Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : Parstoday
Jumat

8 September 2023

16.51.07
1392179

Akankah Pasukan Bantuan Cepat (RSF) Sudan Dibubarkan ?

Panglima militer dan Ketua Dewan Pemerintah Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan menginstruksikan pembubaran Pasukan Bantuan Cepat (RSF).

Dalam instruksi al-Burhan disebutkan, "Saya menginstruksikan komandan angkatan bersenjata dan pejabat terkait untuk melaksanakan amanat undang-undang dasar dan pembubaran RSF."

Sementara itu, seorang anggota Dewan Konsultatif Pasukan Bantuan Cepat (RSF) saat merespon perintah pembubaran pasukan ini oleh al-Burhan mengatakan bahwa keputusan al-Burhan bertentangan dengan konstitusi, dan pasukan RSF tidak menganggap perintah ini sebagai keharusan.

Perintah al-Burhan sebuah transformasi baru dalam perang saudara di Sudan yang kini telah memasuki bulan kelima yang selain menimbulkan korban jiwa dan kerusahan luas, juga telah mengakibatkan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal.

Konflik bersenjata antara pasukan di bawah komando Abdel Fattah al-Burhan dan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo yang akrab disapa "Hemetti", komandan Pasukan Bantuan Cepat (RSF) dan juga wakil al-Burhan di pemerintahan transisi Sudan meletus sejak 15 April 2023 di Khartoum, ibu kota Sudan dan kemudian merembet ke wilayah lain di negara ini.

Kini, selain di Khartoum dan Omdurman, konflik antara militer dan Pasukan Bantuan Cepat (RSF) Sudan terus berlanjut di provinsi Kordofan Utara dan Darfur Selatan. Sejauh ini, gencatan senjata telah beberapa kali diumumkan antara kelompok yang bertikai. Namun para pihak terus menerus melanggarnya. Hal yang penting adalah karena keseimbangan kekuatan relatif dari dua faksi yang bersaing, meskipun banyak pertempuran, tidak ada satupun dari kedua belah pihak yang mampu meraih kemenangan yang menentukan dan merebut kekuasaan sepenuhnya.

Kini al-Burhan, ketua Dewan Pemerintah Sudan, telah memerintahkan pembubaran pasukan RSF Sudan dalam sebuah tindakan yang tampaknya diambil untuk membatalkan legitimasi pasukan gerak cepat ini. Pada saat yang sama, proses militer berjalan tidak menguntungkan Dewan Pemerintah Sudan.

Dalam hal ini, ketika pertempuran berlanjut antara pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan pasukan reaksi cepat yang dipimpin oleh Hamidti, sebuah kelompok milisi besar mengumumkan kesiapannya untuk bergabung dengan pasukan Hamidti. Abdul Baqi Qarfa, komandan milisi gerakan populer yang dikenal sebagai "Pengikut Kebenaran" (Ashab al-Qudiya al-Haqiqeen) Sudan dengan 25.000 angkatan bersenjata pada hari Selasa, dalam pesan video dengan dukungan Jenderal Hamidti, komandan Pasukan RSF Sudan, mengumumkan bergabungnya pasukannya ke pasukan ini.

Ahmed Abul Gheit, Sekretaris Jenderal Liga Arab, mengatakan: Krisis di Sudan terus berlanjut dan meninggalkan kerugian besar yang tidak dapat ditanggung oleh rakyat Sudan...Sudan semakin dekat dengan situasi perang saudara habis-habisan.

Abdel Fattah al-Burhan, panglima militer dan ketua Dewan Pemerintahan Transisi Sudan, menjabat dewan ini setelah penggulingan Omar al-Bashir, presiden militer Sudan saat itu, menyusul demonstrasi besar-besaran rakyat Sudan dari 12 April 2019 hingga 25 Oktober 2021. Untuk mengkonsolidasikan posisinya, ia mengambil langkah-langkah seperti normalisasi hubungan dengan rezim Zionis dan perluasan hubungan dengan Amerika Serikat, yang mana tentu saja hal ini mendapat penentangan luas dari rakyat Sudan.

Al-Burhan, meskipun memberi banyak janji untuk menyerahkan kekuasaan kepada warga sipil, tidak hanya tidak mengambil langkah penting dalam hal ini, tetapi juga melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil transisi, Abdalla Hamdok, yang menjabat sebagai Perdana Menteri Sudan sejak 21 Agustus 2019, dan mencopotnya pada 25 Oktober 2021 serta mengambil alih kekuasaan secara penuh. Al-Burhan membubarkan Dewan Kedaulatan, yang sebelumnya membagi kekuasaan antara militer dan sipil. Partai politik Sudan menyebut pemecatan Perdana Menteri Hamdok dan penangkapan para pemimpin dan pejabat Sudan oleh militer sebagai "kudeta militer".

Setelah kudeta pada tanggal 25 Oktober 2021 oleh tentara Sudan dan berakhirnya kemitraan transisi dengan partai politik, Abdullah Hamdok kembali berkuasa pada tanggal 21 November 2021 karena tekanan internal dan eksternal yang kuat, dan Al-Burhan dan Hamdouk menandatangani perjanjian politik yang mencakup pengembalian perdana menteri ke posisinya, pembentukan pemerintahan teknokrat dan pembebasan tahanan politik. Namun akhirnya karena perselisihan yang terus berlanjut, Hamdok mengundurkan diri pada 2 Januari 2022, dan Osman Hossein di angkat sebagai penjabat perdana menteri.

Pada bulan Desember 2022, dicapai kesepakatan antara kelompok sipil dan dewan penguasa militer Sudan untuk menyelesaikan krisis politik di negara ini. Kelompok ini menyepakati masa transisi selama 24 bulan yang akan dimulai ketika perdana menteri transisi terpilih. Menurut perjanjian tersebut, kekuasaan transisi ini akan sepenuhnya bersifat sipil dan demokratis dan tanpa partisipasi militer.

Dengan memburuknya situasi ekonomi dan sosial yang mengerikan di Sudan dan berlanjutnya kebuntuan politik di negara ini serta meningkatnya kritik terhadap berfungsinya dewan pemerintahan, khususnya normalisasi hubungan dengan rezim Zionis dan upaya Jenderal al-Burhan untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya, sudah diprediksikan sebelumnya bahwa perang perebutan kekuasaan di negara ini akan mencapai puncaknya.

Meskipun dalam beberapa tahun terakhir, selalu terjadi konfrontasi dan perbedaan pendapat antara pemerintah sipil dan militer, yang memainkan peran penting dalam dewan transisi dan pemerintahan, namun kini perbedaan serius telah berpindah ke tingkat komandan senior angkatan bersenjata Sudan yaitu al-Burhan dan Hamidti, serta konflik yang terjadi saat ini juga dimulai dengan tujuan untuk menggulingkan al-Burhan dari kekuasaan. Namun konflik-konflik ini tidak mempunyai prospek berakhir. (MF)

 342/