini. Tapi hari ini, kita menemukan orang-orang yang mengklam diri sangat Yahudi, tapi membenarkan dan melegitimasi kejahatan bengis rezim Zionis. Tentu ini sebuah paradoks.”

“Bila saya amati, pembahasan terkait Zionisme di Indonesia sering diperhadapkan dengan sila kemanusiaan yang beradab dari Pancasila, yang disebut bertentangan sehingga dengan ini, rakyat Indonesia menentang Zionisme. Namun bisa dikatakan ini pandangan yang minimalis. Mengapa? karena, jika rezim Zionis tidak lagi melakukan pembantaian dan genosida, maka dengan sendirinya, kita akan bisa menerima keberadaan rezim ini dan punya hak untuk berdiri dan berdaulat sebagai sebuah negara. Tapi jika kita memahami zionisme sebagai sebuah ideologi secara mendalam, maka kita tetap tidak akan menerima keberadaan rezim ini meski sudah tidak lagi menginjak-injak kemanusiaan. Apa pemahaman yang lebih tinggi itu?. Yaitu menelusuri lebih detail akar-akar idelogi Zionisme yang telah melahirkan kejahatan yang sedemikian rupa.” Sebutnya.


“Melalui pengkajian saya yang mendalam terkait Zionisme dan perbandingan agama. Saya berkesimpulan, Zionisme hari ini benar-benar melandaskan tindakan-tindakan jahat mereka melalui ajaran Yahudi yang telah diselewengkan. Ada dua sumber hukum Zionis dalam bertindak, yaitu Taurat dan Talmud. Yang dalam keyakinan kita, ini bukan Taurat yang asli, melainkan telah mengalami penyimpangan. Seorang Yahudi, berdasarkan apa yang tertulis di Talmud, tidak akan melakukan bentuk pertolongan apapun kepada tetangganya yang non Yahudi meski sedang berada diambang kematian. Keyakinan mereka, kelompok non Yahudi tidak memiliki hak hidup dan boleh dibiarkan terbunuh. Banyak contoh isi dari Talmud yang menjadi pijakan Zionis hari ini dalam melakukan tindakan brutalnya, tapi waktu yang tidak memungkinkan untuk saya menyampaikannya.” Lanjutnya. 

“Karena itu, ada tiga pertanyaan yang muncul. Apakah mungkin kita bersedia melakukan normalisasi dengan komunitas orang yang berkeyakinan selain Yahudi tidak punya hak hidup?. Bagaimana kita bersedia melakukan hubungan dagangan dan mengambil keuntungan ekonomi dari rezim yang tidak mengakui hak hidup selain Yahudi? Dengan mengacu pada pijakan ideologis rezim Zionis ini, apakah kita masih tetap pada usulan dua negara, dua bangsa yang berbeda hidup di atas tanah yang sama, sementara yang satu tidak mengakui hak hidup bangsa lainnya?.” Tanyanya.

"Mari meningkatkan kesadaran dan pemahaman kita mengenai isu Palestina dan tidak hanya membatasi pada isu kemanusiaan, melainkan sampai pada tahap lapisan-lapisan ideologisnya. Bahwa rezim Israel, tidaklah sah untuk disebut sebagai negara, melainkan tumor ganas mematikan, yang harus kita tolak.” Ujar Mottaghi mengakhiri penyampaiannya. 

Seminar Internasional yang digelar dalam rangka menyambut Hari Al-Quds Internasional ini diadakan oleh Ikatan Alumni Jamiatul Mustafa (IKMAL) di Gedung STAI Sadra Jakarta Selatan dengan menghadirkan sejumlah narasumber, diantaranya: Amal Wahdan, Ph.D (akademisi Palestina), Bagus Hendraning Kobarsyih, M.Si (Direktur Timur Tengah Kemlu RI), Ust. Muhammad Husein (Aktifis Gaza-Palestina), Dr. Dina Yulianti, M.Si (Dosen Hubungan Internasional Unpad) dan Hafidz Alharomain Lubis, Lc (Sekjen Alumni Connect PPI Dunia). 

Selain pameran foto, acara ini juga dirangkaikan dengan buka puasa bersama.