Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : parstoday
Jumat

11 Juni 2021

10.50.45
1149519

Mengenal Pajak Karbon

Pemerintah berencana menerapkan jenis pajak baru, yakni pajak karbon. Hal ini tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Menurut Kantor Berita ABNA, Dalam Pasal 44G, subjek pajak karbon adalah jenis pajak yang akan dikenakan untuk orang pribadi atau korporasi yang membeli barang mengandung karbon dan atau melakukan aktivitas menghasilkan karbon.

"Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp75 (tujuh puluh lima rupiah) per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara," tulis ayat (3) Pasal tersebut," dikutip Rabu (9/6).

Beleid ini rencananya akan dibahas secepatnya di tahun ini sebab sudah ditetapkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) oleh parlemen.

Dari sisi penerimaan, nantinya uang pajak yang didapat dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.

Kelak, bila beleid ini diundangkan, maka pemerintah akan segera menurunkan peraturan pemerintah (PP) terkait sebagai aturan pelaksana pajak karbon antara lain terkait tarif dan penambahan objek pajak yang dikenai karbon.

Kemudian, pemerintah juga akan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait untuk mengatur lebih lanjut soal subjek pajak karbon, tata cara perhitungan, pemungutan, pembayaran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon. Selain itu, memerinci alokasi penerimaan yang didapat dalam rangka pengendalian perubahan iklim.

Penerapan Pajak Karbon di Dunia

Beberapa negara telah menerapkan pajak karbon dengan perhitungan yang berbeda-beda.

Mulai dari negara Finlandia yang telah menerapkan pajak ini dari tahun 1990, kemudian diikuti Swedia dan Norwegia pada tahun 1991. India menerapkan pajak ini sejak tahun 2010. Lalu, Jepang dan Australia mengikuti pada tahun 2012, kemudian Inggris pada tahun 2013, Cina pada tahun 2017, dan Afrika Selatan pada tahun 2019.

Sementara di Asia Tenggara, baru Singapura yang menerapkan kebijakan pajak ini pada tahun 2019.

Pada negara-negara yang telah menerapkan pajak karbon, berdampak pada penurunan emisi sekaligus penambahan pemasukan negara dari penerimaan pajak. Tarif pajak ini umumnya dikenakan per ton CO2 yang dihasilkan dari suatu kegiatan produksi, mulai dari US$1 per ton hingga US$139 per ton.

Bagi Indonesia, penerapan pajak karbon, tampaknya lebih cenderung mengadopsi model emission-trading system (ETS) atau sistem perdagangan emisi mengingat kepastian harga dan implementasi yang lebih mudah untuk mendukung defisit anggaran.

Kemudian pada 2022, kemungkinan daftar industri yang terkena pajak karbon atau ETS secara bertahap akan diperluas ke otomotif, minyak sawit, makanan dan minuman, dan sebagainya.

Berdasarkan studi Bank Dunia, pajak karbon domestik sebesar US$ 30/ton CO2 akan meningkatkan sumber daya lebih dari 1,5% dari PDB.

Indonesia mungkin mulai dengan tarif pajak karbon 5% hingga 10% yang sederhana.

Pendapatan pajak yang dihasilkan dapat mencapai Rp 26 triliun hingga 53 triliun atau 0,2% hingga 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak sekitar US% 5 - 10 per ton CO2 yang mencakup 60% emisi energi.

Ini artinya, potensi pendapatan yang dihasilkan kemungkinan lebih besar dibandingkan dengan perpindahan ke perusahaan digital pajak.

Perubahan Paradigma Kepemilikan Mobil

Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu, mengatakan, aturan ini bakal mengubah kebiasaan dan cara pandang orang dalam memiliki mobil.

Ketika pajak kendaraan dipungut berdasarkan emisi gas buang, maka secara perlahan orang akan beralih menggunakan mobil yang ramah lingkungan.

Di lain sisi, biaya kepemilikan kendaraan dengan mesin bakar internal akan terus dinaikkan dengan sejumlah pajak baru.

“Dalam teori paradigma, sekarang kita lagi di fase revolusioner, dari penggunaan kendaraan dengan mesin bakar internal ke kendaraan listrik. Fase ini akan terus-menerus berubah dan berkembang,” ucap Martinus.

“Ini memang akan banyak konflik-konflik, ada pro dan kontra, nanti akan habis, dan masuk fase paradigma baru, yaitu kendaraan listrik,” kata akademisi dari Institut Teknologi Bandung ini.

342/