Kantor Berita Ahlulbait

Sumber : Parstoday
Selasa

30 April 2024

16.47.57
1455327

Justifikasi Perang dan Diskriminasi Lewat Islamfobia

Setelah runtuhnya komunisme, Amerika Serikat, berusaha mendefinisikan sebuah elemen asing baru yang akan dihadapinya, dan mendefinisikan ulang peran internasionalnya.

Fenomena Islamfobia, yang merupakan pilihan para politisi Amerika Serikat, semakin mencolok lewat produksi-produksi film Hollywood.
Islamfobia Lahir dari Pemikiran Kolonialisme 
Ehsan Azarakmand, Kepala Bidang Seni, Komunikasi dan Media Sosial, Departemen Riset Islam, Lembaga Penyiaran Nasional Iran, IRIB, mengatakan, Islamfobia, lahir dari pemikiran kolonialisme di negara-negara Barat. Ia meyakini, Islamfobia, dimulai 100 tahun terakhir dengan merusak citra Islam politik, artinya ketika gerakan-gerakan modernisme, dan intelektualisme di tengah masyarakat elit Muslim, dunia, dan di berbagai negara, terbentuk, Barat, mulai mengkampanyekan Islamfobia. Kenyataannya, sejumlah orang berpikir jika umat Islam, dapat memulihkan identitas mereka dengan proses, standar, dan indikator-indikator ini, maka akan menjadi sebuah bahaya besar bagi negara-negara Barat.  
Visi Amerika Serikat terkait Islamfobia 
Bashir Esmaili, anggota staf pengajar salah satu universitas Iran, terkait kebutuhan mendesak para politisi terhadap sebuah musuh mengatakan, "Seiring dengan runtuhnya sistem bipolar, bidang hubungan internasional, dan kemudian kebijakan luar negeri AS, sebagai satu-satunya superpower yang tersisa, dilanda krisis makna dan identitas." Di sisi lain, beberapa pemikir AS, telah bekerja keras untuk menemukan pengganti komunisme dengan maksud menentukan orientasi bagi kebijakan luar negeri negara itu, tapi tidak ada satu pun yang mampu menjelaskan, serta membentuk konsep kebijakan luar negeri AS, seefektif peristiwa 11 September 2001. Para politisi AS, dengan memanfaatkan peristiwa ini setelah mengalami kebingungan dalam kebijakan luar negeri, dan setelah runtuhnya komunisme, menunjukkan strategi baru, serta menerapkannya secara luas di seluruh dunia. Serangan-serangan teror mencurigakan pada 11 September 2001, ke gedung kembar WTC, di New York, telah menjungkirbalikkan pandangan orang-orang Amerika, terhadap dirinya, dan dunia, untuk selamanya. Serangan teror 11 September 2001, telah menjadi peluang bagi terbentuknya sebuah sistem nilai dalam kebijakan dalam negeri, serta luar negeri AS. Peluang tersebut digunakan sebagai justifikasi, dan pembenaran atas Islamfobia.  

 

 Pokok-Pokok Definisi Islam di Hollywood 
Ali Darabi, pengajar universitas, dan pakar media, menjelaskan pokok-pokok Islamfobia, yang menjadi pusat perhatian Hollywood, dan menjadi tumpuan kebijakan media AS, 1. Islam, didefinisikan sebagai sebuah struktur permanen, solid, dan tidak bisa berubah2. Islam, didefinisikan sebagai eksistensi terpisah, dan berbeda yang tidak memiliki nilai-nilai yang sama dengan kebudayaan lain3. Harus disampaikan bahwa Islam, lebih rendah dari kebudayaan Barat4. Islam, harus didefinisikan sebagai sebuah ideologi politik yang hanya bisa dipakai dalam urusan politik, dan militer semata Pandangan Islamfobia, meyakini bahwa dengan alasan-alasan tersebut, aksi-aksi diskriminasi terhadap umat Islam, bisa dibenarkan, dan pandangan itu percaya bahwa Islam, secara alami mengancam Barat, dan nilai-nilainya.  
Metode-Metode Hollywood dalam Perang Psikologis atas Islam 
Seyyed Hossein Sharafoddin, staf pengajar Universitas Imam Khomeini, menjelaskan metode-metode yang digunakan Hollywood, dalam menyebarkan Islamfobia, "Di antara metode yang digunakan oleh Hollywood, adalah taktik stigmatisasi, penghinaan, penistaan, dan cemoohan eksplisit serta implisit. Jelas bahwa hal-hal ini disebabkan beragamnya bentuk, banyaknya tema, beragamnya data, pengulangan imbuhan, dan pemanfaatan tambahan yang lambat laun merasuk ke dalam pikiran bawah sadar sehingga menciptakan sebentuk pengondisian mental, serta mengasosiasikan makna-makna dalam sistem persepsinya."  
Kebencian terhadap Umat Islam
 Arezoo Morali, menjelaskan model "kebencian dominan" dalam hubungan antar-kebudayaan yang disampaikan Dr. Saeedreza Ameli, dosen Universitas Tehran, "Narasi-narasi dominan di tengah masyarakat Barat, telah menyebarluaskan kebencian. Terkait dengan umat Islam, di Barat, atmosfir kebencian ini dibentuk oleh Hollywood, undang-undang, kebijakan pemerintah, pendidikan, pengajaran, dan media. "Dalam industri hiburan, umat Islam, digambarkan sebagai orang-orang yang kurang manusia, dan memiliki keyakinan-keyakinan agama khusus, mereka meneriakkan Allahu Akbar. Selain itu industri hiburan juga menggambarkan orang Iran, Pakistan, dan selainnya dengan metode-metode klise yang sudah dipakai sejak industri perfilman dimulai." Ia menambahkan, apa yang terjadi saat ini, kita sudah melewati penggambaran "kurang manusia", dan alih-alih menunjukkan seseorang tewas di akhir film, dan semua gembira dengan tewasnya orang itu, sekarang malah menyebarkan budaya kekerasan terhadap satu lapisan masyarakat tertentu. Mungkin ketika film "American Sniper" ditayangkan, tidak ada seorang pun yang mengatakan tujuan dari pembuatan film ini mendorong masyarakat untuk membunuh Muslim, tapi sekarang kita menyaksikan setelah film ini ditayangkan, minimal di AS dan Kanada, dilaporkan terjadinya sejumlah kasus penembakan terhadap Muslim di jalanan, dan tepat seperti film American Sniper, orang-orang Islam, dihukum mati. Bukan film American Sniper yang memulai semua ini, tapi proyek puluhan tahun pengondisian, dan penggambaran umat Islam, sebagai bukan manusia yang menjadi pemicu awal. (HS)