Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : Parstoday
Minggu

17 Maret 2024

20.06.09
1445179

Dari Penjajahan Wilayah hingga Narasi, Begini Perilaku Neokolonialisme

Kebijakan kolonialisme dan penjajahan, sejak dahulu sampai sekarang, meski mengalami perbedaan lahiriah, tetap bersandar pada tiga pilar utama, pertama, kapital sebagai faktor utama, kedua, menolerir kekerasan, dan ketiga, memitoskan kapital dan kekerasan dengan menggerus realitas.

Dalam sistem kolonialisme, asas pemerintahan adalah memprioritaskan kapital, membagi dunia menjadi kawan dan musuh berdasarkan keuntungan, dan jika ada negara, pemerintah atau kelompok, yang serius melayani arus perputaran kapital imperium baru, maka ia dianggap kawan. Hak asasi manusia bagi kolonialisme penting selama membantu melindungi sistem kapitalisme, jika Rezim Zionis Israel, yang berada di balik layar pengambilan keputusan-keputusan politik, dan kartel-kartel ekonomi mereka, membunuh sekian ribu anak hanya dalam sekian hari, maka tidak akan pernah terjadi apa yang namanya pelanggaran HAM dalam pandangan imperium ini. Di sisi lain, untuk melanggengkan sistem kapitalisme, kekerasan menjadi isu utama. Instrumen untuk mewujudkan ideologi kapitalisme, adalah dominasi, hegemoni, dan kekerasan atau proses menjadikan kekerasan sebagai hal biasa dan lumrah, yaitu normalisasi. Sistem kapitalisme meski secara lahiriah mentereng dan mewah, namun sama sekali tidak pernah menolerir perlawanan serius seperti apa pun, dan menolak pluralisme dalam semua bentuk kekuasaan, dan ini dinilai oleh sosiolog John Fiske, dapat melahirkan subkultur perlawanan. Akan tetapi hal tersebut berlaku bagi pemerintahan-pemerintahan yang memiliki legitimasi minimal, bukan seperti Zionisme global yang hanya sekadar mitos.Kenikmatan perlawanan untuk melahirkan pluralisme, biasanya harus berhadapan dengan kekerasan dari penjajah, maka dari itu sistem kapitalisme secara substansi merupakan sistem anti-kemanusiaan, dan penuh kekerasan. Perhatikanlah sejumlah perang yang dilancarkan imperium kapitalis dunia dalam beberapa tahun terakhir, di Asia Barat. Anda tidak bisa menemukan sebuah negara yang secara langsung maupun tidak langsung, tidak dirugikan oleh perang yang diciptakan Amerika Serikat. Sepanjang usia kolonialisme, dari zaman kuno hingga era pasca-modern, berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki sifat keras tersebut, namun sebagian besar upaya itu gagal meski kekuatan negara-negara independen semakin besar. Perhatikan kampanye perang yang dilakukan oleh AS, dalam genosida terbaru Israel, ini artinya bahwa ketika sibuk berperang, maka pertunjukan dan teater HAM, dan yang lainnya tidak digelar, dan penjajah kembali ke pengaturan mekanis kuno. Poin ketiga adalah menghapus kenyataan. Kolonialisme untuk mencapai tujuannya membutuhkan upaya menunjukkan seolah-olah keputusan-keputusannya adalah hal biasa. Caranya melalui media publik, sehingga bagi mereka media hanyalah alat, tidak lebih. Bagi kolonialisme, media tidak memiliki orisinalitas, ia hanyalah realitas yang tidak relevan. Apa yang dianggap orisinal bagi kolonialisme adalah membangun mitos dan menyingkirkan realitas. Bagi kolonialisme yang terpenting adalah narasi. Narasi yang dapat membuat keputusan-keputusan seolah hal biasa, dan bisa dibenarkan akibat-akibatnya. Inilah fungsi membangun mitos. Dalam pandangan ini, mitos adalah otak untuk menyelamatkan diri dari kenyataan-kenyataan yang paradoksal. Kolonialisme di sebagian kamus diartikan sebagai menyejahterakan, sungguh lelucon yang pahit. Dengan lelucon semacam ini, narasi juga bisa disebut sebagai penjajahan realitas.Apakah Kita harus Menyambut Pasca-Realitas? Ketika media sudah menjadi instrumen untuk menormalisasi keputusan apa pun, maka pasca-realitas akan terbentuk. Dalam pasca-realitas, narasi dari realitas menggantikan posisi realitas sendiri. Media menciptakan gambaran untuk menggantikan manusia, dan melahirkan ilusi.  Pasca-realitas terjadi di sebuah masyarakat yang di dalamnya berakar depolitisasi, dan argumen-argumen telah berubah menjadi komoditas.  Guy Debord, dalam bukunya "Masyarakat Tontonan", meyakini bahwa fasisme komoditas tak mengenal belas kasih, dan perpaduanya dengan beragam gaya hidup keseharian, telah menyebabkan orisinalitas tontonan berkuasa di seluruh sendi kehidupan manusia.  Di setiap masyarakat tontonan, semua aspek kehidupan, pertama dihubungkan dengan tontonan, kemudian dengan pertunjukan. Pertunjukan dibuat oleh media, dan merebut otoritas berargumen serta otoritas memikirkan argumen dari kita. Pasca-realitas artinya sebuah masa yang di dalamnya hampir seluruh orang, sebelum mendengar argumen, telah menerima kesimpulan dari media, dan semua telinga harus ditutup dari mendengar argumen-argumen. Media telah berubah menjadi media-media kuantitatif yang kedudukannya ditentukan oleh seberapa banyak like yang diperoleh, inilah dunia pasca-realitas. Di dunia pasca-realitas, alih-alih bekerja keras menyuguhkan argumen-argumen, media lebih mengutamakan pengerahan pasukan untuk mendapatkan like, komentar, dan pasukan siber. (HS)