Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : ابنا
Sabtu

19 November 2022

15.56.50
1324606

Indonesia:

PUSKABI Gelar Webinar Nasional, Beri Perspektif Ilmiah Terkait Kasus Mahsa Amini

Pusat Studi Kebudayaan Baru Islam (PUSKABI) menggelar dialog ilmiah virtual bertajuk “Perempuan, HAM dan Negara; Membaca Kasus Mahsa Amini di Hadapan Konstitusi Iran dan HAM” pada Rabu (16/11).

Menurut Kantor Berita ABNA, Pusat Studi Kebudayaan Baru Islam (PUSKABI) menggelar dialog ilmiah virtual bertajuk “Perempuan, HAM dan Negara; Membaca Kasus Mahsa Amini di Hadapan Konstitusi Iran dan HAM” pada Rabu (16/11). Bertindak sebagai salah satu pembicara, Ismail Amin, MA mengungkap standar ganda yang diterapkan media mainstream dan Barat atas kasus Mahsa Amini. 

Ia berkata, “Kalaupun kejadian bahwa kekerasan yang dilakukan aparat menjadi penyebab kematian Mahsa Amini, bukankah itu juga terjadi di negara lain?.  Namun jika kasus-kasus di negara lain yang melibatkan kesalahan aparat kepolisian, tuntutannya hanya sampai pada pemecatan atau pemberian hukuman pada oknum kepolisan atau paling banter reformasi kepolisian dan tuntutan pemotongan anggaran institusi kepolisian dan diselesaikan secara internal, tapi mengapa untuk kasus yang terjadi di Iran, tuntutannya adalah penghancuran Republik Islam Iran dan itu disuarakan secara massif oleh masyarakat internasional yang dikompori Barat?.”

“Di Amerika Serikat sendiri, melalui insiden tewasnya george floyd, akhirnya mata dunia terbelalak, ternyata di negara yang mengklaim paling demokratis, paling humanis, kekerasan rasial yang dilakukan aparat kepolisian itu luar biasa mengerikan. Diperkirakan kepolisian membunuh sekitar 1.200 orang setiap tahun di Amerika Serikat dan Proyek Mapping Police Violence mencatat 7.666 pembunuhan oleh polisi yang diketahui antara 2013 hingga 2019 dan  99 % kasus tidak ada yang selesai dengan penetapan hukum. Jadi di negara yang mengecam Iran atas kasus Mahsa Amini, juga terjadi kasus-kasus serupa yang jauh lebih parah.” Tambahnya. 

Mahasiswa program Doktoral Universitas Internasional Almustafa Iran ini melanjutkan, “Belum lagi jika kita melirik rezim Zionis, yang aparat keamanannya bisa dengan mudah membunuh warga sipil Palestina, dengan tanpa alasan. Jurnalis al Jazeerah Shireen Abu Akleh, bukan satu-satunya jurnalis yang mati oleh peluru zionis. Bersama dengan kasus Mahsa Amini, Zaenab Essam al-Khazali gadis lima belas tahun Irak, korban penembakan tentara AS. TIdak ada tuntutan hukum apa-apa. Cukup disebut Zaenab Essam korban peluru nyasar. Kematiannya tidak memicu adanya reaksi apa-apa dari publik internasional walaupun cukup menghebohkan di dunia Arab. Sementara Mahsa Amini yang oleh hasil investigasi disebutkan penyebab kematiannya adalah serangan jantung dan tidak ada bukti terjadinya kekerasan fisik. Malah menjadi trending topik pembicaraan internasional selama berhari-hari sembari menyudutkan dan menyalahkan Iran.”

“Dari sini sudah semestinya kita jeli mellihat, bahwa kasus Mahsa Amini ini  yang seharusnya cukup diselesaikan secara internal Iran dengan misalnya menindak oknum aparat jika memang terbukti bersalah, ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu untuk menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di Iran. Bayangkan, apa tujuan media-media barat sedemikian gencar memberitakan perkembangan Iran setiap detik pasca kasus mahsa amini ini?. Pemimpin-pemimpin politik barat termasuk presiden Biden menyatakan dukungan secara terbuka kepada demonstran yang melakukan aksi pengrusakan dan kerusuhan serta menyatakan simpatik pada kelompok demonstran.” Tanyanya kritis. 

“Tidak cukup sampai disitu, baru baru ini, 27 negara Eropa sepakat untuk menjatuhkan sanksi baru pada Iran, dengan alasan Iran melakukan pelanggaran HAM dalam menindak kelompok yang menggugat kematian Mahsa Amini. Pertanyaannya, apakah negara-negara Eropa ini tidak melakukan kekerasan saat menindak perusuh dan demonstran yang menyerang polisi dan melakukan pengrusakan fasilitas publik? “ Lanjutnya. 

Menyinggung klaim banyak pihak yang menyebut pemerintahan Iran menerapkan sistem yang otoriter dan banyak membatasi hak-hak sipil warga negaranya terutama perempuan, Presiden Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Iran 2019-2021 mengatakan, “Ini yang banyak tidak diketahui orang, atau sengaja menutup mata atas fakta-fakta ini, bahwa Republik Islam Iran itu berdiri sebagai hasil dari referendum,  98 persen lebih rakyat Iran memilih Iran baru pasca runtuhnya dinasti pahlevi berbentuk republik Islam.”

“Sementara apakah ada negara di dunia ini yang penetapan sistem pemerintahannya dan apa asas negaranya melalui referendum dan meminta persetujuan rakyat? tidak ada satupun kecuali Republik Islam Iran. Revolusi Prancis, revolusi Rusia, perebutan kekuasaan melalui kudeta militer disejumlah negara, apakah setelah itu mereka melakukan referendum dan meminta partisipasi rakyat luas dalam menentukan masa depan mereka? Afganistan yang kembali dikuasai Taliban, apa taliban melakukan referendum dalam membentuk emirat afganistan? Indonesia berdiri dalam bentuk NKRI apa itu hasil referendum?. Kerajaan Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait dan lain-lain, apa itu semua hasil referendum?.” Tanyanya. 

“Republik Islam Iran berdiri setelah sebelumnya melalui referendum. Pasca berdiri, diadakan kembali pemilihan untuk rakyat sendiri memilih wakilnya di parlemen yang akan merancang, membahas dan menetapkan qanun asasi (UUD). Habis qanun asasi dibuat, sebelum ditetapkan, Imam Khomeini kembali meminta diadakan referendum apa rakyat menyepakati UUD tersebut atau tidak. Setelah disepakati, diadakanlah pemilihan presiden dan itu kembali rakyat sendiri yang memilih langsung.” Lanjutnya. 

“Asal tahu saja AS saja presidennya tidak langsung dipilih oleh rakyat tapi melalui perwakilan (electoral college). Di Iran pemilihan presiden melalui popular vote. Habis itu pemilihan menteri bukan hak preogratif sepenuhnya presiden melainkan harus melalui persetujuan parlemen. Lembaga-lembaga penting seperti Dewan Kepemimpinan dan Dewan Garda Revolusi juga dipilih langsung oleh rakyat. Di Iran yang ikut kontestasi pemilihan presiden itu melalui pendaftaran, tidak ubahnya ikut audisi penyanyi di Indonesia, siapapun bisa mendaftar. Di Indonesia, calon presiden ditentukan oleh elit-elit partai. Dengan format dan formulasi negara seperti itu, Iran masih disebut tidak demokratis dan pemimpinnya disebut otoriter dan diktator?.” Tanyanya lagi. 

Terkait respon pemerintah Iran atas standar ganda internasional dan lembaga amnesti internasional atas kasus Mahsa Amini, Ismail Amin mengatakan, “Melalui pidato-pidatonya, pemimpin-pemimpin politik dan agama di Iran mengecam standar ganda banyak pihak, terkait Iran. Terkait kasus Mahsa Amini, tiba-tiba AS menyatakan simpatik dan empatinya pada rakyat Iran, pada kebebasan bangsa Iran, pada kesejahteraannya, pada masalah-masalah internalnya. Sewaktu Iran diinvasi saddam husain dan dipaksakan perang selama 8 tahun, apa dunia membela Iran? nyaris hanya suriah dan korea yang saat itu membantu Iran. Sementara Rusia saat menginvasi Ukraina, Uni Eropa dan AS rame-rame memboikot Rusia.”

“Katanya, rakyat Iran perlu didukung untuk mendapatkan kebebasan mereka, terutama kebebasan untuk tidak berjilbab, tapi mana dukungan publik internasional untuk Iran mendapatkan kebebasan mengembangkan tekhnologi nuklir mereka. Jika negara-negara Barat memiliki kebebasan mengembangkan tekhnologi nuklir, mengapa Iran dibatasi dan dihalang-halangi? mana respon gerakan ham dan amnesti internasional atas terbunuhnya ilmuan-ilmuan nuklir Iran?.” Lanjutnya. 

“Katanya simpatik dan berduka atas kematian Mahsa Amini, terus mana duka atas kematian ribuan rakyat Iran yang mengalami kesulitan karena embargo yang diterapkan AS dan Barat?. Bahkan pada saat Iran mengalami krisis mematikan di masa pandemi, AS malah makin ketat memberlakukan embargonya, sehingga Iran kesullitan mendapatkan bahan dasar pembuatan obat-obatan dan masker. Mana rasa simpatik untuk ribuan rakyat Iran yang menjadi korban terorisme sepanjang republik Islam Iran berdiri?.” Tambahnya lagi.

“Milyaran dollar aset rakyat Iran di AS dan negara lain diblokir, padahal aset itu bisa digunakan untuk membuat rakyat Iran jauh lebih sejahtera. Kalau memang iba dengan rakyat Iran, mengapa embargo tidak juga dicabut dan tidak memaksakan kehendak dan kepentingan pada Iran?”, tegasnya. 

Pada bagian lain pemaparannya, Ismail berkata, “Pertanyaannya mengapa Iran diperlakukan tidak adil sedemikian rupa? mengapa Iran begitu dimusuhi Barat dan mengapa kelompok-kelompok HAM membeo dengan narasi barat dan ikut-ikutan memusuhi Iran.? Jawabannya karena Iran berbentuk Republik Islam. Selama 40 tahun pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh Iran berhasil memadukan antara Islam dengan demokrasi. Negara-negara yang mengklaim kampiun demokrasi tidak ada satupun yang membentuk republiknya berdasarkan keinginan rakyat melalui referendum, sementara Iran melakukannya.”

“Selama empat dasawarsa dibawah tekanan, ancaman perang dan embargo, Iran berhasil tumbuh sebagai negara yang maju secara tekhnologi dan bisa mandiri memenuhi kebutuhan-kebutuhan nasionalnya. Bahkan dalam masa pandemi, Iran mensejajarkan dirinya dengan negara-negara produsen vaksin covid dan berhasil keluar dari krisis pandemi. Iran tampil menjadi negara yang bisa membuktikan bisa tumbuh dan berkembang tanpa pelibatan AS. tanpa harus dijaga militer AS tanpa harus mendapat hutang dan pinjaman dari AS.” Pungkasnya.  

Webinar Nasional yang diikuti seratus lebih peserta ini juga menghadirkan, Dr. Dina Y Sulaeman, dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung, Ismail Amin, MA dan Hasan Zakariya MA keduanya adalah mahasiswa program doktoral Universitas Internasional al-Mustafa Iran. Sementara Direktur Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta  Dr. Abdolmajid Hakiemillahi tampil sebagai keynote speaker. Berlangsung selama 3 jam, webinar ini digelar oleh PUSKABI bekerjasama dengan ICC Jakarta, IPI Iran dan HPI. 

Disebutkan Mahsa Amin adalah seorang gadis 22 tahun Iran yang meninggal dunia pada 16 September 2022. Ia jatuh tidak sadarkan diri saat berada dalam kelas bimbingan usai ditahan oleh Kepolisian Moral Iran di Tehran sebab dinilai melakukan pelanggaran pada aturan berjilbab. Kematiannya memicu rangkaian protes di dalam dan diluar Iran sebab disebutkan penyebab kematiannya adalah akibat kekerasan fisik dari aparat yang menahannya. Meski hasil investigasi menyebutkan penyebab kematian karena penyakit bawaan yang dideritanya, media-media anti Iran tetap dengan gencar melakukan provokasi yang memicu terjadinya berbagai kerusuhan di sejumlah kota di Iran.